Menjaga diri sendiri adalah pondasi yang kuat agar kita dapat menjaga orang-orang yang kita sayangi. Bukan masalah egois kita mementingkan diri kita sendiri, tetapi justru dengan kita menjaga diri kita sendiri hasil yang yang kita dapatkan pun akan lebih maksimal. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang rela kehilangan seseorang yang dia sayangi hanya karena keteledoran kita.
Menjaga diri tidak hanya dalam hal fisik tetapi lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah dengan pola hidup sehat, batiniah dengan selalu mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Menjaga orang lain tanpa memperhatikan kita sendiri, hanya akan membuat kita membunuh diri kita sendiri. Tetapi berbeda dengan seorang ibu yang mengabaikan menjaga diri demi anak-anaknya. Kesalahan tidak bisa menjaga diri ataukah karena sebuah pengorbanan?
Ini adalah pengalaman pribadiku betapa pentingnya menjaga diri kita. Aku dibesarkan dalam keluarga besar. Aku anak keempat dari 11 bersaudara. Ibuku sebenarnya belum terlalu sepuh, masih berumur 58 tahun, tetapi beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Masih teringat jelas bagaimana perjuangan beliau membesarkan 11 anak dengan tanpa pamrih. Beliau tidak hanya menjadi seorang ibu teladan bagi anak-anaknya tetapi bagi murid-muridnya juga. Dengan keteladannya aku dan saudara-saudaraku selalu meraih peringkat tiga besar di sekolah. Bahkan dalam hal keagamaan juga sering meraih juara, seperti lomba MTQ dan sejenisnya.
Cerita ini dimulai ketika suatu hari ibu mengeluh sakit perut, seperti biasa ibu memintaku untuk mengeroknya karena memang ibu sering masuk angin. Selama 30 tahun aku bersamanya tidak pernah aku melihat ibu sakit yang parah, hanya masuk angin atau flu saja dari dulu. Sudah dua hari setelah kerokan ibu tidak menunjukkan perubahan yang lebih baik, justru badan demam, dan tidak nafsu makan. Akhirnya beliau dibawa ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumah.
Waktu itu aku dan saudara-saudaraku khawatir jika Ibu terkena DB, karena memang DB sedang mewabah waktu itu. Dan diagnosis dokter antara Typus dan DB. Setelah opname selama 3 hari dokter baru menemukan diagnosis yang tepat bahwa ibu menderita typus.
Setelah menjalani perawatan seminggu lebih ibu masih mengeluhkan sakit perut. Dokter melakukan observasi lebih lanjut dan akhirnya dokter memberitahu bahwa Ibu mengidap infeksi paru-paru dan liver. Betapa terkejutnya kami, tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa ibu bisa menderita sakit seperti itu.
Hari-hari selanjutnya ibu habiskan di ruang ICU, kakak dan adik-adikku yang menjaganya. Aku tidak bisa menjaganya karena waktu itu aku dalam keadaan hamil 9 bulan. Tepat 2 minggu ibu di rumah sakit akhirnya perjuangannya berakhir, Tuhan lebih sayang padanya. Yang sangat mengejutkan kami adalah ternyata selama ini ibu menyembunyikan penyakitnya dari kami, bahkan dengan ayahku, suaminya sendiri.
Hal ini kami ketahui dari bude, kakak ibu yang tinggal di luar pulau Jawa. Malam ketika sebelum dimakamkan bude menceritakan pada kami bahwa sejak kecil memang ibu sudah menderita liver. Kenapa ibu tidak pernah mau menceritakannya, mungkin hanya ibu yang tahu. Kami semua hanya bisa menangis tanpa bisa lagi mengeluarkan air mata mengingat pengorbanan beliau.
Memoriku flash back, kembali ke masa ibu masih sehat. Pulang mengajar langsung ke kebun sampai asar, bahkan habis asar pun ibu masih melanjutkan di kebun demi bisa menambah pemasukan dan memang beliau hobi dan tidak suka berdiam diri. Sampai beliau kadang lupa makan.
Waktu aku kecil ibu selalu bangun pukul 2 pagi untuk memasak, mencuci baju, dan membereskan rumah, tanpa pembantu rumah tangga dengan 11 anak. Padahal waktu itu secara ekonomi ibu mampu untuk menggaji seorang asisten rumah tangga, tetapi ibu lakukan agar memberi contoh kepada anak-anaknya. Masih banyak sekali hal yang ibu lakukan untuk kami, hanya demi kami.
Tidak akan cukup seumur hidup aku membahasnya. Yang teringat jelas dan mebuatku menangis sampai sekarang adalah ketika ibu sakit sebelum meninggal, dalam keadaan demam ibu menyuruhku untuk tidur agar tidak kecapekan karena sudah hamil besar masih menggendong anakku yang pertama yang masih berumur 14 bulan. Ibu menggendongnya hingga anakku tertidur. Ya Allah, andai aku tahu penyakit Ibu, takkan kubiarkan hal itu terjadi. Dan saat aku menjenguknya ibu berpesan agar aku mencari pekerjaan lagi, karena dengan bekerja bisa mengurangi tingkat stres karena bertemu dengan dunia luar, ibu mengkhawatirkan aku karena aku jauh dari keluarga besar, tinggal bersama suami dan keluarga besar suami.
“Dengan hati senangpun aku masih sakit seperti ini. Apalagi ditambah stres, jadi kamu harus bisa menjaga kesehatan diri kamu sendiri,“ pesan ibu benar-benar berguna buat aku. Memang benar adanya, kesehatan tidak hanya fisik tetapi mental juga. Dan kita harus bisa menjaga diri kita dengan baik agar orang- orang yang kita sayangi bisa kita jaga dengan segenap kemampuan kita tanpa harus mengabaikan diri kita sendiri walaupun itu sebuah pengorbanan. Tapi aku tahu, seorang ibu tanpa disuruh pun pasti rela berkorban demi anak-anaknya.
- Impian Anak Penderita Kanker Otak Bertemu Koala Terpenuhi, Kisahnya Haru
- Menikahi Pria yang Punya 8 Anak, Aku Kehilangan Senyum Ayahku
- Telanjur Cinta, Kunikahi Duda Meski Awalnya Ditentang Orangtua
- Suami Meninggal Dunia Saat Aku Sedang Hamil, Duniaku Benar-Benar Runtuh!
- Sakit Parah, Pria Tua Ini Harus Rela Menikahkan Putrinya di Rumah Sakit
- Demi Susu Buah Hati, Tak Apa Aku Hanya Minum Air Putih Setiap Hari