'Kamu Mau Nanti Ketika Anakmu Masih Muda, Umur Kalian Sudah Tua?'

Fimela diperbarui 22 Jul 2018, 10:30 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Menikah adalah hal terindah, maka tidak heran berbagai pasangan berlomba-lomba mewujudkan impian pernikahannya semewah dan seindah mungkin untuk menjadi raja dan ratu semalam. Tidak sedikit orangtua yang mendukung pernikahan anaknya dengan menggelontorkan dana yang fantastis untuk mewujudkan gengsi para orang tua. Tapi bagiku, pernikahan adalah hal lain.

Aku tidak butuh pernikahan yang mewah, gaun mahal, sepatu mahal, aku hanya menginginkan sebuah acara pernikahan yang indah, suci, dan sakral. Di mana semua doa di setiap anggota keluarga mengiringi langkah kaki kami menuju janji suci dan perjalanan kehidupan berumah tangga.

Namaku Geraldine, sudah 5 tahun aku menjalani hubungan spesial dengan seorang pria yang berlatar belakang keluarga dan pendidikan cukup baik yang berbanding terbalik dengan latar belakang keluargaku bernama Christopher. Rasanya tak lengkap jika hubungan yang sudah berlanjut bertahun-tahun ini tidak segera mencapai tujuan umum yang dimimpikan oleh semua orang yang memadu kasih, yaitu menikah.

Di umur hubungan kami yang ke-3, pertanyaan, “Kapan kamu menikah dengan Christopher?” sudah mulai bermunculan. Ya, pertanyaan itu datang bukan dari pihakku melainkan dari pihak Christopher.

Pada awalnya aku senang, banyak kerabat yang mendukung hubungan kami untuk melangkah ke jenjang yang selanjutnya. Namun pertanyaan itu terus datang ketika kami mengikuti setiap acara keluarga seperti arisan, makan bersama, acara ulang tahun, bahkan di pernikahan sepupunya saja aku tidak luput dari pertanyaan, ”Jadi mau tunggu sampai kapan? Mau tunggu apalagi? Ini sudah terlalu lama! Mau punya anak umur berapa? Kamu mau, nanti ketika anakmu masih muda, umur kalian sudah tua?”

Beribu pertanyaan yang terus menghampiri selama acara keluarga membuatkan ku berpikir, ”Ah, lain kali jika ada acara lebih baik tidak usah datang, hanya menambah beban pikiran saja!” Namun Chris selalu punya jawaban atas setiap pertanyaan yang mereka ajukan. “Ah, si ini dulu lah, baru aku. Ah, masih mau senang-senang dulu, om. Ah, lagi ngumpulin uang, biaya menikah mahal, dll.”

Menginjak umur hubungan kami yang ke 4 tahun, aku mulai merenungkan setiap pertanyaan “Jadi kapan menikah? Kami keluarga sudah siap untuk melamarmu!”  Pertanyaan serius tapi konyol yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Yah, keluargaku pasti akan menolak.

Bagaimanapun, hubunganku dengan papa sudah berjarak jauh sekali semenjak tahun 2011. 9 tahun waktu yang hilang antara aku dan papa, membuat pertanyaan ,”Pah,maukah kamu mengantarku ke altar gereja di hari pernikahanku?” semakin tak terucap. Sejujurnya sedih yang aku rasakan tak dapat aku beritahu kesiapapun termasuk Christopher. Dalam benakku selalu bertanya, ”Bagaimana bisa anak perempuan satu-satunya dibiarkan berjalan sendiri ke altar gereja tanpa ditemani ayahnya, cinta pertama setiap anak perempuan di dunia? Apakah pernikahan ini akan tetap terjadi?”

Siang itu,aku paksakan kaki melangkah ke dalam sebuah ruko yang sewaktu kecil aku jadikan tempat bermain saat pulang sekolah. Yah, aku di rumah. 2 tahun lalu saat aku ke sini, aku diusir oleh papaku dan tindakan ini membuat luka yang sempat terobati kembali terbuka. Ingin kuceritakan maksud dan tujuanku kesini kepada papa. Namun, jangankan balas menyapa, melihatku saja tidak. “Masih sebegitu bencinya kah kau kepadaku?” Aku urungkan niatku hari itu dan kembali ke Jakarta.   

Kembali menjalani rutinitasku dan kembali lagi pada pertanyaan,”Jadi kapan? Sudah dapat restu?” Hanya senyum getir yang mampu aku keluarkan untuk menjawab pertanyaan itu. Tenggelam di dalam pikiranku saat beranjak tidur, ”Inikah yang aku mau? Inikah akhir cintaku? Ataukah aku paksakan menikah tanpa restu orang tua? Bisakah mimpiku terwujud untuk memiliki pernikahan yang indah? Maukah keluarga dari pihak laki-laki tidak melakukan lamaran? Sanggupkah aku melakukan pernikahan ini sendiri tanpa didampingi orang tua?”

Bolehkan aku memberitahu mereka yang sering melontarkan pertanyaan “Jadi kapan menikah?”  bahwa pertanyaan kalian memang awalnya memberiku semangat, tapi lama-kelamaan pertanyaan kalian seperti campuran bahan untuk membuat bom di antara hubungan kami. Biarlah aku dan Chris yang memikirkan hal ini, mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada karena itu adalah bentuk interaksi kami sebagai pasangan yang siap menikah.

Sampai cerita ini aku tuliskan,aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan, ”Kapan kamu menikah?”

“Mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang ada itulah guru terbaik dalam sebuah hubungan.

(vem/nda)