Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Awalnya tidak banyak yang bisa kulakukan di usia 22 tahun. Setelah sibuk dengan skripsi dan pertanyaan kapan wisuda terus muncul, aku jawab pertanyaan mereka dengan usaha dan kerja keras. Sempat sedikit depresi, sedikit takut bergaul dengan orang sekitar. Rasa minder yang berlebih karena pertanyaan "kapan" tersebut. Tapi aku menyadari bahwa ini salah, aku harus buktikan ke mereka bahwa pertanyaan “kapan” bukanlah suatu hal yang bisa dijawab saat itu juga, beri sedikit waktu agar aku mampu menjawabnya dengan pasti.
Di usia 23 tahun, setelah lelah mencari pekerjaan yang tak kunjung kudapatkan aku kembali berpikir bagaimana menjawab pertanyaan mereka, terlebih lagi orangtuaku yang terlalu sering ditanya, “Kapan nih anak perempuannya menikah? Saya udah punya cucu loh.” Ada raut kebingungan dari orangtuaku menjawab pertanyaan tersebut, dan pertanyaan tersebut sepertinya berhasil membuat orangtuaku minder, takut anak gadisnya ndak laku.
Urusan jodoh tentu tidak semudah itu, walaupun sudah diusahakan sedemikian rupa jika belum waktunya maka tidak akan bertemu, tidak akan terjadi pernikahan dan tentunya sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku mencoba membuat rules apa saja yang harus kucapai beberapa tahun ke depan, satu target satu tahun, terkesan pemalas sekali ya. Tapi tergetku luar biasa.
2013: SKRIPSI
2014: WISUDA S1
2015: BEKERJA SAMBIL KULIAH S2
2016: WISUDA S2
2017: MENIKAH (TETAP BEKERJA)
2018: JADI IBU (TETAP BEKERJA)
Hanya coretan itu yang selalu kubaca, sering kali kubaca ketika aku lelah mencari kerja. Cara sepele yang membuatku begitu bersemangat setiap harinya. Tentu tidak lupa kubalut semua usaha dengan doa, agar yang Maha Kuasa membukakan jalan untuk targetku setiap tahun.
Tahun terberat ialah 2015, aku membagi 24 jamku dengan bekerja di siang hari dan sangat hemat (menyiapkan tabungan untuk menyelesaikan pendidikanku), kuliah Jumat sore, Sabtu, dan Minggu, mulai mengerjakan tesis. Kalau diingat rasanya sungguh lelah sekali. Tapi semuanya berbuah manis, bekerja sambil mengejar pendidikan ternyata berbuah manis, aku lulus dengan predikat cumlaude, tetap memiliki pekerjaan, bahkan setelah wisuda ada tawaran pekerjaan lain.
Aku sudah terbiasa sibuk dengan berbagai pekerjaan, sehingga aku tidak terganggu lagi dengan pekerjaan menumpuk sehingga tawaran pekerjaan baru kuterima dengan semangat.
Sekarang di tahun 2018 aku sudah memiliki suami (menikah tahun 2017) dan seorang putri kecil yang sekarang berusia 3 bulan, rasanya seperti mimpi bisa sampai ke sini, dan semua target di kertas yang kutulis benar-benar kesampaian.
Lalu di mana mereka yang bertanya “kapan" ya? Mereka masih sibuk mencari pertanyaan “kapan” yang mereka siapkan untuk melemahkan kita. Maka kuatlah, kuatkan diri kita, jawab pertanyaan “kapan” tersebut dengan usaha dan kerja keras berbalut doa, lalu nikmati kebahagiaan di akhirnya.
- Pesan Terakhir Papa Sebelum Meninggal
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
(vem/nda)