Siang hari. Cahaya redup menyepuh kawasan kota kecil di Jawa Timur. Pagi yang cerah mendadak mendung setelah kudengar kabar kurang menyenangkan. Kakak nomor dua, Mbak Dwi, harus dirujuk ke rumah sakit Surabaya. Diagnosa sementara ada kanker di saluran pencernaan. Aku mencoba menghibur diri. Semoga dugaan medis kondisi kesehatan Mbak Dwi itu salah. Semoga Mbak Dwi tetap sehat. Bukankah Mbak Dwi selalu aktif dalam tugasnya sebagai ketua koordinator daerah tertinggal? Tidak ada tanda-tanda Mbak Dwi memiliki penyakit berat.
“Aku harus ke Surabaya, nanti titip bayiku dan anak-anak,” kalimat Mbak Dwi di teras rumahku sambil menyuapkan sepotong apel ke mulutku.
Seperti Mbak Dwi, aku sudah berkeluarga dan memiliki buah hati, namun di mata Mbak Dwi, terkadang aku tetap anak kecil. Aku mengunyah potongan apel dengan pandangan kosong ke halaman rumah. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu harus berbuat apa. Sejak Ibu berpulang, kurang lebih 12 tahun silam, Mbak Dwi adalah kakak sekaligus Ibu. Sejak Ibu meninggal aku bisa merasakan, perhatian Mbak Dwi padaku, adik satu-satunya demikian besar.
“Izin ingin menjaga Mbak Dwi, aku ingin merawatnya,” kusampaikan kalimat ini pada suami. “Bantu jaga anak-anak, tidak tahu berapa hari di rumah sakit,” tidak terasa mata berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat ini.
Suami mengizinkan. Berbekal tas kecil berisi beberapa pakaian ganti dan sejumlah buku bacaan, aku meluncur ke Surabaya. Selama perjalanan dalam kendaraan umum, anganku melintasi kenangan-kenangan indah bersama Mbak Dwi, juga Mas Eko, kakak pertama. Betapa kedua kakak ini selalu menjagaku terlebih saat kami menjadi yatim di usia masih kecil-kecil. Ke mana pun aku pergi bermain, kedua kakak ini menjagaku bergantian. Pun setelah aku berkeluarga. Perbedaan tempat tinggal membuat kami jarang bertemu, namun kami bertiga rutin saling memberi kabar. Terasa sekali bagaimana mereka tetap menjagaku dari kejauhan.
“Sakitku ternyata parah, aku nggak mau nyerah,” suara Mbak Dwi lemas tergolek di atas dipan rumah sakit.
Aku genggam telapak tangan kanan Mbak Dwi, kucium tangan yang selalu menjagaku sejak kecil itu berulang-ulang. Jika Mbak Dwi berjuang melawan penyakit kanker ususnya, maka aku berjuang tetap tegar di hadapan Mbak Dwi. Aku tak mau terlihat sedih di depan Mbak Dwi. Aku harus menjaga perasaannya. Terasa penuh genangan air di kedua pelupukku. Aku izin keluar kamar sebentar.
Di balik tembok kamar rumah sakit tempat Mbak Dwi dirawat, air mata ini tumpah. Sejumlah orang berlalu lalang memerhatikan aku yang duduk terkulai tanpa alas. Berkali-kali menyeka air mata namun kedua pipi semakin basah. Seluruh pemandangan bersama Mbak Dwi berkelebat. Hati seperti diremas-remas mengenang semua. Aku tidak boleh lemah. Saatnya aku bangkit menjaga Mbak Dwi apapun yang terjadi.
“Sudah stadium lanjut, agak terlambat diketahui. Tapi kita tetap berusaha ya,” pesan dokter padaku usai jadwal kunjungan, tanpa diketahui Mbak Dwi.
Hampir satu purnama aku menjaga Mbak Dwi di rumah sakit. Selama di rumah sakit, aku mengurus keperluan Mbak Dwi, bergantian bersama suaminya. Suami Mbak Dwi tidak bisa berlama-lama di rumah sakit karena kerja dan menjaga ketiga anaknya. Pernah suatu malam, Mbak Dwi mengeluh kedinginan. Badannya dingin dan menggigil. Mbak Dwi memanggilku dan minta dipeluk. Aku dekap tubuh Mbak Dwi dalam balutan selimut bergaris merah muda. Aku bisikkan semangat untuk tetap kuat.
Dalam temaran lampu kamar rumah sakit, aku melihat sudut ekor mata Mbak Dwi menitikkan air mata. Kami mengobrol lama tentang indahnya masa kecil. Bermain dan mandi di sungai, main di kebun tetangga sambil panen jambu air, nyebur kolam ikan sampai badan belepotan lumpur. Aku dan Mbak Dwi sampai tergelak. Tawa kami mengudara, beberapa saat kami lupa Mbak Dwi sedang berjuang melawan sakitnya.
“Sekarang aku pasrah,” kecil sekali suara Mbak Dwi saat malam semakin larut.
Sejak mendengar kalimat lirih itu, aku lebih banyak diam dalam menjaga Mbak Dwi. Aku terus berdoa memohon kesembuhan Mbak Dwi. Walaupun jarang bicara, aku yakin, Mbak Dwi mampu merasakan apa yang sedang bergelut di benakku. Sejujurnya aku belum sanggup kehilangan orang-orang tersayang untuk kesekian kali. Aku merasa belum maksimal menjaga Mbak Dwi.
Langit sore di atas bangunan rumah sakit seperti kehilangan cahaya lembayung. Mendung menaungi rumah sakit terbesar di kota Surabaya. Mbak Dwi mulai kehilangan kesadaran padahal pagi tadi aku masih menyuapi. Semangkok nasi soto habis dilahapnya.
“Makasih sudah menjaga aku, kamu istirahat saja, kamu capek,” ucap Mbak Dwi saat aku memberi obat pagi.
Aku menggeleng. Apa yang aku lakukan pada Mbak Dwi belum sebanding dengan apa yang pernah Mbak Dwi lakukan padaku bahkan aku tidak sanggup menjaga Mbak Dwi seperti Mbak Dwi menjagaku selama ini.
“Ya sudah, jaga aku, temani aku sampai pulang, ya,” Mbak Dwi tersenyum ke arahku.
Sore yang tak pernah kuduga. Tangisku pecah di antara bunyi langkah kaki tim medis berseragam serba putih. Mbak Dwi kritis! Aku sempat kehilangan kesadaran, namun teringat pesan Mbak Dwi yang minta aku jaga sampai pulang. Aku berusaha kuat. Aku dampingi Mbak Dwi yang sudah tidak mampu berkomunikasi. Tiada yang mampu kulakukan kecuali berdoa yang terbaik untuk Mbak Dwi.
Genap satu bulan tujuh hari aku menjaga Mbak Dwi di rumah sakit. Mbak Dwi akhirnya harus pergi tanpa pernah kembali lagi. Sedih sekaligus bahagia bisa menjaga, merawat, dan mendampingi Mbak Dwi hingga peristirahatan terakhir sesuai keinginannya.
Mbak Dwi, terima kasih telah menjagaku dengan caramu, maafkan aku yang tak sanggup membalas kebaikanmu, yang tak mampu menjagamu seperti Mbak Dwi menjagaku dulu. Semoga Allah menghapus semua dosamu dan menerima semua amalmu. Insyaallah tempat terbaik untukmu di sisi-Nya, aamiin.
Tangerang, Juni 2018.
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Menikahi Pria yang Punya 8 Anak, Aku Kehilangan Senyum Ayahku
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
(vem/nda)