Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
Siapa yang bisa menyangka takdir akan menyeret ke mana? Semua adalah rahasia alam semesta. Seperti halnya aku yang tiada menduga bahwa aku harus menyeberangi luasnya samudera selama kurang lebih 124 jam demi menjalani profesi sebagai abdi negara yang siap ditempatkan di mana saja. Thampomas Island II, bisa ditempuh selama 17 jam jika berangkat dari Surabaya, atau 12 jam jika dari Pelabuhan Kalianget, Sumenep.
Siap untuk mati, itulah perasaan tiap kali berangkat ke sana. Karena cuaca lautan tak menentu. Saat di tengah-tengahnya pun segala bentuk komunikasi akan terputus. Jangan harap bisa menggunakan gawai di tengah perjalanan. Yang ada hanya doa dan segala macam pujian kepada Tuhan agar diselamatkan sampai tujuan. Andai ada pesawat terbang atau helikopter, mungkin aku akan memilihnya. Sayangnya, pilihan hanya ada tunggal, yaitu Kapal Perintis.
Pulau Masalembu yang lebih familier dengan sebutan Thampomas Island II sebenarnya adalah sebuah pulau yang cantik. Pantainya indah, penduduknya ramah, makanannya juga murah. Kali pertama aku menjejakkan kaki ke sana di tahun 2009, sebungkus nasi harganya hanya Rp2 ribu. Itupun porsinya sudah lebih dari cukup kalau untukku. Seporsi nasi dengan lauk pelengkap ikan laut goreng, mie, plus sambal. Jika mujur ada tambahan tumis sayuran juga.
Minusnya adalah fasilitas listrik yang hanya hidup dari Maghrib sampai Subuh saja. Itupun ada jeda listrik padam dari jam 12 malam hingga menjelang Subuh baru hidup kembali sampai jam 5. Saat cuaca buruk di mana tidak ada pasokan bahan bakar dari daratan, bensin harganya akan menjulang tinggi dan langka. Aku pernah membeli seharga Rp20 ribu per liternya. Itupun dibatasi per orang maksimal hanya boleh membeli 2 liter.
Sedangkan listrik yang bersumber dari diesel pun akan macet jika pasokan solar terhambat. Sudah kualami sendiri seminggu tanpa listrik sama sekali. Saat malam aku akan menghidupkan sebatang lilin. Kala kantuk sudah menyergap, lilin akan kupadamkan karena takut teledor jika terkena angin bisa membakar buku-buku yang berserakan di kamar.
Aku di sana tinggal di rumah dinas. Tapi jauh dari kata layak. Karena hanya ada sebuah kamar dan satu dapur saja. Sedangkan kamar mandi ada jauh di belakang menempel ke bangunan sekolah. Bisa dibayangkan jika tengah malam harus ke kamar mandi, butuh nyali yang besar untuk melewati kegelapan hanya dengan berbekal senter kecil.
Sebenarnya ada beberapa tetangga yang rumahnya bagus dan layak menawariku untuk tinggal bersama mereka. Tapi aku lebih suka menikmati kesendirianku. Karena sendiri itu bebas. Meskipun harus bermental baja dalam melewati malam yang terkadang seram.
Saat terdengar bunyi atau suara yang janggal, aku langsung pasang headset di telinga, aku putar musik keras-keras sampai aku mengantuk. Prinsipku aku tinggal di situ untuk memenuhi tugas dan kewajibanku, jadi nggak mungkin mereka yang tak kasat mata akan mengganggu ataupun mengusirku. Tak jarang juga ada aroma wewangian melintas di hidung, tapi aku anggap itu hal yang biasa. Daripada aroma busuk, lebih baik aroma harum bukan?
Oh iya, ada seekor kucing warna hitam mulus juga yang setia menemani hari-hariku di sana. Kucing hitam yang hanya diam, tak pernah mengeong sekalipun, namun memberiku keberanian yang berlipat ganda tiap kali aku melihatnya saat malam hari. Aku menganggapnya sebagai penjagaku yang setia menemaniku dengan caranya yang tak biasa.
Sekitar 6 tahun aku di sana. Hingga di awal tahun 2015 aku mendapat SK Mutasi untuk bertugas di daratan kembali. Aku tak menyangka aku bisa melewati 6 tahun penuh perjuangan dalam menjaga diriku sendiri. Melewati saat sepi, sunyi, sakit, sendiri dengan seluruh kepasrahan pada Sang Pencipta. Apalagi hingga detik ini aku masih tidak bisa berenang. Jadi, saat menyeberangi lautan dalam cuaca buruk, aku hanya bisa berserah diri seutuhnya.
Alhamdulillah, belum pernah ada peristiwa buruk yang mengharuskanku terjun ke laut. Saat kisahku ini aku tulis, ada beberapa rekan seangkatan yang masih tetap berjuang di sana karena usulan mutasi mereka masih belum disetujui. Bukannya aku (atau kami) tidak betah dalam mengabdikan diri di sana. Tapi ada rumah yang mengharuskan untuk kembali pulang. Semoga ke depannya pemerintah semakin memperhatikan fasilitas listrik di pulau terpencil, agar sumber daya alam maupun manusianya juga semakin maju dan berkembang.
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Untuk Suamiku Tersayang, Tetaplah Bersamaku dalam Suka dan Duka
- 5 Tips Memaafkan untuk Membuat Hati Kembali Damai