Perkataan adalah Doa, Jodohku Sesuai Persis dengan yang Selama Ini Kupinta

Fimela diperbarui 25 Jul 2018, 13:45 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Ya, tentu saja setiap orang pasti pernah mengalami ditanya pertanyaan itu. Pertanyaan yang diawali dengan kata “kapan". Berawal dari, “Kapan masuk kuliah?” “Kapan lulus kuliah?” “Kapan menikah, udah umur segini lho?” “Kapan punya anak? Jangan menunda-nunda." “Kapan nih dibikinin adik lagi?” dan seterusnya. Selama kita masih hidup, pertanyaan “kapan” itu tidak akan pernah ada habisnya.

Padahal pertanyaan itu sangat sederhana, mereka bertanya seperti itu hanya sekadar untuk basa basi belaka, untuk memulai topik pembicaraan. Namun bagi sebagian orang pertanyaan itu memiliki makna yang mendalam. Pertanyaan yang mampu menyinggung perasaan dan bisa jadi buah pikiran sampai membuat orang sulit untuk tidur.



Begitupun aku yang tak pernah luput dari serangan pertanyaan, “Kapan nikah?” Pertanyaan itu tidak hanya berasal dari saudara, namun teman-teman dan juga tetangga tak mau kalah menanyakan hal itu. Hal yang menurutku sangat privasi untuk ditanyakan. Terlebih lagi aku menyadari saat itu aku belum memiliki calon pendamping hidup. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun kedua orangtuaku tak pernah menyetujuinya. Entah itu dari segi agama, tingkah laku, pekerjaan hingga adat-adat kejawen.

Aku pun menyerah, aku lelah dengan semua ini. Sudah susah payah dekat dengan seseorang, ujung-ujungnya tetap sama, orangtua tidak setuju. Hingga suatu ketika aku memberanikan diri bertanya pada kedua orangtua. Kriteria apa saja yang harus ada pada diri laki-laki agar kedua orangtua setuju.

Entah apa yang ada dibenakku saat itu, yang jelas aku mencatat semua kriteria di selembar kertas. Aku tak mau gagal dan salah lagi dalam memilih. Aku sadar kedua orangtuaku selektif seperti ini karena mereka menginginkan pendamping hidup yang terbaik untukku. Namun kalau terus-terusan tidak setuju rasanya lelah juga. Di sisi lain teman-teman SMA, teman-teman kuliah sudah banyak yang bertunangan. Menyebar undangan pernikahan secara langsung maupun via What's App juga tak kalah banyak. Ketika mereka memberikan undangan itu pasti muncul pertanyaan, “Kapan kamu nyusul kita nikah?” Pertanyaan itu lagi, lagi, dan lagi. Aku cuma bisa tersenyum dan minta doa pada mereka, “Doakan saja, sebentar lagi insyaAllah.”



“Aamiin... semoga disegerakan ya. Udah ada calonnya kan?” tanya temanku. Aku pun menggelengkan kepala, lalu kami semua tertawa. Jujur ada rasa senang ketika melihat teman-teman sudah menemukan jodoh, pendamping hidupnya. Di sisi lain rasa khawatir dan takut itu datang.

Usiaku saat itu memang belum genap 25 tahun. Namun rentang usia antara 21-25 tahun belum juga bertemu dengan jodoh, itu bisa membuat sebagian orang panik, termasuk aku. Pikiran-pikiran negatif kadang datang menghampiri. “Kapan ya aku menikah, jangan-jangan aku nanti jadi perawan tua, kalau nikah diusia yang agak tua nanti anak-anak masih kecil ibunya udah seperti nenek-nenek, jodohku jangan-jangan sudah mati duluan, Ya Allah. Mana ya jodohku? Apa dia nggak butuh bertemu denganku?” Begitulah kira-kira, namanya juga orang galau, lelah disertai panik, pasti berpikiran yang aneh-aneh.



Sebenarnya aku ikut senang ketika mendengar kabar kalau saudara sepupu akan menikah. Karena dalam silsilah keluarga, aku merupakan cucu yang paling bontot sendiri. Jadi tak begitu ada beban mental ketika mereka bertanya, “Kamu kapan?” Dengan yakin dan mantap aku menjawab, “Habis kamu lah, masa iya aku mendahului yang lebih senior. Doain sebentar lagi ya.” Kira-kira seperti itu.

Pertanyaan “Kapan nikah?” dari saudara dan teman masih bisa aku atasi dengan mudah. Tapi pertanyaan dari tetangga atau tiba-tiba teman orangtua juga tak mau kalah ingin bertanya, aku benar-benar angkat tangan. Aku hanya bisa tersenyum, mencoba bersabar, dan tak lupa minta doa agar segera dipertemukan jodoh lalu menikah.

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika mereka mulai membandingkan aku dengan anaknya, atau anak tetangga lain yang sudah menikah. Padahal usia mereka masih jauh di bawahku. Terkadang ada juga yang bercerita kalau anaknya sudah memiliki pacar, pacarnya itu ingin sekali untuk segera melamar. Pasti bagi para jomblo sampai halal, rasanya sangat sakit mendengar semua percakapan itu. Rasanya ingin sekali berkata dengan lantang, “Hey tolong dong hargai perasaan orang lain! Coba kalian berada di posisi ini, pasti rasanya sakit juga.” Tapi pada akhirnya aku tetap memilih untuk diam dan mendengar semua cerita mereka.



Pernah suatu ketika salah satu tetangga bertanya padaku, aku akui tetangga yang satu ini sangat aktif mencari-cari informasi. Keluargaku sampai lelah dengan pertanyaan yang selalu saja sama. Saat dia bertanya, “Jadi kapan nih nikahnya?” dengan berani aku menjawab, “Minta doanya ya Bu, semoga disegerakan. Insyaallah hari Jumat, setelah salat jumat.” Aneh memang aku bisa spontan mengatakan hal itu. Yang ada di pikiranku saat itu adalah bagaimana cara menghentikan cecaran pertanyaannya. Dan tentu saja aku berpikir kalau perkataan adalah sebuah doa.

Aku sempat benar-benar lelah untuk memulai sebuah hubungan, dalam artian pendekatan dengan lelaki. Akhirnya aku benar-benar lepas, pasrah tak memikirkan lelaki. Aku hanya fokus pada kerjaan, hobi, bagaimana cara agar orangtua senang, dan memperbaiki diri. Memperbaiki kualitas ibadah yang menurutku masih sangat kurang.

Mulai dari salat di awal waktu, mengaji setiap hari, melakukan puasa sunah Senin-Kamis, memperbaiki tutur kata dan tingkah laku, dsb. Tentu saja membutuhkan proses yang panjang untuk mendapatakan sesuatu yang terbaik. Tak ada sesuatu hal yang instan, semua butuh proses.

Jikalau memang mendapatkan dengan cara instan dan terburu-buru pasti hasilnya tidak akan bertahan lama. Hingga saat itu akhirnya tiba. Jodohku, pendamping hidupku tiba, datang ke rumah beserta keluarganya. Kami tak pernah kenal apalagi bertemu sebelumnya. Dia adalah wujud nyata manusia yang selama ini aku pinta pada Allah. Sama persis mulai dari agama, tingkah laku, pekerjaan sampai detail wajah, postur tubuh serta berkacamata.



Allah kabulkan semua yang aku pinta. Tak perlu menunggu waktu yang lama. Setelah proses taaruf kita rasa sudah cukup, kami melangsungkan akad nikah. Entah sebuah kebetulan atau bagaimana, akad nikah kami berlangsung hari Jumat, setelah salat Jumat. Persis dengan perkataanku yang dulu, untuk menjawab pertanyaan dari orang-orang. Perkataan adalah sebuah doa memang benar adanya.

Jadi bagi yang masih menunggu, entah itu sekolah, karier, pekerjaan, jodoh, buah hati, atau apa saja, tetaplah berusaha, bersabar, dan berdoa. Bolehlah sekali-kali belajar untuk cuek dengan pertanyaan “kapan” agar kita tidak terlalu tertekan dan panik. Yakinlah semua memiliki jatah waktu masing-masing, yang terbaik menurut Allah.

Terus perbaiki diri, jangan lupa berdoa, rayu-rayu sedikit ke Allah boleh juga. Karena kita tidak akan tahu kejutan apa yang Allah siapkan untuk kita. Untuk seseorang yang sudah berjuang melalui proses yang sangat panjang, kejutan itu akan datang dalam wujud yang sangat indah. Hingga kita lupa rasanya sakit, menunggu, dan berusaha untuk sabar.





(vem/nda)
What's On Fimela