Impian Tak Didukung Orangtua, Aku Menderita Kondisi yang Serius

Fimela diperbarui 20 Jul 2018, 14:30 WIB
Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Sukses. Kata yang menggiurkan, yang didambakan, dan menantang ini berhasil membuat saya tertekan. Sudah lebih dari 29 halaman buku harian yang saya corat-coret dengan mengutip kata sukses. Bukan tentang semangat untuk meraihnya, namun tentang bagaimana kejamnya kata itu ketika dilontarkan oleh kedua orangtua saya. Saya tak mau memprotes mereka secara langsung, karena takut ujaran yang nanti saya lontarkan malah berbalik menyakiti mereka—atau membuat mereka semakin yakin bahwa saya harus dipaksa terus supaya cepat sukses.
 
Orang berpikir langkah saya untuk menulis buku harian sangatlah konyol. Di umur yang kedelapan belas, mengapa tidak bernegosiasi? Begitulah tanya salah seorang kepada saya. Jujur, sudah saya lakukan. Tapi, tidak menemui kesepakatan. Sebab, arah dan tujuan antara saya dan orangtua masih terbentur oleh perbedaan.

Orangtua tidak menyetujui saya menjadi penulis, misalnya, sedangkan saya senang dan bisa mengaktualisasikan diri dengan menjadi penulis. Alasan yang dibeberkan orang tua saya adalah gaji seorang penulis yang tidak menentu. Inilah definisi sukses dari mereka: finansial. Mereka kemudian mencontohkan pengusaha yang sukses, dosen, para pejabat, dan lain-lain. Bukan perkara mudah untuk mewujudkan kesuksesan, apalagi sukses secara finansial. Ketika disodorkan kata-kata seperti itu, saya sesekali juga membela diri dengan mengatakan bahwa saya butuh proses untuk meraih kesuksesan. Kau tahu jawaban apa yang mereka berikan?

 
"Kalau terus-terusan menunggu, nanti keburu meninggal."
 
Begitulah jawab mereka yang kemudian membuat saya salah dalam menentukan pilihan. Salah satunya pilihan berkuliah. Saya pernah menjadi mahasiswi di salah satu Institut Seni di Indonesia, dengan jurusan Kriya Seni. Awalnya, saya sangat menyukai bidang kriya seni jauh sebelum saya mendaftar dan diterima. Namun kemudian, pilihan itu menjadi bumerang bagi diri saya sendiri seiring dengan bertambahnya tekanan yang harus saya hadapi.

Pilihan itu awalnya ditolak oleh orang tua sebab mereka berpikir bahwa menjadi seniman gajinya sama saja dengan menjadi penulis: tidak menentu. Tapi kemudian saya meyakinkan bahwa bidang kriya banyak yang mengantarkan orang menjadi pengusaha sukses, seperti yang mereka mau. Mengapa saya malah meyakinkan mereka? Karena saya berusaha berpikir positif bahwa saya akan mampu menjalani proses perkuliahan; karena saya cukup lelah dengan kata "kapan sukses" dan cukup bersalah sebab saya seperti tidak pernah membahagiakan mereka dengan keberhasilan-keberhasilan kecil yang sudah saya raih.

Alhasil, saya memutuskan untuk berhenti berkuliah setelah kurang lebih tiga bulan mencicipi materi perkuliahan, tugas, dan revisi yang diberikan oleh dosen. Hal ini tentunya membuat orang tua saya sakit hati dan saya harus menanggung lagi tekanan dari orang tua yang semakin bertambah, contohnya adalah satire dan mengungkit lagi biaya yang dikeluarkan untuk membiayai "proses sukses saya" yang ujungnya hanya menemui kegagalan.

 
Saya juga kian merasa bersalah dan membenci diri saya sendiri. Begitu mereka mengingatkan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk saya, rasanya saya ingin menangis. Dari kecil paru-paru saya sudah bermasalah dan ini membuat uang orangtua saya banyak dimasukkan ke rumah sakit. Selain itu, tahun lalu, saya harus keluar-masuk rumah sakit juga karena mengidap sinusitis. Belum lagi, saat masih berkuliah, saya mengalami kecelakaan motor. Saya seperti parasit, pikir saya.

Dengan rasa bersalah, putus asa, dan menganggap diri tak berguna, saya akhirnya terperangkap di dalam ruang gelap yang dinamakan depresi—begitulah diagnosisnya. Lagi-lagi uang harus keluar supaya masalah mental yang satu ini bisa membaik. Saya menggunakan uang tabungan dan sisa beasiswa yang pernah saya dapat—yang saya sembunyikan rapat di dalam lemari.

Sampai saya menulis ini, orangtua saya masih belum tahu jika saya mengidap major depression disorder. Saya sendiri juga tidak berminat memberitahukan hal tersebut kepada mereka. Pasti kabar tentang kesehatan mental saya tidak akan menjadi suara yang mengenakkan telinga mereka. Berdasarkan pengamatan saya, memang orangtua saya kurang berpikiran terbuka. Di sisi lain, saya sendiri juga tak ingin membuat mereka khawatir. Meskipun begitu saya selalu sadar bahwa mereka selalu mengkhawatirkan hidup saya yang tak kunjung menemui kesuksesan.
 
"Khawatir, tetapi lupa bahwa setiap proses menuju kesuksesan harus didukung dan diapresiasi," ujar kawan saya ketika kami berdua sedang berbagi cerita.

 
Tidak, mereka mendukung dan seringkali memuji hasil kerja keras saya apabila saya mengikuti perlombaan dan menang. Tetapi, kesuksesan-kesuksesan kecil yang telah saya raih itu tidak dihitung ke dalam definisi suksesnya orang tua. Seakan-akan saya tidak pernah membahagiakan mereka dengan hal-hal kecil yang bisa saya lakukan. Mungkin karena dianggap terlalu kecil, akhirnya tidak terlihat sama sekali di mata mereka. Hal itu membuat mereka tak henti menuntut saya supaya segera sukses dengan mengimplisitkan tuntutan itu sendiri ke dalam kalimat tertentu— misalnya: "Segeralah kuliah biar hidup enak!" "Sampai kapan bisa punya mobil?" "Anaknya tetangga kita sudah bekerja sedangkan kamu belum!" dan sebagainya.
 
Ibu dan bapak, tentu saya ingin membalas jasa kalian. Tetapi, bisakah kita bersama-sama saling mendukung tanpa harus menuntut saya sedemikian keras supaya bisa segera sukses?
 
Sekali lagi saya menyematkan kata sukses di buku harian.

 
Apakah saya terlalu berlebihan mengharap mereka supaya tidak terlalu menekan saya? Saya kira tidak. Saya sama seperti anak-anak muda lainnya yang cemas akan masa depan mereka dan berusaha menggapainya. Saya juga berharap bisa mendapatkan dukungan dan apresiasi yang lebih baik dari kedua orangtua saya.

Tidak ada tuntutan lain yang saya berikan untuk orangtua saya kecuali supaya bisa menghargai dan mendukung proses saya dalam menuju kesuksesan sesuai dengan definisi sukses yang dibuat oleh mereka. Misalnya, dengan mendukung kegemaran saya dalam membaca buku. Orangtua saya kurang tertarik dengan buku dan menganggap bahwa kegiatan membaca buku yang saya lakukan tidak menghasilkan apa-apa. Bila dikasarkan, maknanya adalah saya membuang-buang waktu saya untuk membaca buku. Berkebalikan dengan saya, buku sudah saya anggap sebagai guru yang mengajari otak saya setiap harinya supaya mau berpikir—selain konten-konten yang sama bergunanya di internet. Teman saya sendiri mengatakan bahwa buku adalah investasi jangka panjang dan saya setuju dengan pendapatnya itu. Tapi sayang, pikiran orangtua saya tidak bisa sejalan.
 
Apakah karena urusan ekonomi mereka menjadi sangat idealis dengan mengandalkan saya supaya menjadi orang kaya raya secepatnya? Entahlah. Mungkin iya. Saya maklum menjadi orang yang tidak kaya memang merumitkan kehidupan kami. Saya sebagai anak bersyukur dengan kehidupan saya meskipun tidak punya uang yang melimpah, tetapi tidak dengan orang tua saya. Mungkin karena itulah saya dilahirkan dan sudah dicita-citakan menjadi orang yang bisa menjadikan hidup mereka lebih enak secepat mungkin. Hanya disuruh menjalankan tuntutan itu tanpa didukung moral lebih lanjut tanpa diapresiasi saat berproses. Kemudian mereka akan menagihnya setiap saat dengan mengatakan, "Kapan suksesnya?"
 
Tentu hidup saya menjadi tidak tenang dan setiap waktu saya seperti mengejar sesuatu yang bahkan tidak saya ketahui. Hal itu membuat saya merasa lelah. Hingga kemudian saya memutuskan untuk beristirahat dan menghibur rasa lelah itu.

Buku saya singkirkan dan proyek menulis saya tutup. Lebih tepatnya ini adalah bentuk pemberontakan yang secara tidak sadar telah saya lakukan demi mengurangi beban depresi saya. Hingga kemudian saya menemukan sebuah video yang diunggah oleh Jay Shetty yang berjudul Before You Feel Pressure – Watch This. Video tersebut mengenai bagaimana waktu setiap orang berbeda dalam meraih kesuksesannya dan bukanlah hal yang benar apabila seseorang menekan orang lain untuk sukses di usia tertentu. Di dalam video tersebut juga dicontohkan tokoh-tokoh besar yang mendapatkan kesuksesan mereka di atas usia tiga puluh tahunan. Saya pernah menyampaikan hal ini kepada orang tua saya. Sayang sekali, mereka justru malah menganggap saya tidak berniat untuk membahagiakan mereka sesegera mungkin dengan menjadi kaya raya.
 
Apakah saya harus maklum dengan orangtua saya? Saya pikir ya. Berdasarkan riset dari Girlguiding Girls' Attitudes tahun 2015 di Inggris menunjukkan bahwa masalah perempuan rentang usia 11-21 yaitu kecenderungan mereka untuk menyakiti diri sendiri yang sayangnya kondisi tersebut tidak dipahami oleh orang dewasa.

Saya menyakiti diri sendiri karena tuntutan-tuntutan supaya segera sukses. Orangtua saya juga tidak memahami bahwa tuntutan mereka telah membuat saya berlaku demikian. Mungkin kali ini saya harus mencoba memahami orangtua saya dan tetap berusaha sebaik mungkin untuk menggapai mimpi saya tanpa memedulikan tekanan-tekanan mereka. Ini sebagai bukti bahwa saya juga masih menyayangi mereka dan saya juga menyayangi diri saya sendiri.
 
Ibu dan bapak, saya tahu menunggu saya sukses mungkin akan membuat kalian bosan dan tidak sabar, tetapi biarkan saya mengerjakan prosesnya tanpa harus ditekan-tekan dan ditanyai "kapan sukses" setiap waktu. Kalau ibu dan bapak tidak bisa menahan lidah untuk mengatakan hal tersebut, silakan katakan saja. Sudah saatnya saya memahami kalian. Saya menyayangi Ibu dan Bapak. Tulis saya di halaman terakhir buku harian.
(vem/nda)