Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional tahun 2018, KPAI mengungkap hasil pengawasan kasus sepanjang tahun 2018. Ada 9 bidang yang merilis hasil pengawasan kasus sepanjang 2018, termasuk bidang pendidikan. Rilis ini hanya membahas hasil pengawas bidang pendidikan.
Berdasarkan data KPAI yang didapatkan dari berbagai sumber, yaitu mulai dari pengaduan langsung, investigasi dan pemantauan kasus di lapangan, tren pelanggaran anak dalam pendidikan mengalami pasang surut. Data kasus bidang pendidikan yang dikategorikan menjadi lima bentuk, yakni anak korban tawuran, anak pelaku tawuran, anak korban kekerasan dan bullying, anak pelaku kekerasan dan bullying, dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah).
Menurut data KPAI jumlah kasus pendidikan per tanggal 30 Mei 2018, berjumlah 161 kasus, adapun rinciannya sebagai berikut: anak korban tawuran sebanyak 23 (14,3%) kasus; anak pelaku tawuran sebanyak 31 (19,3 %)kasus; anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 (22,4 %) kasus; anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 (25,5%) kasus; dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 (18,7%) kasus. Tahun 2018 kasus pendidikan menempati posisi ke-4 teratas setelah pornografi dan cybercrime.
Selain itu, ada kasus lain yang bisa dikategorikan sebagai anak korban kebijakan secara nasional juga ditangani KPAI karena selain viral di media sosial dan media massa, KPAI juga mendapatkan pengaduan dari masyarakat. Kedua kebijakan yang dimaksud adalah Ujian Nasional (UN) dan Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). KPAI juga menerima pengaduan pungutan liar yang terjadi di berbagai sekolah, laporan terbanyak tentang pembelian seragam sekolah (baju olahraga dan batik ciri khas sekolah) dengan harga mahal dan besarnya uang kas per siswa yang mencapai Rp 150.000,-/bulan.
Sedangkan pengaduan kekerasan di sekolah yang dilaporkan oleh masyarakat secara langsung ke bidang pengaduan KPAI sampai dengan per tanggal 17 Juli 2018 sebanyak 23 kasus sedangkan pengaduan online yang masuk ke KPAI sampai dengan tanggal 17 Juli 2018 sebanyak 3 kasus dengan total yang diterima pengaduan KPAI sebanyak 26 kasus. Kasus terbanyak berasal dari jenjang SD sebanyak (50%) 13 kasus. Sedangkan SMP (19,3%) 5 kasus dan SMA/SMK (34,7% ) 9 kasus. Dan pengaduan terbanyak dari daerah Jabodetabek sebanyak 21 %. Adapun wilayah asal pengaduan selain Jabodetabek adalah Bandung, Bali, Jogjakarta, Lombok Timur, dan Palu.
Tren Kasus Pendidikan Tahun 2018
Pertama, pada April-Mei 2018, pengaduan KPAI banyak menerima laporan terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menggunakan soal HOTS, di mana siswa dan orangtua mengeluhkan tentang soal-soal UN yang tidak sesuai dengan materi pembelajaran yang selama ini diterima oleh peserta didik dari para gurunya, baik siswa jenjang SMP maupun SMA/sederajat. Anak-anak juga protes di media social dan berpendapat bahwa itu bukan soal HOTS tapi sual sulit karena mereka tidak pernah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan HOTS. Laporan terbanyak berasal dari jenjang SMP.
Kedua, pada Juli 2018, pengaduan terkait Sistem Zonasi dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) banyak dilaporkan ke KPAI. Beberapa pelapor mengadukan terjadinya error dalam Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online sehingga para orangtua siswa mengeluh, sistem zonasi juga memicu stres para orangtua dan anaknya, bahkan ada seorang ibu yang mengadu ke KPAI mengalami pendarahan saat mengurus sekolah anaknya karena stres dan kelelahan, kasus ini terjadi di Tangerang Selatan.
“Kurangnya sosialisasi terkait tata cara penerimaan PPDB dengan sistem zonasi menjadi salah satu penyebabnya,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, seperti rilis yang diterima Redaksi Vemale.com.
Para orangtua masih berpikir bahwa hasil nilai UN yang tinggi akan menjamin anaknya diterima di sekolah pilihannya, padahal sistem zonasi benar-benar mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah, semakin dekat rumahnya dari sekolah makin peluang diterima semakin besar.
Sementara itu, dinas-dinas pendidikan daerah juga memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang pembagian zona PPDB, akibatnya banyak daerah padat penduduk yang tidak memiliki sekolah negeri berdampak anak-anak di daerah tersebut kehilangan akses menempuh pendidikan di sekolah negeri. Laporan terkait kasus ini berasal dari Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, Jogjakarta dan Bali.
Ketiga, masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh anak di lingkungan pendidikan, seperti kekerasan seksual, fisik dan psikis yang dilakukan oleh pendidik, ataupun sesama siswa di sekolah. Paling banyak laporan kekerasan fisik di jenjang SD dan SMA. Adapun laporan kekerasan seksual yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik terbanyak terjadi di jenjang SD dan SMP.
Di awal tahun 2018 ini, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di lingkungan sekolah mengakibatkan puluhan murid menjadi korban. Kasus terbaru adalah kekerasan Seksual terhadap 12 anak SD di Depok.
Terjadi perubahan tren korban kekerasan seksual di pendidikan, kalau sebelumnya anak perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual, maka tahun 2018 anak laki-laki lebih rentan menjadi korban.
Misalnya, kekerasan seksual yang di lakukan guru di salah satu SMP di Jakarta korbannya 16 siswa, di Kabupaten Tangerang korbannya 41 siswa, di Kota Surabaya korbannya 65 siswa, di Depok korbannya 12 siswa. Adapun siswi perempuan menjadi korban kekerasan seksual di salah satu SMP di Jombang sebanyak 25 siswi dan pesantren di Bandung Barat sebanyak 7 siswi. Data tersebut menunjukkan anak laki-laki lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual oleh oknum guru.
Rekomendasi KPAI Bidang Pendidikan
1. KPAI akan memberikan masukan dan rekomendasi tertulis bagi perbaikan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun berikutnya kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, terkait prinsip menguji soal HOTS terhadap peserta didik agar tidak berpotensi melanggar hak-hak anak dan prinsip test. Juga Kemdikbud dan Dinas-dinas Pendidikan wajib memastikan bahwa proses pembelajaran di sekolah-sekolah sudah menggunakan pendekatan HOTS sehingga ketika anak diuji dengan soal HOTS, maka siswa dapat mengerjakannya.
2. KPAI juga akan memberikan masukan dan rekomendasi tertulis bagi perbaikan pelaksanaan system zonasi dalam penerimaan peserta didik baru yang tujuannya baik, tetapi pelaksanaannya banyak bermasalah, yaitu:
a) Sosialisasi sistem zonasi PPDB wajib di lakukan secara masif dan dalam waktu yang panjang oleh Kemendikbud RI kepada Dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia. Dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia kemudian juga melakukan sosialisasi yang masif kepada sekolah dan masyarakat.
b) Dinas-dinas pendidikan wajib melakukan pemetaan wilayah, jumlah penduduk di suatu wilayah dan jumlah sekolah di suatu wilayah agar setiap anak dapat mengakses sekolah negeri di lokasi terdekat dari rumahnya. Perlu kecerdasan dan strategi khusus dalam menentukan dan membagi zonasi.
3. Sosialisasi dan pelatihan Konvensi Hak Hak Anak (KHA) wajib di lakukan pemerintah daerah terhadap sekolah dan para guru agar mereka dapat menghargai hak-hak anak, melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan di lingkungan sekolah, dan terus berupaya membangun Sekolah Ramah ANak (SRA) sehingga lingkungan yang aman dan nyaman bagi peserta didik dapat terwujud di seluruh sekolah di Indonesia.
Selamat Hari Anak Nasional Tahun 2018!