Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Bertiup, berlalu dan lupakan. Prinsip ini mungkin bisa digunakan bagi kita-kita yang sudah jenuh dengan pertanyaan kapan. Entah itu kapan skripsinya kelar, kapan toganya nangkring, kapan dapat kerjaan, kapan nikah, kapan punya anak, kapan punya mantu, kapan punya cucu dan deretan kapan-kapan yang lainnya. Siklus kapan ini akan terus berlanjut seperti mata rantai kehidupan. Karena sejatinya sifat lahiriah manusia memang serba ingin tahu, paling tidak sebagai basa-basi untuk membuka sebuah percakapan.
Saya mungkin salah satu di antara sekian banyak orang yang benci dengan pertanyaan kapan, terkhusus untuk pertanyaan, "Kapan menikah?" Sudah lebih dari satu dekade pertanyaan itu seperti ambil bagian dari setiap episode hidup saya. Bukan waktu yang singkat memang, dan entah kenapa saya seperti sudah bersahabat dengan pertanyaan itu, saking akrabnya saya seakan bisa mendeteksi kapan orang lain akan menanyakan hal tersebut kepada saya, sehingga sebelum pertanyaan itu terlontar dari mulut seseorang saya sudah mempersiapkan peluru balasan terlebih dahulu.
Bukan sesuatu yang berlebihan kiranya jika saya menganggap pertanyaan kapan menikah seperti sebuah pengumuman perang. Bagaimana tidak, selain harus bisa mengatur tutur bahasa yang sopan kepada si penanya agar tidak menimbulkan konflik, apalagi jika yang bertanya lebih tua dari yang ditanya, sementara mereka tidak mengetahui di saat yang bersamaan yang ditanya justru sudah bergemuruh di dalam hati menahan emosi, menahan mimik wajah kesal, muka bete dan sejenisnya. Dia berperang melawan dirinya sendiri agak tidak tersinggung dengan ejekan orang, cibiran orang, bullyan orang bahkan hinaan orang.
Ya, usia saya memang sudah tidak muda lagi, jika diibaratkan pengumuman kelulusan sekolah mungkin sudah melewati garis merah alias kepala tiga, tepatnya 34 tahun. Bisa jadi titel perawan tua sudah disematkan kepada saya seperti halnya kepada wanita-wanita yang belum menikah lainnya. Miris, tetapi begitulah kehidupan sosial kita, lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan sudah menjadi hakim terlebih dahulu tanpa meminta penjelasan dari yang dihakimi.
Lima atau empat tahun lalu pertanyaan ini cukup mengusik saya, saya yang memang tidak ingin menikah muda selalu mencari-cari alasan untuk tidak segera menikah, ingin kerja dululah, ingin nabung dululah, ingin melanjutkan kuliah dululah, seribu satu alasan. Bukan tanpa sebab saya mengambil pilihan ini.
Berkaca dari kegagalan orangtua dalam membina rumah tangga, menjadikan saya menjauhi yang namanya nikah muda. Momok perceraian merupakan sesuatu yang sangat saya takutkan. Saya memang tumbuh dalam keluarga broken, ibu dan ayah saya berpisah saat saya masih berusia 1,5 tahun. Kurangnya kasih sayang yang didapat dari kedua orangtua membentuk saya menjadi pribadi yang mandiri.
Tamat SLTA saya memutuskan untuk merantau ke daerah Batam. Pengalaman hidup di rantau semakin membentuk karakter dan kepribadian saya, termasuk watak pekerja keras. Memang saya akui saya terlalu larut dalam bekerja sehingga melupakan yang namanya pernikahan. Sementara teman-teman seumuran rata-rata sudah banyak yang menikah dan memiliki anak.
Bukannya tidak ada yang mendekati, tetapi kembali ke prinsip awal yaitu menghindari nikah muda, sehingga saya terlalu takut untuk memiliki suatu hubungan. Sering kali teman-teman menjodohkan saya dengan seseorang, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan dan hal ini berlanjut sampai usia menjelang 30 tahun.
Dari awal saya memang memasang target menikah di usia 30 tahun ke atas, setelah kerjaan mapan dan pendidikan selesai. Tapi manusia hanya bisa berencana, segala keputusan dan ketentuan Allah lah yang berkehendak. Di saat semuanya sudah saya dapatkan, justru harapan untuk membangun rumah tangga dengan seseorang tak jua kunjung terkabul. Ditambah lagi dengan usia yang sudah terlalu matang sangat sulit untuk menemukan jodoh yang seumuran.
Terkadang terlintas di pikiran saya bahwa ujian ini adalah karma buat saya. Mungkin Allah telah memberi saya kesempatan dulu dengan mendatangkan seseorang yang tepat, tapi karena prinsip dan keegoisan, saya malah mengabaikan itu semua. Kini saya hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Pencipta, karena Dia lah sebaik-baik pembuat skenario drama hidup kita.
Tak akan mungkin Dia membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan makhluk-Nya, kita hanya disuruh untuk menjalani dengan sebaik-baiknya. Yang harus dilakukan hanya tetap berpikir positif dan optimis bahwa kesempatan itu pasti akan datang, mungkin waktunya saja yang belum tepat sehingga kita masih disuruh menunggu, bersabar dan memperbaiki diri. Jadi jika pertanyaan kapan menikah masih terdengar, cukup anggap semua itu seperti angin, bertiup, berlalu, dan lupakan.
- Menikah Bukan Hanya 'Asal Sah' Tapi Juga Harus Siap Lahir Batin
- Aku Ingin Menikah Setelah Punya Pekerjaan Mapan, Boleh Saja Kan?
- Sejujurnya, Tak Mudah Menyunggingkan Senyum Tiap Kali Ditanya Kapan Nikah
- Bukan Beda Keyakinan, Kami Hanya Berbeda Cara Memuji Tuhan yang Sama
- Menua dalam Kesendirian Bisa Jadi Ketakutan Terbesar Wanita di Usia 20an
(vem/nda)