Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Pada saat usiaku 19 tahun aku pernah berkeinginan untuk menikah muda. Aku telah jatuh cinta pada laki–laki yang usianya empat tahun lebih tua dari usiaku. Aku tak peduli kehidupan kelam di masa lalunya. Aku mengaguminya karena ia rajin beribadah, bertanggung jawab untuk adik-adiknya, dapat menasihatiku tentang agama.
Aku mengenalnya kurang lebih satu tahun tanpa pacaran. Aku pikir dia adalah jodoh ku karena semua kriteria ada padanya. Namun, Tuhan memberikan jalan masing–masing untuk aku dan dia. Kemudian dia telah menikah dengan wanita pilihannya pada tahun 2017.
Apakah usia 25 tahun merupakan angka keramat bagi wanita yang belum menikah? Sejak usiaku hampir memasuki 25 tahun, ibu dan kakakku mulai menyuruhku untuk mencari pasangan hidup. Pada saat itu aku tidak ada keinginan untuk menikah. Aku sedang fokus memikirkan pendidikanku selanjutnya setelah aku dapat menyelesaikan pendidikan sebagai sarjana. Bagiku pendidikan sangat penting untuk menunjang karierku di masa depan. Padahal dulu setelah lulus SMK, aku tidak mau melanjutkan pendidikan lagi karena aku ingin langsung dapat bekerja. Tetapi aku menuruti keinginan orangtuaku supaya aku dapat kuliah. Sehingga aku dapat menjalankan kuliah sambil bekerja.
Ketika aku menghadiri acara pernikahan teman–temanku, juga pada saat berkumpul bersama saudara-saudaraku, sering muncul pertanyaan kepadaku, “Kapan menyusul menikah?” Seiring berjalannya waktu hatiku luluh untuk memikirkan jodoh.
Sebelumnya aku yang merasa terbebani perintah ibuku agar segera menikah, aku mulai mengubah cara pandangku mengenai hal itu. Menikah adalah untuk menyempurnakan agama. Aku mulai merasa aku butuh seseorang yang dapat bersedia memberikan sebagian waktunya untuk menemani aku menjalankan kegiatan sehari-hari, melindungiku, dan membimbingku.
Teman–teman dekatku, kakakku, tetanggaku, bahkan penata rias pada saat acara wisudaku juga mencoba memberikan tawaran berkenalan dengan laki–laki pilihan mereka. Aku pun tidak menolak untuk berkenalan. Mulai dari chatting hingga bertemu langsung yang didampingi temanku, aku sudah coba lakukan. Aku juga pernah berusaha sendiri dengan mendaftarkan diri melalui media sosial online. Namun, semua usahaku tidak ada yang sampai ke hubungan yang serius.
Aku sempat down karena tidak ada usaha yang berhasil. Aku merasa tidak percaya diri untuk melanjutkan pencarian pasangan hidupku. Aku ingin melupakan hal itu untuk sementara waktu hingga aku merasa percaya diri kembali.
Aku mencoba bangkit setelah pupus harapan. Aku berusaha menyibukkan diriku dengan memikirkan impian yang harus aku capai dan target yang sempat terlupakan. Aku merasa waktuku sudah banyak terbuang sia–sia jika hanya fokus memikirkan jodoh.
Aku rasa jika sesuatu yang terus dikejar jika memang belum saatnya, ia takkan menjadi milikku. Saat ini aku pasrahkan kepada Sang Pencipta Kehidupan. Aku akan berusaha memperbaiki ibadahku, mencintai diriku, membahagiakan kedua orangtuaku.
Hai jodohku, entah kapan kita akan disatukan. Masa depan adalah jawabannya.
- Kerja Zaman Now Nggak Harus Kantoran, dari Rumah Juga Bisa Kantongi Rupiah
- Kalau Adik Menikah Duluan, Memangnya Apa Salahku?
- Usia 35 Tahun Masih Sendiri dan Memang Tak Mau Menikah, Sebab...
- Pria yang Mengakhiri Hubungan Melalui Pesan Singkat Tak Perlu Ditangisi
- Daripada Bertahan Tapi Menderita, Lebih Baik Berpisah Meski Tidak Mudah