Menjaga Anak di Tanah Rantau Tanpa Suami, Menahan Rindu Jadi Ujian Terberat

Fimela diperbarui 30 Jun 2018, 13:00 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

Menikah dengan pria yang tinggal jauh dari tanah kelahiranku adalah hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun cinta membawaku pada sebuah keputusan besar dalam hidupku. Aku harus tinggal jauh dari kedua orangtua dan keluarga yang begitu aku sayangi, memulai kehidupan baru di pulau seberang, dengan berbagai perbedaan yang harus aku terima.

Ibu dan ayah mertuaku menyambut hangat awal perkenalan hubungan kami. Restu keluarga kami adalah alasan bagiku untuk memantapkan hatiku tinggal di tempat yg baru bersama suamiku nanti. Mereka pun berjanji, akan menyiapkan rumah untuk kami jika aku ikut suamiku di Medan nanti.



Sampai tiba saatnya hari yang begitu kunanti, hari pernikahan yg membuatku sangat bahagia. Namun, di saat itu aku juga harus berjuang menghadapi gejolak batin dan menahan tangis kesedihan saat harus berpisah dengan orangtua dan keluargaku di Jawa.

Suamiku selalu menggenggam erat tanganku. Ibu dan ayah mertuaku pun selalu memberiku semangat untuk membuatku tersenyum. Memiliki suami yang baik, sholeh, dan pengertian seperti dirinya membuatku merasa selalu bahagia. Apalagi ada ibu dan ayah mertua yang begitu baik terhadapku, mampu mengobati rasa rinduku pada orang tua dan keluargaku.

Di suatu pagi yang cerah, aku melihat senyum bahagia suamiku saat membuka email. Saat kutanyakan padanya tentang isi email itu, dia menciumku dan mengatakan dia diterima di salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Akupun turut bahagia mendengarnya karena pekerjaan itu adalah impian suamiku sejak dibangku kuliah dulu. Lalu, dia terdiam, meminta duduk dan mendengarkannya.



Tak terasa air mata mengalir di pipiku semakin deras, dadaku terasa begitu sesak saat aku harus menerima kenyataan bahwa pekerjaan yang akan dia ambil saat ini membuatnya tak bisa selalu bersamaku. Dia harus pergi bekerja ke Kalimantan tanpa membawaku bersamanya. Pekerjaannya di tengah hutan di Kalimantan membuat tak satupun pekerja bisa membawa keluarga ke sana. Tak ada sekolah, tempat pelayanan kesehatan yang minim, akses jalan yang begitu sulit membuatku harus pasrah menerima keadaan.

Kabar ini seperti hujan badai di tengah suasana pagi yang begitu cerah dalam hidupku. Namun aku harus kuat dan bertahan demi buah hati yang ada dalam rahimku.



Akhirnya akupun berusaha mengikhlaskan keputusannya, mungkin cara ini adalah ujian yang Allah berikan untuk rumah tangga kami. Aku mencoba berdamai dengan keadaan hingga kini aku terbiasa melewati hari-hari tanpa kehadirannya. Suamiku hanya bisa pulang dua bulan sekali dan hanya dua minggu kami bisa menghabiskan waktu bersama.

Begitu banyak momen indah yang terlewatkan, saat-saat di mana aku sangat membutuhkannya namun hanya suaranya yang bisa kudengar untuk memberiku semangat melewati setiap masa-masa sulit.

Aku harus menjadi wanita kuat, wanita yang tangguh, yang tak hanya bisa menjaga diri sendiri namun juga bisa menjaga kedua buah hati seorang diri di rumah ini. Di tanah rantau ini.



Saat aku sedang mengandung anak pertamaku, aku begitu ingin dibelikan ini itu oleh suaminya, seperti wanita hamil lainnya yang sedang mengalami masa ngidam. Tapi di sini aku harus berjalan sendiri, membeli apa saja yang kubutuhkan seorang diri. Tak jarang aku harus menahan keinginanku untuk membeli karena sudah larut malam atau karena jarak yang terlalu jauh untuk mencari makanan yang aku inginkan.

Pekerjaan ringan atau berat harus kulakukan sendiri, aku yakin jika anak dalam rahimku ini memang menjadi rezeki keluarga kami, dia akan jadi bayi yang kuat. Selalu kubisikkan pada calon buah hatiku, "Ibumu ini wanita tangguh dan kuat, jadi kamu juga harus kuat ya sayang."

Meski jauh, suamiku tetaplah menjadi suami yang perhatian dan selalu mengingatkan segala kebutuhanku. Saat yang paling berat adalah saat aku harus berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan putra pertamaku tanpa kehadiran suami di sisiku. Meski ada ibuku, ibu, dan ayah mertuaku, serta keluarga yang menemaniku saat itu aku tetap merasa sedih tak bisa bersamanya.

Rumahku mulai terasa ramai dengan tangisan dan tawa putra kecilku, dan aku semakin terbiasa dengan ini. Dan kini sudah hadir putra keduaku yang membuatku semakin bahagia melewati hari-hari kami yang hanya bertiga di rumah. Menjaga kedua buah hatiku adalah amanah terbesar yang Allah percayakan padaku. Meski harus menjaganya seorang diri, aku tetap menikmati setiap waktu bersama mereka.

Terkadang memang tak mudah, apalagi saat salah satu atau kedua putraku sedang sakit. Aku harus bisa menjaga mereka siang dan malam, mengantar dan mengantre ke dokter seorang diri. Menyiapkan makanan dan obat agar mereka cepat pulih.

Sungguh lelah rasanya, mata yang mengantuk pun tak bisa terpejam saat mendengar tangisan mereka yang sedang sakit. Namun, itulah indahnya menjadi seorang ibu yang selalu berjuang untuk anak-anak tercintanya. Dan ketika mereka sembuh, bisa tersenyum dan tertawa ceria lagi membuat lelahku hilang seketika.

Terima kasih suamiku yang selalu menguatkanku saat aku mulai lelah dan lemah.
Terima kasih anak-anakku, kalian yang membuat ibu bertahan di sini sampai saat ini. Ibu akan terus berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian semua. Menjaga belahan jiwaku yang sedang jauh di sana dalam setiap untaian doa di setiap sujudku. Menjaga kedua buah hatiku dengan segala yang ibu mampu saat ini agar kalian selalu mendapat yang terbaik dalam segala hal.

(vem/nda)