Setelah Keguguran, Ada Ujian Berat Lagi yang Kuterima dan Aku Tak Menyerah

Fimela diperbarui 04 Jul 2018, 14:30 WIB

Menjadi ibu adalah anugerah istimewa yang saya miliki. Merasakan kebahagiaan melihat tawa buah hati, melihatnya tumbuh aktif dan ceria, memeluk tubuh mungilnya adalah harta yang tak pernah bisa digantikan dengan apapun. Namun di sisi lain, ada banyak hal yang ibu korbankan demi kebahagiaan keluarga. Bukan hanya kekurangan waktu untuk istirahat, namun juga menanggalkan semua ambisi dan cita-cita, hingga mengorbankan perasaan sendiri demi menjadi penjaga terbaik.

Saya masih ingat bagaimana rasa sakit saat keguguran di kehamilan pertama. Saya terbaring lemah tak berdaya di musala rumah sakit karena UGD sedang penuh dan tak mampu lagi berpindah ke rumah sakit lain. Terpukul  dan hancur saat melihat banyak darah yang keluar dan mengetahui bahwa saya harus kehilangan calon bayi yang masih berumur 3 bulan. Sejak saat itu saya menjadi pendiam, saya tinggalkan semua pekerjaan bahkan usaha kami yang mulai bertumbuh untuk menenangkan diri.



Perjuangan mendapatkan anak kembali saya rasakan saat melahirkan anak pertama. Setelah dua hari dua malam merasakan kontraksi dan sudah pembukaan 9, saya harus rela dioperasi demi menyelamatkan nyawa bayi yang sudah terlalu lama terkena ketuban yang infeksi. Dalam keadaan setengah sadar, saya tak peduli lagi akan bagaimana tubuh saya yang penting anak saya selamat. Syukur tak terkira saat Allah masih beri kesempatan hidup dan mendengar tangis buah hati.
 
Cobaan saat memperjuangkan anak saya rasakan lagi saat melahirkan anak kedua. Kali ini saya harus rela melalui proses melahirkan tanpa didampingi suami yang sedang menyelesaikan ujian thesisnya. Saat itu 24 Ramadan, harga tiket pesawat melambung tinggi dan tidak memungkinkan jika suami saya pulang. Ia akhirnya memilih jalur darat dengan bus gratis dari kampus dalam dengan waktu tempuh dua hari dua malam. Rasanya sedih, tapi semuanya harus saya lalui dengan tegar agar proses kelahiran lancar. Tidak ada kendala yang berarti di operasi yang kedua ini. Saya dan suami sudah menyiapkan nama Ghazy untuknya. Ghazy artinya pejuang, karena selama dalam kandungan hingga lahir ia telah berjuang tanpa kehadiran abah di sisinya.



Saya memeluknya erat. Bahagia yang tak terdefinisikan, begitu bahagia hingga menitikkan air mata. Awalnya Ghazy menangis dengan kencang, namun saat saya mencoba menyusui, tangisannya tersendat. Ghazy terbatuk dan sesak. Perawat langsung mengambil Ghazy dari pelukan saya. Kuku kaki dan tangannya membiru, saya tak kuasa menahan tangis. Hati saya hancur melihat Ghazy dirawat dengan selang begitu banyak. Saya tak bisa memeluknya, tak boleh berlama-lama di dekatnya. Ghazy mengalami infeksi paru-paru dan harus mendapatkan CPAP agar bisa membantu penapasannya.

Saat suami tiba dari Yogyakarta, Ghazy langsung dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap alatnya. Saya dipaksa pulang untuk memulihkan luka operasi, namun tetap hati ini tak pernah tenang memikirkan Ghazy. Saya menangis sepanjang malam. Ghazy berjuang di balik kotak penghangat sedang kedua tangan ini tak kuasa menguatkannya.  

Saya masih berjalan dengan lambat karena menahan luka di perut. Tapi keinginan untuk bertemu Ghazy tak bisa dibendung. Saya memaksa suami dengan berlinang air mata untuk menemaninya. Saya begitu rapuh jika tidak melihatnya. Kerinduan ini tak bisa lagi dibendung. Yang menjadi ibu pasti tahu bagaimana kerinduan seorang ibu akan anaknya.



Benar saja. Saat jam besuk yang hanya dua jam sehari, saya sesenggukan melihatnya. Badannya makin kurus dan nafasnya begitu berat, yang membuat saya semakin pilu adalah dadanya yang tertarik begitu dalam seperti tampak berlubang.

Namun perlahan kerinduan terobati, setidaknya ada kekuatan dalam hati bahwa saya harus menjadi tegar agar Ghazy merasakan semangat orang tuanya. Agar saya bisa terus menjaga Ghazy. Di antara sedih ini, Allah mengajarkan sesuatu tentang melihat ujian sebagai kasih sayang luar biasa. Tentang meyakini segala hikmah bahwa anak adalah harta dan titipan yang begitu berharga.

Dalam gema takbir, saya dan suami tetap setia di pelataran ruang tunggu. Mensyukuri nikmat sehat yang tak bisa dimiliki banyak orang. Di sana juga banyak wajah yang penuh rindu menganyam doa. Kami baru hanya mengeja hari, namun dipenuhi rindu bertubi-tubi. Ada banyak wajah yang membiarkan rindu berbulan-bulan mengambang di antara harapan dan penantian. Kerinduan yang bisa dilewati dengan sabar dan percaya ada Allah yang mengatur segalanya.



Kini Ghazy telah menginjak usia 1 tahun. Saya terus berjuang menjadi penjaganya dalam suka dan duka. Banyak yang bilang tubuh Ghazy lemah karena belum bisa duduk sendiri di usianya saat ini. Tapi saya tak peduli omongan orang tentangnya, tak pula terlalu membawa perasaan omongan yang kadang menyakitkan. Saya percaya Ghazy akan tumbuh sehat dan bisa seperti teman-temannya nanti. Asal saya terus semangat dan menularkan semangat untuknya.

Untuk tetap kuat menjadi penjaga Ghazy dan abangnya saya sebisa mungkin tetap memperhatikan kesehatan diri. Apa jadinya jika saya sakit, tentu anak-anak tidak aka nada yang menjaga. Saya juga berusaha memotivasi diri untuk terus berpikir positif bahwa apapun ujian yang datang adalah cara Allah untuk membuat saya menjadi lebih kuat. Termasuk ujian saat anak saya sakit, ini semakin menguatkan saya bahwa anak adalah titipan yang berharga yang harus dijaga dengan kasih sayang dan tanggung jawab.

Ghazy, Ubay… Umi akan kuat, untuk menjaga kalian selamanya. Hingga akhir hayat nanti.



(vem/nda)
What's On Fimela