Hati Perlu Pembiasaan Sebab yang Tadinya Tak Suka Lama-Lama Jadi Cinta

Fimela diperbarui 23 Jul 2018, 19:30 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***


Saat berusia 21 tahun, saya harus mengambil keputusan terberat dalam kehidupan saya. Keputusan yang nantinya akan mengubah segala kehidupan saya, mengubah pergaulan dan tentunya akan mengubah nasib dan status saya. Ya, yang saat itu masih menikmati kebebasan untuk bergaul dengan siapa saja, bebas kemanapun dan melakukan apa saja.

Bulan Mei 2010, di bulan inilah datang seorang pria ke rumah untuk bertemu dengan keluarga saya. Pria ini berniat melamar dan memohon restu untuk menikahiku. Pria ini saya kenal sebagai teman kakak saya, yang saya pun sebenarnya tidak akrab  karena kami hanya beberapa kali sempat bertegur sapa. Pria yang usia dan statusnya berbeda dengan saya.

Batin saya bergejolak, bingung harus berbuat apa dan harus memberikan jawaban apa. Segala keputusan di berikan kepada saya. Menerima atau menolak pinangan ini semuanya berada di tanganku. Pihak keluarga besar saya menyetujui dan menerima segala keputusan saya saat itu.

Awalnya saya sangat syok dan tak percaya, apalagi kami tidak pernah membahas pernikan. Terlebih saat itu saya masih kuliah dan belum siap berumah tangga. Pinangan pria tersebutpun saya tolak secara halus. Untungnya pria ini sangat penyabar dan menerima keputusanku. Bahkan pria itupun dengan dewasanya memberikan saya waktu saya waktu berpikir.



Meskipun lamaran pria ini telah saya tolak, tapi karena dia adalah teman kakak saya yang sering datang berkunjung ke rumah, jadi otomatis saya sering melihatnya.Pria itu sudah sangat akrab dengan keluarga saya, bahkan keluarga saya sangat setuju jika dia menjadi suami saya. Keluarga saya berpikir dia pria dewasa yang sangat baik dan memiliki pekerjaan, tapi ya saat itu saya memang benar benar belum siap.

Sejak saat itulah, beberapa anggota keluarga saya sering bertanya kapan saya menerima pinangan pria itu. Kapan saya siap berumah tangga. Awalnya sih saya biasa saja dengan pertanyaan tersebut, tapi lama-lama kuping saya pedas dibuatnya. Saya merasa bosan mendengar pertanyaan kapan menerima pinangan. Kapan nikah? Pertanyaan ini seperti hantu yang menghantui malamku. Sebelum tidur pertanyaan itu selalu tergiang di telingaku dan sangat mengganggu.

Namun saya hanyalah manusia biasa. Saya hanya mampu berencana tapi Tuhan punya takdir lain untuk saya. Karena sering melihat pria itu datang ke rumah, perasaan cinta mulai tumbuh di hatiku. Benih cinta yang semakin hari semakin tumbuh subur.

Saya sangat simpati dengan sikap dan tutur katanya yang sopan. Perjuangan dan pengorbanannya untuk mendekatiku berbuah hasil. Saya mulai jatuh cinta kepadanya. Bahkan kehadirannya selalu saya nantikan.



Tidak butuh lama, kami memutuskan menikah. Saya akhirnya menikah dengan pria yang sangat saya cintai dengan syarat saya tetap ingin melanjutkan kuliahku. Suamiku pun sangat mendukung jika saya melanjutkan kuliah.

Dan akhirnya pertanyaan kapan nikah itupun akhirnya hilang seperti diterbangkan angin. Kami hidup bahagia dan sangat menikmati moment kami sebagai pasangan suami istri.

Tapi lika liku kehidupan sangatlah rumit. Kami yang baru menikah langsung mendapat serangan pertanyaan kapan punya anak.

Pertanyaan kapan punya anak selalu datang menghampiri rumah tangga. Dia seperti tamu yang tak kami undang yang mengusik keharmonisan kami.

Padahal saat itu kami memang sepakat menunda memiliki anak karena saya ingin fokus menyelesaikan kuliah. Stop tanya kapan karena kami pun selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarga kami.

(vem/nda)
What's On Fimela