Tak Kunjung Menikah di Usia 40an, Mungkin Ini Memang Hukuman Untukku

Fimela diperbarui 24 Jul 2018, 11:15 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Sebut saja namaku Layla, aku anak perempuan satu-satunya dan bungsu dari 7 bersaudara. Usiaku saat ini sudah menginjak kepala empat lebih. Tapi, belum memiliki seorang pendamping. Aku pernah beberapa kali menjalin sebuah hubungan dengan pria, bahkan sampai berjalan tahunan. Mungkin saja kami tidak berjodoh, hingga hubungan tersebut harus kandas sebelum berhasil naik ke pelaminan.

Bukannya parasku tidak cukup menarik. Keluargaku pun termasuk yang terpandang di kampungku, memiliki cukup tanah dan sawah yang bisa dijadikan warisan. Beberapa saudara laki-lakiku menyandang pangkat militer. Tapi entah kenapa, untuk urusan asmaraku selalu saja tidak berhasil.

Terkadang dalam diamnya ibadahku aku berpikir, “Apa aku terkena karma atas masa lalu yang aku perbuat pada kakak iparku?"

Dulu, setelah aku lulus SMA, aku ditawari kakak sulungku untuk bekerja di kota tempatnya bertugas sekaligus menjadi teman untuk istrinya yang sedang hamil muda anak pertama. Karena saat itu kakakku lagi persiapan untuk mengikuti pendidikan Secaba-nya (pendidikan kenaikan pangkat TNI dari Tamtama ke Bintara), dan akupun mengiyakan. Singkat cerita, tak hampir sebulan aku sudah berhasil mendapat pekerjaan di kota dengan bantuan kakakku.

Memiliki pekerjaan di kota membuat lingkaran pertemananku pun bertambah. Sebut saja namanya Mbak Dewi, seniorku yang ternyata menjadi perantara dari kakak, sehingga aku bisa diterima bekerja. Sosoknya supel, baik, dan menyenangkan diajak curhat. Bahkan tak jarang dia mengajakku jalan ke pusat perbelanjaan dan membelikanku sesuatu.



Hingga akhirnya, saat kami teleponan dia mengatakan rasa sukanya terhadap kakakku dan memintaku untuk bisa mendekatkannya. Jujur saja, saat itu aku tidak enak hati. Di satu sisi aku menghormati kakak iparku yang telah mau menerimaku tinggal di rumahnya. Tapi di sisi lain, aku juga merasa senang jika kakakku bisa bersama dengan Mbak Dewi. Terlebih lagi, sebenarnya aku memiliki sedikit rasa kurang suka karena beberapa perlakuan sang kakak ipar yang sering memintaku untuk membersihkan rumah. Padahal di kampung, aku anak yang jarang disuruh bersih-bersih.

Hingga akhirnya, aku pun menjadi perantara hubungan terlarang Mbak Dewi dengan kakakku selepas pendidikannya. Tak terhitung sudah beberapa kali aku dan kakak pergi bersama, dengan alasan ingin ditemani pada kakak ipar. Padahal, kami berdua keluar untuk jalan bersama dengan Mbak Dewi.



Tapi, secantik apapun kebusukan yang kami bungkus akhirnya tercium juga. Sang kakak ipar akhirnya mengetahui perselingkuhan kakakku dan Mbak Dewi. Aku masih sangat ingat sekali, sambil menangis kakak ipar menyumpahiku tidak akan bisa menikah dan menjadi perawan tua. Sejak kejadian itu, aku pun pamit kembali ke kampung. Lalu, tak lama berita duka itupun datang, kakak iparku meninggal saat melahirkan.

Sampai saat ini, keponakanku yang kakak ipar lahirkan memiliki paras yang agak mirip denganku, dan saat ini sedang mempersiapkan pernikahannya. Aku sebagai tantenya, tentu akan menghadiri undangan sang keponakanku. Meski nantinya, harus siap dengan candaan, “Didahului nikah oleh keponakan sendiri,” dan lontaran tanya, “Kapan akan menyusul nikah?”

Tapi sudahlah. Mungkin itu memang hukuman yang pantas untuk aku. Tante perawan tua, yang sudah menanam duri di hati ibunya dulu.






 

(vem/nda)