Menua dalam Kesendirian Bisa Jadi Ketakutan Terbesar Wanita di Usia 20an

Fimela diperbarui 26 Jul 2018, 14:30 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Kapan menikah? Pertanyaan seperti itu sudah tak asing lagi terdengar di telingaku, bahkan saat usia baru menginjak 20. Dan setiap tahunnya semakin gencar saja rasanya dengan tambahan sebab-sebab yang mereka simpulkan sendiri. Seperti terlalu pemilih, terlalu pemikir, terlalu sibuk dengan dunia sendiri, terlalu santai dan tidak mencari, terlalu oh sungguh terlalu.

Setiap pertanyaan ‘kapan’ terlontar, setiap itu pula diri ini keras berpikir bahkan kadang mencoba mencari sebab sebenarnya. Tanya kapan pun menjadi kenapa, kenapa sampai detik ini masih sendiri, kenapa takdirku tak sama dengan mereka, kenapa bahagia tak segera menghampiri.



Sungguh rasa khawatir mereka tak lebih besar dari rasa cemasku. Apalagi kami adalah kaum hawa yang memiliki batas waktu. Tentu saja banyak minusnya jika menikah di usia terlalu matang, seperti tingkat risiko saat persalinan atau pemikiran untuk masa depan yang bisa dibilang akan terlambat. Namun bagaimana jika memang takdir inilah yang Tuhan berikan untuk kehidupanku?

Bagaimana jika setiap usaha yang kulakukan dan doa yang selalu kupanjatkan di akhir sujud masih belum terjabah? Apa mereka memiliki jawaban atas segudang tanyaku? Meski aku sadar pertanyaan mereka tanda perhatian dan aku merasa tersanjung saat orang lain begitu memikirkan perihal masa depan kita.



Lalu apa yang kulakukan selama ini? Menikmati hidup. Memanfaatkan segala waktu tunggu yang Tuhan berikan padaku, berpetualang, mewujudkan mimpi-mimpi lainku, melihat dunia baru dengan melangkah pergi dari zona nyamanku.

Menyibukkan diri dengan hal-hal baik lainnya, karena kebebasanku adalah prasangka baikku pada Tuhan. Dan setiap prasangka buruk datang, akan segera kutepis dengan melihat kehidupan lain yang lebih tak beruntung daripada diriku. Dan aku bersyukur dengan segala yang menghampiri karena dari situ pengalaman hidup aku dapatkan. Pengajaran sebagai bekalku kelak untuk menapaki fase yang serupa.



Dan sekarang sembilan hari berlalu di tahun ke-29 ku, pertanyaan-pertanyaan mereka berubah menjadi doa dan kali ini aku benar-benar berharap Tuhan akan mendengar doa mereka. Kerinduanku akan sebuah jalinan hubungan, fase lain dalam setiap kehidupan manusia yang ditakdirkan berpasangan sudah tak terbendung lagi. Entah sudah berapa lama impianku memiliki keluarga sederhana nan bahagia terus terangan. Yang bisa aku lakukan adalah menunggu dengan segenap kemampuanku. Menunggu dengan sabar dan penuh keikhlasan, terus berbaik sangka dan menyiapkan diri.

Tuhan, tahun ini dengarkanlah doaku dan doa mereka. Aku tak ingin terus melajang dan menua dalam kesendirian. Aku ingin beribadah kepada-Mu lebih dari sebelumnya. Dan semoga yang mereka semogakan tersemogakan. Aamiin.

Solo, 25 Juli 2018

(vem/nda)