Saya adalah anak bungsu dari lima bersaudara, tiga perempuan dan dua laki-laki. Kami semua tumbuh dewasa dengan baik berkat cinta dan kasih sayang dari orangtua. Saya dan keempat saudara saya disekolahkan di tempat terbaik meskipun papa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk itu. Apapun mereka lakukan untuk melihat kesuksesan anak-anaknya kelak.
Tahun 2015 adalah masa-masa tersulit yang saya rasakan sepanjang hidup. Mama saya divonis mengidap penyakit gagal ginjal yang berujung komplikasi dan akhirnya harus dilarikan UGD. Biaya pengobatan seperti cuci darah rutin setiap minggu, obat-obatan, cek darah dan CT scan tentu tidak murah. Uang pensiunan papa dan gaji kedua kakak sulung saya tidak cukup untuk membayar tagihan rumah sakit.
Kami akhirnya menjual semua investasi yang kami punya seperti tanah dan perhiasan demi kesembuhan mama tercinta. Saya yang saat itu semester enam di universitas akhirnya terbagi fokus untuk kuliah dan merawat mama akhirnya mendapat banyak nilai C dan IPK menurun secara drastis. Melihat kondisi mama yang semakin memburuk ditambah lagi beban akademik membuat saya semakin frustasi. Sayapun memutuskan cuti kuliah satu semester untuk menekan pengeluaran dan fokus untuk menjaga mama.
Selama merawat mama memandikan, menyuapi makan, dan melakukan berbagai hal yang mengurangi jam tidur dan menguras energi saya. Beberapa kali saya tidak mampu menahan air mata saat mengingat perjuangan mama mengurusi kami semua tanpa berkeluh kesah dan selalu tersenyum meski kelelahan. Wajahnya kuraba dan kuciumi berkali-kali sambil terus berdoa untuk kesembuhannya. Beberapa kali mama buang kotoran di kasur tanpa sengaja dan muntah karena efek obat yang diberikan.
Saya sempat mual saat harus membersihkannya, namun Allah menegur dengan membuat saya flashblack bahwa mama selalu membersihkan kotoran kami sejak bayi sampai balita tanpa rasa jijik sedikitpun. Saya merasa malu pada diri sendiri. Ini semua belum ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan dan jasa-jasa orangtua kami. Bahkan meskipun dalam keadaan terbaring lemah mama masih mengkhawatirkan anak-anaknya. Ia meminta maaf karena sudah membuat repot dan menyusahkan kami, mendengar itu kami semua menangis dan saling berpelukan. Kami menegaskan bahwa ini adalah kewajiban kami sebagai seorang anak dan melihatnya sembuh adalah prioritas kami tidak peduli berapa banyak biaya yang harus kami keluarkan.
Berbulan-bulan berpindah rumah sakit, mencoba berbagai pengobatan mulai dari medis sampai alternatif belum menunjukkan hasil yang signifikan. Kami tidak menyerah dan akhirnya menetap di salah satu rumah sakit besar di Jakarta namun ujian hidup terus berdatangan menghantam kebahagiaan keluarga kami.
Papa yang memang sudah lanjut usia mulai bersikap berbeda. Pandangannya sering menerawang dan pikirannya terbang entah kemana. Beliau tampak sulit konsentrasi dan tidak nyambung saat berbicara. Saya yang selalu bersama papa di rumah sakit mulai ketakutan dengan perubahannya. Duduk mematung hingga berjam-jam bahkan tertawa sendiri membuat saya cemas dan akhirnya menceritakan hal itu kepada kakak-kakak saya.
Kami semua menjadi khawatir papa menderita penyakit yang rentan dialami lansia yaitu Alzheimer jika dilihat dari gejala-gejalanya. Kami satu persatu mendekati papa dan mengajaknya bicara dengan pelan dan nada suara lembut. Tapi papa hanya menanggapi dengan senyuman kecil dan kembali menatap kosong. Mendapat respon seperti itu membuat kami tertegun dan mulai menangis. Ya Allah, bukankah kau tidak akan memberi cobaan kepada umat-Mu di luar kemampuannya?
20 Agustus 2016 saat warga negara masih dalam euforia hari kemerdekaan, berbanding terbalik dengan kami yang dalam suasana berkabung. Mama kembali kepangkuan-Nya setelah berjuang hampir setahun melawan penyakitnya. Kini mama juga sudah merdeka, lepas dari segala rasa sakit yang sudah ia rasakan selama ini.
Kami semua menangis terisak di samping mama yang tampak hanya tertidur damai dengan wajah yang bersinar. Papa hanya terus menatap lurus pada mama tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kulihat matanya tampak berkaca-kaca. Sepertinya penyakit itu menahan papa untuk menampilkan raut kesedihan yang dialaminya. Saya yakin papa sangat bersedih atas kepergian seorang istri yang telah menemaninya selama berpuluh-puluh tahun dalam suka maupun duka.
Saya menatap wajah mama penuh penyesalan, sebagai seorang anak aku belum cukup membuatnya bahagia. Tapi saya akan selalu mendoakan mama setiap salat, mengaji untuknya, dan menjaga papa dengan baik dan bersungguh-sungguh. Saya akan menjadi orang sukses kelak untuk membuat papa, kakak dan mama di surga bangga. Saya janji!
- Suami Meninggal Dunia Saat Aku Sedang Hamil, Duniaku Benar-Benar Runtuh!
- Sakit Parah, Pria Tua Ini Harus Rela Menikahkan Putrinya di Rumah Sakit
- Demi Susu Buah Hati, Tak Apa Aku Hanya Minum Air Putih Setiap Hari
- Setelah Rahimku Diangkat, Salahkah Bila Kuizinkan Suami Berpoligami?
- Cara Terbaik Mengobati Kehilangan adalah Memaafkan
(vem/nda)