Bukannya Tak Mau Menikah, Hanya Saja Kekasih Belum Melamar

Fimela diperbarui 25 Jul 2018, 11:15 WIB
Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Dalam hidup aku tidak sepatutnya mengeluh. Deretan kebaikan yang Tuhan berikan kepadaku harus selalu aku syukuri. Memiliki orangtua yang harmonis dan kakak yang sangat menyayangiku dengan sepenuh hati. Kakak yang selalu dapat dijadikan panutan.

Selama ini aku tidak kekurangan apapun dari segi materi. Alhamdulillah kini aku telah bekerja dengan gaji yang bagus di institusi pendidikan tempatku mengabdi. Sebagai anak perempuan tentu aku merasa senang karena di tengah-tengah masyarakat tempatku berasal tidak banyak perempuan yang memiliki pekerjaan bagus. Kebanyakan membantu orangtua atau bagi yang sudah menikah kehidupannya disokong suami dan menjadi ibu rumah tangga. Aku tidak menganggap ini sebagai hal yang patut aku sombongkan, hanya saja aku bersyukur bisa hidup mandiri tanpa membebani orangtuaku lagi secara materi.


Kini usiaku menginjak 29 tahun. Usia yang sudah matang untuk menikah. Bahkan banyak tetangga-tetanggaku yang usianya jauh di bawahku telah menggendong dua anak dan menjadi ibu rumah tangga. Tak heran bila banyak tetangga yang menanyakan kapan aku akan mengakhiri masa lajangku. Bukan aku yang sering dihujani pertanyaan itu tapi kedua orangtuaku.

Posisiku yang bekerja di luar kota mungkin sedikit melegakan karena akan jarang mendapat pertanyaan seperti itu. Tetapi orangtuaku tidak dapat mengelak dari pertanyaan-pertanyaan itu. Sebenarnya kakakku juga belum menikah. Tapi karena dia laki-laki maka dianggap tidak masalah kalau masih fokus di kariernya. Perbedaan sudut pandang itulah yang menjadikanku sebagai obyek yang mendapat tekanan dari berbagai pihak terutama orangtua untuk segera menikah.

Aku sebenarnya telah memiliki tambatan hati. Sesosok laki-laki telah melumpuhkan hatiku. Dia aku anggap sebagai sosok yang baik dan pintar. Memiliki jenjang karier yang bagus dan dari keluarga baik-baik. Kami pun sudah berkomitmen untuk serius menjalani hubungan kami.


Hanya saja posisi di keluarganya sebagai anak tunggal dengan pekerjaan yang bagus menjadikan keluarganya enggan untuk memberikan restu menikah cepat-cepat. Dia dianggap dapat mengembangkan karier lebih tinggi tanpa perlu tergesa-gesa menikah. Mungkin dengan sifatku yang cuek bisa saja aku tidak peduli dengan desakan tetangga dan keluargaku. Tapi di sisi lain aku juga memikirkan kedua orangtuaku yang semakin bertambah umur dan ingin segera menimang cucu.

Bisa juga aku meninggalkankan dia sekarang dan beralih pada lelaki lain yang bisa segera menikahiku, tapi kenyataannya hati ini sulit berpaling dari kharisma dia yang telah melekat dihatiku. Aku sudah mengimpikannya menjadi pasanganku dunia akhirat.

Aku hanya bisa berdoa dan berusaha dengan ikhtiarku. Bukan ingin menunda-nunda menikah tapi memang ini bukan waktu yang pas untuk kami. Mungkin Tuhan menyuruhku untuk bersabar menunggu. Menunggu saat itu tiba dan menjadikanku dan dia pasangan yang berbahagia.


Aku selalu berdoa agar kedua orangtuaku selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk menjalani hari-hari mereka sembari menunggu dan menyaksikan anak-anaknya menikah dan berbahagia dengan pasangannya. Hanya senyum yang bisa aku berikan saat ini sembari hati berdoa, ketika ada orang yang menanyakan kapan aku menikah.

Aku tidak tahu sampai kapan aku bertahan karena aku benar-benar mencintainya. Biarlah orang-orang berpikir sesuai persepsinya, tapi aku akan tetap menunggu sampai waktu itu tiba. Semoga aku tidak menunggu orang yang salah dan orangtuaku paham dengan keputusanku.  
(vem/nda)