Sebelum Menyudutkan Seseorang, Pahami Dulu Keadaan yang Sebenarnya

Fimela diperbarui 22 Jul 2018, 11:00 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

 

Di dunia ini, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Tapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa hampir semua hal di dunia ini dibeli dengan uang. Begitu juga yang aku rasakan.

Sebagai seorang anak, tidak ada satupun yang tidak ingin membuat orangtua mereka bangga dan bahagia. Aku adalah salah satunya. Aku adalah anak kedua dan terakhir. Seperti halnya anak bungsu lain, aku memang sedikit lebih manja dari kakakku.

Keluarga kami dari golongan menengah ke bawah. Hidup kami, terutama kedua orangtuaku, penuh dengan kerja keras. Kami sebagai anak-anak tidak selalu mudah mendapatkan apa yang kami mau. Sering kami harus menahan godaan keinginan memiliki sesuatu yang teman kami punya. Namun, beruntungnya orangtuaku adalah yang selalu menomor satukan pendidikan. Dan memang benar, masa-masa sulit kami menjadi lebih baik karena pendidikan.

Kakakku telah lama hijrah ke ibu kota. Dia adalah anak baik-baik yang sukses dalam pendidikan dan pekerjaannya. Siapapun yang memandang rendah keluarga kami dulu, sekarang mengaguminya. Pelan-pelan hidup kami menjadi lebih mudah. Aku pun bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karenanya.

Di satu sisi aku ikut bangga, tapi di satu sisi aku merasa sejak itulah aku hidup dalam bayang-bayangnya. Aku hanyalah “si anak nomor dua”. Sedikit banyak, orang lain pun membanding-bandingkan kami. Orangtua kami? tentu saja sangat bangga padanya. Jujur, aku merasa tidak memiliki kesempatan menjadi anak yang lebih baik darinya. Aku merasa perbuatan apa yang akan membuat orangtuaku lebih bangga padaku?

Setiap hari aku selalu berpikir demikian. Setiap hari aku mencoba lebih baik dari kemarin. aku berusaha unggul dalam pendidikan dan pergaulan. Aku mencoba apapun agar aku terlihat lebih baik. Tapi nyatanya tidak ada yang melihatnya. Justru yang kulakukan membuatku lupa terhadap passion-ku sendiri.

 

Aku lupa kalau mungkin saja aku memiliki keunggulan di bidang lain yang berbeda dengan kakakku. Aku hanya sibuk mencoba menjadi nomor satu. Sampai setelah aku telah resmi menjadi sarjana, aku sudah lupa dengan cita-cita dan tujuan utamaku hanyalah aku ingin segera bekerja dan menghabiskan seluruh uangku bersama ibuku. Tapi kenyataan tidak semudah itu. Berkali-kali aku melamar dan berkali-kali juga aku gagal.

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali dari setiap orang yang aku temui mengajukan pertanyaan yang sama, “Kapan kerja?” Setiap pertanyaan itu kudengar, maka saat itu juga rasa percaya diriku semakin berkurang. Aku takut bertemu dengan orang-orang yang mengenalku. Aku takut mereka akan mengajukan pertanyaan yang sama.

Pelan-pelan aku menarik diri. Aku selalu berpikir orang-orang yang tidak mengerti keadaanku hanya akan membuat penilaian berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Aku harus berjuang mendapatkan pekerjaan dan aku sendirian merawat ibuku yang sakit sebab ayahku harus bekerja.

Sakit yang ibu derita sering sekali kambuh. Setiap kali ibu sakit hingga pemulihan, memakan waktu berbulan-bulan. Saat ibu sakit, aku tidak bisa meninggalkannya sebab ibu tidak bisa beraktivitas sendirian. Aku sempat bosan merawat dan menemaninya di rumah. Aku sempat marah, sedih, dan kecewa kepada diriku sendiri dan keadaan.

Aku juga ingin diberi semangat. Aku juga ingin seseorang mengatakan semua akan baik-baik saja. Tapi pelan-pelan aku menyadari. Mungkin ini kesempatanku untuk lebih dekat dengan ibuku, mendengarkan semua keluh kesahnya yang selama ini dia simpan sendiri. Dan ternyata banyak sekali hal-hal tentang orangtuaku yang luput dariku selama ini karena sibuk dengan hal lain.

Sekarang aku sadar, keadaan inilah yang membuatku menjadi anak yang lebih baik dari kakakku. Meski kakakku lah yang membiayai pengobatan ibu dan memenuhi kebutuhan kami, tapi dia tidak bisa merawat dan berada di samping ibu. Bagiku, pertanyaan “kapan kerja” dan “kapan” yang lain adalah soal waktu. Aku belum bekerja karena belum ada panggilan kerja. Dan belum ada panggilan kerja karena lamaran ku belum di proses. Dan lamaranku belum diproses karena HRD sedang mengerjakan hal lain. Aku percaya, keadaan tidak akan sama selamanya. Jadi, kapan kalian berhenti bertanya, “Kapan kerja?”

(vem/nda)