Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
5 tahun. Itu rentang waktu yang cukup lama bagiku untuk bersabar menerima pertanyaan yang sama hampir setiap waktu. “Kapan punya anak?” seolah menjadi pertanyaan wajib yang harus dilontarkan manakala mengetahui berapa usia pernikahanku. Dan lucunya setelah itu, si penanya lantas berupaya menunjukkan rasa empatinya, "Ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting sabar dan terus berusaha. Insyaallah lekas diberi momongan, ya.” Lalu sebuah tepukan di bahu disematkan, juga seulas senyum. Menyebalkan! Sering aku berpikir, mengapa orang begitu kepo dengan kehidupan orang lain. Terutama hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan, apalagi bila pertanyaan itu berpotensi membuat orang menjadi terluka atau sedih, alih-alih memberi motivasi. Karena aku yakin sekali jika Allah SWT belum menganugerahi anak, berarti memang belum waktunya. Yang penting sabar dan tetap berusaha. Jadi tidak perlu bertanya lagi pada pasangan yang belum memiliki anak, karena sebenarnya si penanya sudah tahu apa jawaban atas pertanyaannya sendiri.Namun apa daya, karena aku tidak bisa mengontrol pendapat orang. Setiap orang bebas berkomentar, meski komentar itu tidak enak untuk didengar. Yang bisa kulakukan hanyalah berpikir positif dan mengacuhkan komentar itu. Sebab apabila komentar bernada negatif itu terlalu serius aku pikirkan, maka aku sendiri yang akan rugi.
Bukan tak banyak upaya yang sudah kulakukan untuk bisa memiliki anak. Konsultasi ke dokter kandungan, rutin olahraga, menjalani pola hidup sehat dan tentu saja beribadah, memohon kepada Allah SWT. Banyak pula saran yang aku terima, termasuk saran yang di luar nalarku. Untuk hal yang terakhir ini, aku dengan tegas tidak ingin melakukannya. Karena cukup Allah SWT tempat aku meminta.Namun sekeras apapun upayaku untuk tegar, aku sempat terpuruk juga ketika dokter kandungan mengatakan bahwa aku tidak bisa memiliki anak karena posisi dinding rahimku yang tidak normal. Entah apa istilah medisnya, tapi posisi rahimku membuat sperma tidak bisa membuahi. Mendengar vonis itu, sekejap aku merasa menjadi wanita dan istri yang tidak berguna. Dan aku terlalu takut mengatakannya kepada pihak keluarga besar atau teman dekatku. Aku memilih untuk menyimpannya dalam hati. Bisa ditebak, akupun menjadi depresi.Aku yang saat itu masih kerja kantoran, berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan. Pulang larut malam, bahkan sengaja membawa banyak pekerjaan kantor ke rumah agar aku bisa mengenyahkan perasaan bersalah pada diri karena tidak bisa memiliki anak. Semua pekerjaan itu, cukup berhasil membuatku sibuk dan bahkan menaikkan penghasilan bulananku. Namun hanya sesaat, karena kemudian aku kembali merasa sepi dan bersalah. Pada suatu malam, entah kenapa hatiku tergerak untuk melakukan salat malam. Menangis, mengeluh, memohon, semua perasaan kutumpahkan dalam doaku. Seketika aku merasa lega. Dan memutuskan untuk bersikap pasrah. Aku putuskan untuk tidak ingin lagi menderita karena memikirkan keinginan untuk memiliki buah hati. Jika Allah SWT berkehendak memberikan keturunan, insyaallah pasti akan terjadi. Tidak perlu memaksakan diri hingga memikirkannya secara berlebihan. Apalagi memikirkan ucapan banyak orang yang terasa lebih menyakitkan hati. Jadi aku harus pasrah. Dan menyerahkan semuanya kepada kuasa Allah SWT.
Kehidupanku kembali berjalan normal. Membaca banyak buku inspirasi dan motivasi membuatku merasa tidak sendiri. Aku menikmati kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Termasuk memutuskan untuk mengambil cuti kerja dan pulang ke kampung halaman di Bangka. Selama satu minggu menghabiskan liburan di kampung halaman, aku merasa benar-benar fresh.“Kelihatan tambah cerah mukamu,” kata ibu dari seberang meja makan. Saat itu kami sedang makan siang bersama. Aku hanya senyum menanggapi komentar ibu. Tentu saja wajahku terlihat cerah karena aku bisa pulang ke kampung halaman, bertemu orangtua dan keluarga besar. Aku sangat bahagia. Jarang sekali aku punya kesempatan untuk bisa pulang seperti ini.“Jangan-jangan kamu hamil,” lanjut ibuku lagi. Aku tersentak. Sempat terdiam beberapa saat lalu tersenyum. “Amin,” jawabku singkat. Aku tidak mau banyak berharap seperti tekadku sebelumnya.
Cuti liburan pun usai. Aku kembali menekuni kegiatan sehari-hari, hingga kemudian aku menyadari bahwa aku terlambat datang bulan. Sebelumnya, orang-orang di sekitarku sering merasa heran karena aku terlihat moody. Mudah merasa kesal, sering mengeluh tidak enak badan dan aku gampang sekali tersulut emosi. Karena penasaran, sepulang kerja aku diam-diam membeli dua testpack di apotek dekat kantorku. Dengan rasa penasaran, aku tidak sabar menunggu esok hari tiba untuk melakukan tes kehamilan.Dan keesokan harinya, seperti biasa aku bangun tidur sebelum azan subuh berkumandang. Tapi kali ini aku tidak lantas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, tetapi langsung menuju kamar mandi sambil membawa dua testpack yang kubeli kemaren. Aku melakukan tes kehamilan. Sedetik, dua detik, hingga 5 menit kemudian aku berada di kamar mandi dengan perasaan yang berkecamuk. Kedua tanganku terasa peluh oleh keringat. Berkali-kali aku berusaha menentramkan hati, jika hasilnya negatif aku tidak boleh down.Mataku tak lepas dari satu testpack yang telah kucoba. Hingga tak lama kemudian semburat warna merah membentuk dua garis. Aku terperangah tak percaya. Penasaran, kubuka lagi satu testpack dan kembali aku melakukan tes kehamilan. Menunggu beberapa saat dan… dua garis merah itu kembali muncul. Positif! Aku positif hamil. Alhamdulillah. Segera berita gembira ini sampai ke keluarga besar kami. Dan ajaib, sejak berita ini menyebar, pertanyaan, “Kapan punya anak?" hilang dengan sendirinya.Pengalaman menunggu kehadiran buah hati selama kurun waktu 5 tahun, dan merasa “kenyang” dengan pertanyaan, “Kapan punya anak?” membuatku menjadi lebih berhati-hati berbicara terhadap teman yang belum di karuniai anak. Karena aku sadar betul, pertanyaan seperti itu lebih banyak berdampak negatif daripada positif, seperti yang pernah ku alami dahulu.Seperti yang kuungkapkan sebelumnya, pertanyaan “kapan” seperti ini alih-alih membangkitkan semangat atau motivasi kepada orang lain, tapi cenderung membuat orang menjadi sedih, sakit hati dan depresi. Jadi menurutku, penting sekali untuk tidak kepo dengan kehidupan orang lain. Karena kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang telah orang lain alami dalam hidupnya. Jangan sampai pertanyaan “kapan” malah memperburuk keadaannya. Jadi #STOPTANYAKAPAN, mulai saat ini juga.
(vem/nda)