Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Bukanlah sebuah kesalahan bagi setiap orang untuk menanyakan kata "kapan" pada siapapun. Namun, bukan berarti pertanyaan mereka tidak keliru. Namaku Ary, usiaku saat ini 19 tahun lahir dengan semua takdir yang harus aku terima dan sangat aku syukuri. Perpisahan orangtua sangat banyak mengubah hidupku dan mendatangkan hal yang tak disangka-sangka. Setelah lulus SMA saat usiaku 17 tahun, aku memutuskan untuk menunda kuliahku hingga di waktu yang tepat.
Bukan tanpa alasan atau karena tidak menyukai bangku perkuliahan. Tapi karena prinsipku ingin mandiri, selain itu aku bisa merasakan beban bapak sebagai seorang kepala keluarga, akupun memiliki keinginan menjadi wanita yang tangguh mau untuk menghadapi dunia kerja yang bukan hanya dengan membayangkannya saja.
Aku punya 3 saudara di mana adikku yang paling kecil baru saja lahir, bertepatan dengan itu kakak laki-lakiku akan mencari kuliah di Ilmu Komputer program S1 yang biayanya bukan puluhan atau ratusan ribu saja. Selain itu masih ada keperluan untuk membangun rumah yang biayanya bukanlah ratusan ribu atau puluhan juta saja serta izin usaha yang sedang ia lunasi pula. Sudah menjadi takdirku untuk terjebak dalam keadaan yang seperti ini tetapi aku tidak pernah menyesalinya.
Akhirnya untuk pertama kalinya aku mendapat kesempatan bisa bekerja setelah lulus SMA di sebuah hotel di daerah Kuta, Bali dengan penuh keyakinan. Berbekal pengalaman training dan kegigihan serta support dari keluarga bapak dan ibu tiriku, aku pun melangkah ke dalamnya.
Pada awalnya aku seperti musuh yang hanya karena tidak mengikuti saran keluarga ibuku untuk segera kuliah seusai tamat SMA. Tapi, aku tidak tega melihat beban bapakku yang begitu besar semakin berat hanya karena urusan dan kepentingan pribadiku. Aku memberi kejelasan tentang alasanku dengan lembut dan penuh harapan bahwa suatu saat keinginannya dan cita-citaku akan tercapai. Tapi justru aku mendapat mendengar kalimat di mana hatiku seketika tersentak kaget mendengar ucapannya. "Kapan akan kuliah? Siapa yang mau nerima orang untuk bekerja hanya dengan tamatan SMK? Tidak ada yang akan menghargaimu," sangat aku maklumi bahwa mayoritas keluarga ibuku sangat berpendidikan namun bukan berarti dia bisa mengatakannya dengan cara seperti itu.
Selang beberapa bulan, mereka kembali melontarkan pertanyaan dan pernyataan, "Kapan akan kuliah? Suatu saat nanti kamu menikah, tidak akan ada yang menghargaimu hanya dengan tamatan SMK. Paling tidaklah harus sarjana agar mereka bisa menghargaimu. Lagi pula bapakmu kan mampu, masa kuliahin anak aja nggak bisa?" yang membuat pikiran dan hatiku merasa shock dan tidak percaya bahwa mereka bisa berpikir sejauh itu. Dan kembali lagi aku memakluminya sebagai ucapan orangtua.
Seringkali saat aku menjenguknya berniat untuk silaturahmi di sela-sela kegiatanku yang padat di saat itu pula waktuku habis untuk dibanding-bandingkan dengan semua orang yang telah menyelesaikan atau sedang menempuh pendidikan bergelar sarjana. Aku kecewa tak aku sangka hingga sebegitunya dirinya terhadapku.
Setiap kali aku bertemu dengan orang lain, mereka pasti menanyakan hal yang sama, "Kapan kuliah? Kenapa nggak kuliah? Kuliah itu penting lho. Jangan keasyikan kerja sampai lupa untuk kuliah," dan ketika aku menyampaikan pandanganku, aku justru dianggap nyinyir dan menyepelekan omongan mereka. Ucapan mereka tidaklah salah, tapi pandanganku juga tidaklah keliru.
Dari dunia kerja aku bertemu banyak orang dari beragam latar belakang, di situ pula membangun relasi dan lebih memahami bagaimana cara menghargai orang lain, sudut pandang serta persepsi, mengingat kita bertemu dengan beragam kepribadian di dunia ini. Begitu pula sebaliknya mereka terhadapku. Aku bisa membuktikan bahwa dengan bekerja aku bisa menabung untuk biaya kuliahku walau tidak banyak, aku bisa membeli kendaraan walau hanya sekadar sepeda motor dan memenuhi kebutuhanku tanpa membebani orang tua. Dan mereka pun merasa bangga padaku.
Entah tamatan sarjana atau tamatan apapun mereka, orang dari berbagai suku, agama, ras, budaya, serta apapun status sosialnya tetap layak dihargai, dihormati, dan diterima di lingkungannya semasih mereka mempunyai integritas, moralitas dan intelektualitas yang baik terhadap apapun. Karena cara orang untuk sukses, cara seseorang untuk berjuang bahkan mencapai tujuannya tidak bisa dipersepsikan hanya dengan pemikiran kita sendiri.
Bagi kalian semua yang mengalami hal sama dengan diriku, jangan pernah minder terhadap apapun yang kalian jalani dan miliki. Jangan pernah meremehkan orang yang terlihat kecil. Tetaplah berjalan tanpa membiarkan orang lain mempengaruhi tujuanmu. Semasih niat dan perbuatan kalian baik, maka waktu akan membuktikan bagaimana takdirmu.
- Biarlah yang Lain Menikah Muda, Aku Memilih Menikah di Waktu Terindah
- Berusaha Hamil Lagi Setelah Keguguran, Usaha dan Doa Panjang Jadi Penguatku
- Punya Pacar Tak Lantas Membuat Orang Berhenti Tanya 'Kapan' yang Lain
- Menunggu Jodoh, Cobaan Terberatnya Menghadapi Cibiran yang Menusuk Hati
- Menolak Lamaran Pria Mapan Sebab Belum Bisa Move On dari Mantan Terindah
(vem/nda)