Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Pertanyaan “kapan” sering saya alami mulai dari saya berumur 23 tahun. Berawal dari masa kuliah yang molor sampai 7 tahun, membuat saya sering mendapat pertanyaan dari teman kuliah, teman SMA bahkan orang tua dan keluarga besar. Pada awalnya, saya menjawab pertanyaan, “Kapan kamu lulus?” dengan sederhana dan mudah, tapi seiring berjalannya waktu, hati dan mental merasa sangat terganggu. Berbohong dan mengarang cerita rasanya menjadi hal yang biasa untuk menjawab setiap pertanyaan “kapan” tersebut. Sampai pada akhirnya saya merasa sangat marah dan lelah untuk berbohong terus–menerus.
Pertanyaan “kapan kamu lulus?” sudah tidak lagi menjadi pertanyaan yang mengganggu, namun sudah berubah menjadi cambukan dan dorongan bagi saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir/skripsi sehingga saya bisa segera lulus dan wisuda. Akhirnya tepat pada Mei 2015, saya diwisuda dan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi dari salah satu kampus swasta ternama di Jawa Timur. Setelah lulus saya tidak serta merta merasa terlepas dari pertanyaan “kapan” dari berbagai pihak. Selanjutnya saya memasuki level pertanyaan “kapan” berikutnya yang membuat saya lebih harus bersabar dalam memberikan setiap jawaban.
Lulus saat usia 25 tahun bukanlah hal yang membanggakan, bahkan cenderung menjadi ganjalan tersendiri bagi saya. Setelah lulus beban mental untuk segera mendapatkan pekerjaan mulai menghantui. Ternyata mendapat pekerjaan yang dimimpikan bukanlah hal mudah untuk lulusan usia 25 tahun. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan batasan usia maksimal 24 tahun, membuat saya harus lebih berusaha keras untuk mendapat pekerjaan. Mulai dari mendatangi setiap job fair yang ada di beberapa kota, sampai melamar pekerjaan via online sudah saya lakukan. Atas dasar ingin berusaha sendiri tanpa memanfaatkan “link” membuat saya agak susah mendapatkan pekerjaan.
Bukan tanpa hasil, beberapa lamaran yang saya masukan mendapatkan respon yang baik sehingga tidak sedikit undangan untuk interview dan psikotes di beberapa perusahaan. Namun, penawaran dari perusahaan-perusahaan yang tidak sesuai harapan, membuat saya memilih untuk menolak tawaran pekerjaan tersebut. Sehingga membuat saya menganggur sampai akhir 2016. Sempat bekerja selama 1,5 tahun, namun memilih untuk keluar dan mencari pekerjaan lain yang saya impikan. Hal itu membuat orang tua saya sering bertanya, “Kapan kamu dapat kerja?” Namun dalam hal ini saya tidak terlalu menjadikan beban mental karena memang sudah sepantasnya orang tua menanyakan hal tersebut. Akan tetapi beban perasaan menjadi sangat berat ketika yang bertanya adalah keluarga jauh yang biasanya ditambahi dengan beberapa kalimat–kalimat yang seharusnya tidak dikatakan.
Pertanyaan “kapan kamu lulus?” sudah tidak lagi menjadi pertanyaan yang mengganggu, namun sudah berubah menjadi cambukan dan dorongan bagi saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir/skripsi sehingga saya bisa segera lulus dan wisuda. Akhirnya tepat pada Mei 2015, saya diwisuda dan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi dari salah satu kampus swasta ternama di Jawa Timur. Setelah lulus saya tidak serta merta merasa terlepas dari pertanyaan “kapan” dari berbagai pihak. Selanjutnya saya memasuki level pertanyaan “kapan” berikutnya yang membuat saya lebih harus bersabar dalam memberikan setiap jawaban.
Lulus saat usia 25 tahun bukanlah hal yang membanggakan, bahkan cenderung menjadi ganjalan tersendiri bagi saya. Setelah lulus beban mental untuk segera mendapatkan pekerjaan mulai menghantui. Ternyata mendapat pekerjaan yang dimimpikan bukanlah hal mudah untuk lulusan usia 25 tahun. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan batasan usia maksimal 24 tahun, membuat saya harus lebih berusaha keras untuk mendapat pekerjaan. Mulai dari mendatangi setiap job fair yang ada di beberapa kota, sampai melamar pekerjaan via online sudah saya lakukan. Atas dasar ingin berusaha sendiri tanpa memanfaatkan “link” membuat saya agak susah mendapatkan pekerjaan.
Bukan tanpa hasil, beberapa lamaran yang saya masukan mendapatkan respon yang baik sehingga tidak sedikit undangan untuk interview dan psikotes di beberapa perusahaan. Namun, penawaran dari perusahaan-perusahaan yang tidak sesuai harapan, membuat saya memilih untuk menolak tawaran pekerjaan tersebut. Sehingga membuat saya menganggur sampai akhir 2016. Sempat bekerja selama 1,5 tahun, namun memilih untuk keluar dan mencari pekerjaan lain yang saya impikan. Hal itu membuat orang tua saya sering bertanya, “Kapan kamu dapat kerja?” Namun dalam hal ini saya tidak terlalu menjadikan beban mental karena memang sudah sepantasnya orang tua menanyakan hal tersebut. Akan tetapi beban perasaan menjadi sangat berat ketika yang bertanya adalah keluarga jauh yang biasanya ditambahi dengan beberapa kalimat–kalimat yang seharusnya tidak dikatakan.
Pertanyaan mereka tidak hanya berhenti sampai pada “kapan kamu kerja?” tetapi juga ditambahi dengan “sudah kuliah jauh–jauh, mahal–mahal nggak bisa ngasih orang tua apa–apa." Terkadang saya berpikir hal itu lebih baik tidak dijawab, tetapi dalam hati tentunya ingin memberi jawaban dan pembelaan atas kondisi saya. Namun saya lebih sering memilih untuk diam dan mendengarkan, yang membuat saya harus memendam rasa jengkel dan sedih. Berlalunya waktu saya memilih untuk tidak ambil pusing mengenai setiap pertanyaan–pertanyaan “kapan” yang diajukan orang–orang sekitar. Karena apapun jawaban dan pembelaan yang kita berikan, tidak akan memberikan kepuasan terhadap orang yang bertanya.
Menjadi wanita yang berumur 28 tahun, belum bekerja dan belum menikah pertanyaan “kapan” selalu memiliki makna lain dalam hidup saya. “Kapan lulus kuliah?” “Kapan dapat kerja?” “Kapan kamu nikah?” adalah pertanyaan yang sering saya terima setiap harinya.
Banyak orang yang berpikir di usia 28 tahun sekarang sudah seharusnya saya berkeluarga atau bahkan memiliki anak. Namun, tidak semua orang mendapatkan kesempatan dan rejeki yang sama, tidak semua orang memiliki jalan hidup yang sama dan tidak semua orang memiliki rencana hidup yang sama. Terkadang orang-orang tersebut tidak hanya bertanya, namun juga memberikan perbandingan yang sering membuat saya iri.
Pertanyaan “kapan kamu nikah?” sudah menjadi makanan saya sehari–hari. Mulai dari keluarga besar sampai tetangga dan teman–teman semasa sekolah. Ketika pergi ke pasar sampai pergi jalan–jalan, tetap saja saya akan mendengar pertanyaan tentang “kapan menikah”. Bukan karena saya tidak laku atau tidak ada yang suka, justru saat ini saya berpacaran dengan seorang pria dengan masa pacaran lebih dari 4 tahun. Bukan tanpa alasan kenapa saya belum menikah, kami memiliki rencana yang bisa dibilang berbeda dengan orang kebanyakan, dan kami pun tahu bahwa tidak semua orang perlu mengetahui dan mengerti rencana kami berdua.
Bukan hanya saya saja, namun pacar saya juga sering mendapatkan pertanyaan yang sama “kapan kamu nikah?” atau bahkan pertanyaan, “Nunggu apa lagi, kok gak nikah-nikah?” Pada awalnya kami sering berdiskusi dan membicarakan setiap pertanyaan tersebut, tak jarang juga kami saling curhat dan mengeluh satu sama lain mengenai pertanyaan–pertanyaan tersebut.
Bahkan kami sering menghabiskan berjam–jam telepon untuk bercerita satu sama lain, karena kami tinggal di kota yang berbeda atau bisa dibilang LDR-an. Kami berdua merasa risih dan terganggu, namun kami sepakat untuk selalu menjawab dengan sopan, “Doakan saja ya biar cepat nyusul nikah." Agak berat memang bagi saya pribadi untuk terus menjawab pertanyaan “kapan nikah” dengan ringan dan senyum.
Sering saya berharap orang–orang tersebut menanyakan tentang masalah lain, misalnya saja tentang negara dan politik atau gosip–gosip artis yang viral, agaknya itu akan lebih seru dan mudah untuk dijawab dan tidak akan meninggalkan kesan yang tidak enak di hati. Saya juga pernah bertanya hal yang sama kepada teman sekolah semasa SD yang perempuan, ini terjadi beberapa minggu lalu.
Karena saat ini saya tinggal di kota kelahiran saya, maka setiap hari kegiatan saya selain menunggu panggilan kerja dan menulis, adalah membantu pekerjaan di rumah termasuk berbelanja ke pasar tradisional. Pada waktu di pasar saya berencana akan membeli ikan pindang, tanpa melihat ternyata saya disapa oleh penjualnya yang kebetulan adalah teman saya sewaktu SD, sebut saja dia dengan Avi.
Dengan senyum yang ramah Avi bertanya ikan apa yang akan saya beli dan mulailah perbincangan singkat kami. Dalam perbincangan kami, Avi menyampaikan bahwa salah satu teman SD kami akan menikah pada akhir bulan Agustus, kemudian ia memberikan pertanyaan yang biasa saya dengar, “Kamu sudah nikah?” langsung saya jawab,“Belum Vi, kamu gimana?” Dengan wajah yang malu–malu dan canggung Avi menjawab, “Belum juga, Wid." Ketika melihat ekspresi wajah Avi saat menjawab pertanyaan saya, membuat saya mengerti bahwa tidak hanya saya sendiri yang sering mendapatkan pertanyaan “kapan” di saat itulah saya memberanikan diri untuk memberi semangat ke teman saya dengan mengatakan bahwa menikah bukanlah siapa yang cepat ialah yang hebat, tetapi menikah itu perlu keyakinan dan kesiapan hati untuk menuju ke level kehidupan selanjutnya dan menikah itu satu kali untuk seumur hidup.
Kehidupan seorang wanita tidak berhenti ketika ia menikah, justru itulah di saat seorang wanita memulai kehidupan pada level yang baru. Dan bukan berarti yang belum menikah adalah wanita yang gagal dan patut dibebani dengan pertanyaan “kapan”, melainkan kami sedang mempersiapkan kehidupan, baik hati dan mental agar mendatang menjalani pernikahan tanpa suatu penyesalan dan keluhan ke depannya.
Sebagai wanita yang berada pada masa akhir umur 20-an bukanlah hal yang mudah dan ringan untuk menjawab pertanyaan “kapan” dari banyak orang, mulai dari orang lain, tetangga, teman sekolah bahkan keluarga sendiri. Ditambah lagi ketika harus tinggal di kota kelahiran, tepatnya di pesisir pantai.
Di desa saya tinggal, sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah, ketika ada orangtua yang menikahkan anak perempuannya yang baru lulus SMA. Bukan hal tabu pula jika di desa saya tinggal, wanita seusia saya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Ya inilah kenyataan yang saya alami dalam fase kehidupan di usia 28 tahun.
Pada titik ini, bagi saya pribadi pertanyaan “kapan dapat kerja?” dan “kapan kamu menikah?” sudah tidak menjadi beban hati dan mental yang berat. Yakinlah bahwa setiap rencana dan keputusan yang kita ambil di masa kini, akan mempengaruhi kita di masa mendatang dan hanya kita yang akan menanggung segala resiko dan konsekuensi untuk dipertanggungjawabkan.
Pada awalnya saya berpikir pertanyaan “kapan” adalah yang sangat mengganggu dan menjengkelkan, memang benar sangat menjengkelkan dan tidak hanya saya yang berpendapat seperti itu, mungkin tidak hanya saat ini saja namun di masa mendatang pertanyaan “kapan” sebagian akan meninggalkan kesan menjengkelkan bagi saya. Tetapi pada saat ini, saya mulai berpikir bahwa pada dasarnya orang yang bertanya “kapan” kepada kita, memiliki beberapa motif. Yaitu, mencoba untuk mengakrabkan diri dan berusaha bersikap ramah dengan memulai topik pembicaraan yang mudah dengan kata “kapan”.
Selanjutnya apabila orang yang bertanya tersebut adalah teman semasa sekolah, maka mereka cenderung bertanya kabar terbaru dari kita yang disesuaikan dengan usia atau keadaan yang dialami orang yang bertanya tersebut. Dan jika yang bertanya adalah keluarga, maka mereka cenderung ingin mendengar rencana kita ke depannya dan kepastian kita akan rencana hidup, walaupun terkadang terdengar memaksa dan memberikan pembanding akan keadaan kita, namun mereka hanya ingin mendapatkan jawaban dan kabar yang baik dari kita.
Keramahan seseorang terkadang terlalu berlebihan untuk orang lain. Ramah tamah bisa ditunjukkan lewat senyuman dan berlanjut memulai perbincangan dengan orang lain, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Namun, perbincangan yang terjadi antara dua orang bisa membuat salah satu harus berpikir keras untuk mengimbangi suatu pembicaraan tersebut.
Tanpa kita sadari terkadang beberapa pertanyaan dapat mengganggu kita dan meninggalkan kesan yang tidak enak. Tapi bagaimanapun juga, kita sebagai perempuan yang cenderung diidentikan sebagai makhluk yang ramah, harus bisa memberikan respon yang baik terhadap pertanyaan orang – orang sekitar dan orang terdekat pada khususnya. Meskipun pada dasarnya pertanyaan “kapan” adalah hal yang kurang sopan ditanyakan kepada orang lain, karena setiap orang memiliki field of experience berbeda–beda yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kehidupan dan percakapan yang Ia lakukan dengan orang lain.
Seorang wanita di usia akhir 20-an sangat sensitif dengan pertanyaan “kapan dapat kerja” “kapan menikah” dan “kapan punya anak”. Terkadang saya berharap bahwa semua orang di sekitar saya pada khususnya dan orang–orang yang memiliki sanak saudara, tetangga atau teman wanita yang berusia mendekati 30 tahun pada umumnya dan memiliki posisi seperti saya, mulailah berpikir untuk berhenti bertanya dan berhenti untuk selalu memandang penuh curiga kepada mereka.
Sebenarnya tidak ada satupun wanita yang ingin berada di posisi sebagai subjek pertanyaan “kapan”, dan tidak ada satupun wanita yang ingin menjadi bahan perbincangan tentang setiap keadaan yang mereka hadapi. Beruntunglah kalian yang saat ini berusia 28 tahun sudah menikah dan berkeluarga, berbahagialah kalian yang saat ini di usia akhir 20-an sudah memiliki pekerjaan yang kalian inginkan dan tidak menjadi beban orang tua, dan berbanggalah kalian yang saat ini menjelang usia 30 tahun, mempunyai pekerjaan yang kalian impikan dan sudah menikah serta memiliki anak.
Biarkan kami yang saat ini masih berusaha mencari jalan untuk memperbaiki kehidupan dan menghadapi rasa ketidakyakinan terhadap waktu ini berjuang dan bertindak, karena pertanyaan “kapan” dari kalian tidak membantu memperbaiki perasaan ataupun hari–hari kami. Yakinlah bahwa setiap wanita memiliki pilihan dan jalan hidup yang berbeda–beda, tak perlu ditanyakan mengapa dan kenapa, tak perlu diperinci dan tak perlu dicurigai. Setiap pilihan seorang wanita yang tidak merugikan orang lain adalah benar baginya. Jika setiap wanita berhak berbahagia atas semua yang didapatkan dan diinginkan, maka jangan berikan kami beban dengan pertanyaan “kapan”.
- Meski Belum Menikah, Kehidupanmu Akan Baik-Baik Saja Kok!
- 5 Alasan Kamu Nggak Perlu Galau Kalau Ditanya Kapan Nikah
- Hati Perlu Pembiasaan Sebab yang Tadinya Tak Suka Lama-Lama Jadi Cinta
- Tidak Ada Akhir yang Baik-Baik Saja Bila Perselingkuhan Menodai Pernikahan
- Cepat Lambatnya Menikah Bukan Tolak Ukur Kesuksesan, Ya Kan?