Ibu, Kenapa Selama Ini Kau Menyembunyikan Penyakitmu yang Sebenarnya?

Fimela diperbarui 03 Jul 2018, 13:00 WIB

Menjaga diri sendiri adalah pondasi yang kuat agar kita dapat  menjaga orang-orang yang kita sayangi. Bukan masalah egois   kita mementingkan diri kita sendiri, tetapi  justru dengan kita menjaga diri kita sendiri  hasil yang yang kita dapatkan pun akan lebih maksimal. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang  rela kehilangan seseorang yang dia sayangi hanya karena keteledoran kita.  

Menjaga  diri tidak hanya dalam hal fisik tetapi lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah dengan pola hidup sehat, batiniah dengan selalu  mendekatkan diri  kita kepada Tuhan. Menjaga orang lain tanpa memperhatikan kita sendiri, hanya akan membuat kita membunuh diri kita sendiri. Tetapi berbeda dengan seorang ibu yang mengabaikan menjaga diri demi anak-anaknya. Kesalahan tidak bisa menjaga diri ataukah karena sebuah pengorbanan?

Ini adalah pengalaman pribadiku betapa pentingnya menjaga diri kita. Aku dibesarkan dalam keluarga besar. Aku anak keempat dari 11 bersaudara. Ibuku sebenarnya belum terlalu sepuh, masih berumur  58 tahun, tetapi beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Masih teringat jelas bagaimana perjuangan beliau membesarkan  11 anak dengan tanpa pamrih. Beliau  tidak hanya menjadi seorang ibu teladan  bagi anak-anaknya tetapi bagi murid-muridnya juga.  Dengan keteladannya aku dan saudara-saudaraku selalu meraih peringkat tiga besar di sekolah. Bahkan dalam hal keagamaan juga sering meraih juara, seperti lomba MTQ dan sejenisnya.



Cerita ini dimulai  ketika suatu hari ibu mengeluh sakit perut, seperti biasa ibu memintaku untuk mengeroknya karena memang ibu sering masuk angin. Selama  30  tahun aku bersamanya tidak pernah aku melihat ibu sakit yang parah, hanya masuk angin  atau flu saja dari dulu. Sudah dua hari setelah kerokan ibu tidak menunjukkan perubahan yang lebih baik, justru badan demam, dan tidak nafsu makan. Akhirnya  beliau dibawa ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumah.  

Waktu itu aku dan saudara-saudaraku khawatir jika Ibu terkena DB, karena memang DB sedang mewabah waktu itu. Dan diagnosis dokter antara Typus dan DB. Setelah opname selama 3 hari dokter baru menemukan diagnosis yang tepat bahwa ibu menderita typus.   

Setelah menjalani perawatan seminggu lebih ibu masih mengeluhkan sakit perut. Dokter melakukan observasi lebih lanjut dan akhirnya dokter memberitahu bahwa Ibu mengidap infeksi paru-paru dan liver. Betapa terkejutnya kami, tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa ibu bisa menderita sakit seperti itu.   



Hari-hari selanjutnya ibu habiskan di ruang ICU, kakak dan  adik-adikku yang menjaganya. Aku tidak bisa menjaganya karena waktu itu aku dalam keadaan hamil 9 bulan. Tepat 2 minggu ibu di rumah sakit akhirnya perjuangannya berakhir, Tuhan lebih sayang  padanya. Yang sangat mengejutkan kami adalah ternyata selama ini ibu menyembunyikan penyakitnya dari kami, bahkan dengan ayahku, suaminya sendiri.  

Hal ini kami ketahui dari bude, kakak ibu yang tinggal di luar pulau Jawa.  Malam ketika sebelum dimakamkan bude menceritakan pada kami bahwa sejak kecil memang ibu sudah menderita liver. Kenapa ibu tidak pernah mau menceritakannya, mungkin hanya ibu yang tahu. Kami semua hanya bisa menangis  tanpa bisa lagi mengeluarkan air mata mengingat pengorbanan beliau.

Memoriku flash back, kembali ke masa ibu masih sehat. Pulang mengajar langsung ke kebun sampai asar, bahkan habis asar pun ibu masih melanjutkan di kebun demi bisa menambah pemasukan dan memang beliau hobi dan tidak suka berdiam diri. Sampai beliau kadang lupa makan.   

Waktu aku kecil ibu selalu bangun pukul 2 pagi  untuk memasak, mencuci baju, dan membereskan rumah, tanpa pembantu rumah tangga dengan 11 anak. Padahal waktu itu secara ekonomi ibu mampu untuk menggaji seorang asisten rumah tangga, tetapi ibu lakukan agar memberi contoh kepada anak-anaknya. Masih banyak sekali hal yang ibu lakukan untuk kami, hanya demi kami.



Tidak akan cukup seumur hidup aku membahasnya. Yang teringat jelas dan mebuatku menangis sampai sekarang adalah ketika ibu sakit sebelum meninggal, dalam keadaan demam ibu menyuruhku untuk tidur agar tidak kecapekan karena sudah hamil besar masih menggendong anakku yang pertama yang masih berumur 14 bulan. Ibu menggendongnya hingga anakku tertidur. Ya Allah, andai aku tahu penyakit Ibu, takkan kubiarkan hal itu terjadi.  Dan saat aku menjenguknya ibu  berpesan agar aku mencari pekerjaan lagi, karena dengan bekerja bisa mengurangi tingkat stres karena bertemu dengan dunia luar, ibu mengkhawatirkan aku karena aku jauh dari keluarga besar, tinggal bersama suami dan keluarga besar suami.

“Dengan hati senangpun aku masih sakit seperti ini. Apalagi ditambah stres, jadi kamu  harus bisa menjaga kesehatan  diri kamu sendiri,“ pesan ibu benar-benar berguna buat aku. Memang benar adanya, kesehatan tidak hanya fisik tetapi mental juga. Dan kita harus bisa menjaga diri kita dengan baik agar orang- orang yang kita sayangi bisa kita jaga dengan segenap kemampuan kita tanpa harus mengabaikan diri kita sendiri walaupun itu sebuah pengorbanan.  Tapi aku tahu, seorang ibu tanpa disuruh pun pasti rela berkorban demi anak-anaknya.  

                                (vem/nda)
What's On Fimela