Jodoh Bukan Cuma Kita yang Mengatur, Ada Tangan Tuhan yang Bekerja

Fimela diperbarui 25 Jul 2018, 10:50 WIB
Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Siapa pun orangnya pastilah enggan jika kehidupannya harus terus terusik dengan berbagai pertanyaan ‘kapan’ yang seolah tak habisnya. Mereka yang bertanya seakan tak peduli dan terus mendesak dengan bertubi-tubi pertanyaan, meski mereka melihat dengan jelas ketidaknyamanan orang yang mereka desak dengan pertanyaan-pertanyaan mereka tersebut. Mungkin mereka berpikir bahwa dengan kepo urusan orang lain itu bisa membuat mereka senang dan berpuas diri. Namun nyatanya mereka tak sadar bahwa ada hati-hati yang terluka ketika pertanyaan-pertanyaan mereka terlontar begitu saja dari bibir mereka.

Aku sendiri sudah tiga tahun terakhir ini berada dalam kondisi yang harus siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baik dari orang-orang terdekatku maupun dari mereka yang hanya mengenal sepintas diriku. Pertanyaan itu adalah seputar ‘kapan menikah?’ Jujur awal-awal pertanyaan ini hadir sungguh membuatku jengah dan sesak, seolah-olah ketika usiaku saat itu memang seharusnya telah memiliki pasangan hidup. Mereka seakan mengolok-olok diriku yang masih betah sendiri, padahal mereka tak tahu seberapa besar usahaku untuk menemukan pasangan terbaik dalam hidupku.


Lambat laun pertanyaan tersebut tak lagi menggangguku, seringkali ketika ada saudara atau tetangga atau pun teman-temanku bertanya kapan aku menikah aku menjawabnya dengan santai, “Doakan saja segera ya.” Namun pertanyaan itu tak hanya merongrongku, tetapi dipertanyakan pula kepada orangtuaku. Tak ayal hal itu menjadi suatu kegundahan bagi orangtuaku, terlebih adik perempuan memiliki perbedaan usia yang tak berbeda jauh denganku. Orangtuaku khawatir jika adikku yang terlebih dahulu menikah dibandingkan aku.

Aku selalu mengatakan kepada orangtuaku bahwa aku tak masalah jika harus dilangkahi dalam urusan pernikahan, kalau memang adikku telah menemukan laki-laki yang benar pantas untuk bersanding dengannya. Akan tetapi hal itu malah semakin membuat orangtuaku terutama ibuku cemas, beliau takut jikalau adikku yang menikah terlebih dahulu, maka aku akan menjadi perawan tua. Konyol memang, tapi mungkin itu karena mereka begitu menyayangiku, sehingga ingin melihatku bahagia bersama pasangan hidupku.

Sejujurnya hal terberat yang harus hadapi setahun ini adalah menjawab pertanyaan dari ibuku yang sangat ingin aku segera melepas masa lajangku. Pertanyaan-pertanyaan yang hilir mudik datang dari orang-orang di sekitar sudah kuanggap hal biasa. Tetapi aku tak bisa melihat gurat sedih dari raut wajah ibuku, karena beliau adalah salah satu wanita inspirasiku, wanita yang dengan segala kekurangan dan kelebihannya mampu membuatku bangkit dari keterpurukan, dan wanita terhebat yang kumiliki di dunia ini.


Aku tidak trauma dengan pernikahan meski kedua orangtuaku bercerai sejak aku masih bayi dan harus melihat dengan nyata perjuangan ibuku untuk membesarkanku yang hidup dengan keluarga barunya. Aku malah menjadikan perceraian orangtuaku sebagai pelajaran dalam hidupku agar kelak ketika aku telah memiliki pasangan hidup aku bisa memiliki keluarga yang bahagia tanpa adanya perceraian.

Aku sempat menggantung harapanku kepada seorang laki-laki yang aku percaya akan membuat bahagia, tapi harapan-harapan hanyalah tinggallah harapan menyisakan luka yang cukup dalam untukku. Butuh waktu 10 bulan untukku baik-baik saja, tapi merasakan sesak ketika mengingatnya dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun kegagalanku bukan juga menjadi penghambat untukku mencari pasangan sejatiku, tetapi aku yakin Tuhan memang belum menakdirkan seseorang yang benar menurut-Nya untuk menjadi partner hidupku. Kesadaran itulah yang membuat bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan, aku mengambil pelajaran serta hikmah berharga dari harapan tinggiku kepada seseorang.

Sejak kejadian itu aku semakin meyakini Kemahakuasaan Tuhan Semesta Alam, Dia mampu membolak-balikkan sesuatu dengan begitu mudahnya termasuk urusan jodohku makhluk-Nya yang teramat kecil. Sedikit demi sedikit aku lebih mendekat kepada-Nya senantiasa bermunajat kepada-Nya tentang apa pun yang kurasakan. Belajar memasrahkan diri bahwa jodoh yang terbaik untukku telah Dia siapkan dalam rencana besar-Nya.


Menyadari tak memiliki kekuatan apa pun membuatku semakin bergantung kepada-Nya dan mulai merasa ringan ketika harus berhadapan dengan ibu yang siap bertanya kapan aku menikah. Aku semakin menguatkan jiwaku dengan mengatakan kepada diriku sendiri, "Bahwa Tuhan menyayangimu dan Dia tentunya ingin kamu bahagia maka Dia pun menyiapkan sesuatu yang terbaik untukmu. Bersabarlah dengan semua ini karena Dia bahwa engkau mampu melalui semua ini." Hal tersebut membuat tersenyum dan yakin bahwa di luar sana jodohku tengah mempersiapkan diri untuk menjemput dengan jalan yang ditunjukkan Tuhan kepadanya.

Dengan keyakinan kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa, aku semakin hanyut dalam hidupku yang lebih berwarna tak lagi mempersoalkan soal cibiran dan sindiran orang-orang di sekitar juga membuat orangtuaku tak lagi was-was dengan kesendirianku. Karena percaya dan yakinlah kepada Kemahakuasaan Tuhan akan membuat kita sadar bahwa Dia tak pernah diam, Dia selalu membuat great plan untuk setiap makhluk-Nya, asalkan kita mau merendahkan diri dan berpasrah kepada-Nya.

Namun bukan berarti hanya diam tanpa berupaya apa pun, berdoa dan berikhtiar sesuai dengan jalan yang diridhoi-Nya menjadi salah satu cara kita bersyukur dan juga berpasrah pada takdirnya. Tak lupa kita harus menyadari pula bahwa jodoh bukanlah kita yang mengatur tetapi ada tangan Tuhan yang bekerja untuk mempertemukan dan menyatukan kita dengan jodoh kita.
(vem/nda)