Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Kuputuskan menikah dan membangun bahtera pernikahan dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang setelah mendapat tanya, “Kapan wisuda?” “Kapan bawa pacar" “Kapan serius menjalani pacaran?” “Kapan dilamar?” “Kapan menikah?” dan segudang tanya “kapan” yang justru bukan dari mulut keluarga inti, adik, terlebih Mama dan Papaku. Justru biasanya tetangga, saudara atau keluarga jauh yang akan bertanya membabi buta apalagi ketika kami berkumpul arisan keluarga.
Dulu, ketika masih berumur awal 20an, aku menganggap pertanyaan “Kapan menikah?” sebagai sarana untuk memulai pertanyaan dan canda lelucon semata antar sepupu-sepupuku yang umurnya lebih matang dariku. Namun, lelucon itu sekarang berubah menjadi bola panas yang menghangatkan suasana santai pertemuan keluarga kami, tak jarang aku merasa jengah! Tapi, entah mengapa, hanya senyum yang menjadi andalanku untuk menghadapi semua tanya hingga akhirnya semua akan diam, mungkin bosan.
Pernikahanku yang lumayan besar dan banyak dihadiri handai taulan menjadi senjata pamuncak yang tanpa kusadari membuat pertanyaan “Kapan” berakhir sudah. Kehidupan pernikahan kami yang penuh cinta sedang dimulai. Seperti adat suku kami, aku dibawa dan tinggal di rumah mertua. Di sana aku merasakan suasana yang berbeda. Menjadi istri dari anak laki-laki tunggal dan bungsu, ternyata membuatku harus lebih mandiri dan melakukan segalanya dengan lebih ekstra. Ekstra penuh cinta.
Mertuaku menderita penyakit diabetes yang telah menahun dan membuatnya sulit beraktivitas dan membuatnya sangat cepat lelah. Maka, telah menjadi tugas suamiku untuk membantu aktivitas Mama sebelum kami berangkat kerja dan sebelum Mama berangkat mengajar di salah satu sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah kami. Tertatih dan dibantu abang ojek langganan tentunya. Selain Mama, kami memiliki karunia tambahan, yakni mengasuh keponakan kami yang ditinggal pergi oleh sepupu suami. Ibu keponakan kami mendadak gila karena melihat suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Sungguh tragis.
Kebahagiaan kami bertambah karena hanya berkisar dari tiga minggu pernikahan, aku dinyatakan mengandung. Sungguh suatu anugerah yang indah. Sangat beruntungnya aku karena kandunganku ternyata sangat menyenangkan. Tidak membuat mual, muntah, sempoyongan, dan semua keluhan kehamilan lainnya.
Berjalan tiga bulan kandungan, aku merasakan ada yang aneh dengan perutku, sakit yang sangat luar biasa, tepat setelah aku pulang kerja dan melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasa. Maklum, kami hanya mampu menyewa pembantu untuk cuci gosok. Tanpa pikir panjang, aku berangkat ke rumah sakit dan sungguh menyedihkan ketika janin kami dinyatakan meninggal karena tidak berkembang. Kesedihan melingkupi kami dan keluarga. Hari-hari ini akhirnya kembali bersinar ketika aku memutuskan harus tersenyum kembali, harus bahagia agar kami bisa hamil lagi.
Masa pemulihan setelah dikuret adalah jalan yang berliku. Sepanjang itu, keluarga, kerabat, teman, saudara, bertanya akan hal yang sama, “Kenapa bisa keguguran?” “Kamu terlalu lelah ya?” “Kok bisa sih kandungannya tidak dijaga?” hingga ingin aku menangis di hadapan mereka untuk mengatakan betapa aku sangat menderita dengan semua tanya dan tatap belas mereka.
Masa-masa yang penuh perjuangan untuk mengembalikan kepercayaan diri dan masa yang sulit untuk aku bisa memaafkan diriku sendiri dan menganggap bahwa ini bukan kesalahan namun sudah menjadi kehendak Yang Kuasa. Penantian hamil lagi bukanlah proses yang mudah. Masa penantian yang sangat menyiksa karena pertanyaan “kapan” mulai muncul kembali bahkan kadang sangat-sangat menyakitkan.
“Kapan program hamil lagi?”
“Kapan hamil lagi?”
“Kapan terlambat haid?”
“Kapan dan apa sudah ke dokter?”
“Kapan cek kesuburan lagi?”
“Kapan mau ke pengobatan ini, itu?” dan lain-lain yang lebih membuatku merasa tersudut.
Anehnya, lagi-lagi pertanyaan itu bukan dari Mama, Papa, Mertua atau adik-adikku tapi justru datang dari ipar, saudara-saudara yang tak hidup bersama kami.
Telinga dan hati ini rasanya sangat panas sekaligus galau. Namun, dalam lubuk hati yang paling dalam, aku tahu, hanya Tuhan dan doa yang dapat menjadi tempat sandaranku. Suamiku bahkan kadang menjadikan pertanyaan itu sebagai lelucon, memotivasi aku agar lebih tegar dan bersyukur.
Bahkan, keponakanku yang masih sangat kecil mengingatkanku bahwa aku adalah wanita yang sangat baik dan sangat disayangi olehnya. Kadang, aku terharu ketika dipanggil Mama olehnya. Mertuaku juga sangat mendukung apabila kami mengambil tindakan medis dengan check up lebih serius mengingat telah empat tahun lebih sejak kuret aku belum kunjung hamil. Nada suara mertuaku yang sangat lembut membuatku sangat lega. Tak ada guratan paksa sama sekali dari nada suara. Bahkan, beberapa kali mertuaku mendukung apabila ada keluarga yang mulai pembicaraan yang mengarah ke pertanyaan, "Kapan hamil?” ke arahku.
Tak ada perempuan yang telah bersuami yang tak ingin hamil. Semua perempuan bersuami pastinya menginginkan dirinya mengandung buah hati. Termasuk diriku yang sangat merindukan hadirnya bayi di keluarga kami. Dengan keberanian, pengaturan waktu, dan doa berdua setiap malam, kami mencari tahu dan mendengar masukan banyak pihak tentang pemeriksaan ke dokter obgyn atau spesialis kandungan.
Mertua dan keluarga inti sangat mendukung tindakan kami. Dengan penuh harap, kami berkonsultasi dengan salah satu dokter kandungan di Jakarta. Bukan biaya yang murah memang. Bukan kami tak mempercayai kuasa Tuhan justru karena kami sangat percaya keajaiban Tuhan maka kami mengambil langkah untuk memeriksakan diri kami berdua.
Langkah demi langkah proses pemeriksaan kami jalani. Satu per satu proses kami lalui di tengah kediaman kami akan hal ini. Di tengah hujan tanya “kapan” yang tak dapat kami temukan jawabannya. Usaha yang kami berdua lakukan adalah tindakan nyata doa dan Tuhan menjawab doa kami. Dokter menemukan ada kista yang tersembunyi dalam rahimku. Puji Tuhan, lirih kami. Kami bersyukur karena Tuhan menunjukkan kepada kami yang menjadi “kemungkinan” penyebab dari penantian panjang kami. Operasi harus dijalankan. Doa Mama, Papa, Mama Mertua,dan keponakan lucu kami mengiring.
Upaya telah kami lakukan, tinggal menunggu pemulihan dan tangan Tuhan yang menjamah rahimku. Puji Tuhan, selama pemulihan, suamiku banyak membantu aktivitas rumah termasuk menyiapkan keponakan kami sekolah. Sungguh aku bersyukur memiliki suami seperti dia.
Jawaban dari sekian banyak tanya semasa lajang, buah dari doa panjangku. Kini, buah dari usaha dan doa kami telah diberikan. Ada calon bayi yang sedang berkembang di rahimku tak lama setelah pemulihan operasi pengangkatan kista. Setahun adalah waktu yang singkat untukku, untuk belajar memahami diriku sendiri dan bersyukur, untuk memahami setiap tanya “kapan” sebagai impuls doa dari orang yang mengajukannya. Mengubah kata “kapan” sebagai berkat tanpa perhatian, bukan duri yang menusuk hati. Karena, hidup ini bukan sekadar tanya “kapan” tapi usaha mencintai dan doa kepada Ilahi.
- Pesan Terakhir Papa Sebelum Meninggal
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
(vem/nda)