Cinta Bisa Bertahan Bila Setiap Badai Cobaan Dihadapi dengan Kesabaran

Fimela Editor diperbarui 29 Jul 2021, 10:22 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

Aku adalah seorang wanita yang jika dilihat dari memutihnya sebagian besar rambutku dan keriput-keriput kasar di wajahku, maka orang akan segera paham jika usiaku sudah mencapai setengah abad lebih. Tanganku yang coklat dan kering begitu sarat akan asam garam dalam kehidupanku. Di usiaku yang boleh dikata ibarat senja ini, aku dan suamiku masih bekerja keras untuk menyambung hidup, terutama untuk membiayaiku anak bungsuku menyelesaikan bangku kuliah. Sementara di usia yang sama, teman-temanku sudah ‘pensiun’ dari hingar bingar duniawi karena telah memiliki segalanya dari hasil kerja keras mereka di masa muda, dan kemudian kini sedang menikmati masa tuanya dengan indah. Iri? Tidak. Karena jika tidak ada hal dalam hidupku yang tidak bisa kuambil pelajaran darinya untuk kusyukuri, maka aku tidak akan menulis di sini.Aku menikah di usia yang mana aku mulai mendapat julukan kecil ‘perawan tua’. Ya, 29 tahun bagi sebagian orang adalah usia yang seharusnya aku sudah menimang dua atau tiga orang anak. Saat itu aku memutuskan menikah ketika gelar sarjanaku masih hanya sebagai formalitas untuk menambahkan kata ‘Insinyur’ di depan namaku dan suamiku juga belum mendapat pekerjaan yang tetap, sehingga kami masih mendapat sokongan fasilitas dari keluargaku.

Awalnya kami masih merasa kehidupan kami begitu wajar dan mulus ibarat jalan bebas hambatan, ditambah lagi suamiku yang menjadi pemborong kecil-kecilan sedang panen pekerjaan sehingga membuat kami sempat merasakan jalan-jalan menggunakan mobil Timor keluaran terbaru pada masa itu.Namun keadaan memabukkan itu begitu cepat berlalu, seolah kami dibangunkan dari mimpi indah untuk menghadapi kenyataan yang pahit. Suamiku yang sedang keblinger itu terjerumus dalam jurang setan narkoba. Dari situ perlahan kami dihadapkan pada kerikil-kerikil tajam kehidupan. Tawaran pekerjaan berkurang, cicilan mobil macet yang menyebabkan mobil ditarik oleh pihak leasing, utang sana-sini, bahkan aku harus jual cincin pernikahan untuk membeli susu anak-anakku yang masih kecil. Beruntung, saat itu mungkin hukum narkotika masih belum sekuat kini sehingga suamiku tidak diproses apapun oleh pihak yang berwajib.Semenjak saat itu, suamiku berada di rumah setiap hari, yang artinya ia menjadi pengangguran. Ia bahkan kehilangan semangat bekerja, juga tidak berusaha mencari pekerjaan atau melakukan apapun. Setiap hari pula, anak-anakku yang masih kecil disuguhi pertengkaran-pertengkaran antara aku dan suamiku. Tidak jarang mereka yang seharusnya menonton film kartun anak-anak malah menonton adegan kekerasan dalam rumah tangga kami.

Suamiku hanya menambah bebanku dan keluargaku. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun rumah tangga kami, bahkan hingga menjelang anak-anakku menempuh pendidikan perguruan tinggi. Sejujurnya aku malu, terutama pada keluargaku yang selalu membantuku secara materi dan psikis. Tapi ibarat jika aku harus tidak punya muka, maka entah sudah bercecer di mana mukaku saat itu. Yang penting anak-anakku tetap tercukupi gizinya, pendidikannya, serta kebutuhan lainnya.Tidak jarang aku mendapatkan saran dari orang-orang yang mengerti keadaanku agar aku berpisah dengan suamiku, baik itu dari pihak keluargaku maupun orang lain. Bahkan sebenarnya kata “cerai” sudah menjadi jurus utama dalam pertengkaranku dengan suamiku. Toh aku tidak akan dirugikan dalam hal apapun jika berpisah dengannya walaupun aku juga tidak akan mendapatkan apa-apa darinya. Setidaknya bebanku akan berkurang jika berpisah dengannya, baik beban materi, beban batin, juga beban sosial, begitu yang kebanyakan orang katakan kepadaku.

Tetapi lagi-lagi aku melihat anak-anakku. Mungkin aku terlalu lelah untuk melihat kepada selain mereka, sehingga aku tetap tidak beranjak dari hubungan neraka ini. Kuputuskan bertahan, meski jauh dari kata harmonis. Aku juga tidak mengerti apa yang menjadikanku masih berkutat tetap menjaga keutuhan rumah tangga kami. Bahkan jikapun sudah tidak ada rasa cinta di antara kami, aku akan tetap mempersilakan suamiku tetap bersama kami, menjadi bagian utuh dalam keluarga kami. Jika pun pula ia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan materi keluarga kami, aku berharap ia bisa menjadi guru kehidupan terbaik bagi anak-anak kami. Kini, di usiaku yang menginjak 57 tahun, dan suamiku 58 tahun, kami masih saja bekerja berat. Usaha depo air minum isi ulang lah yang kini menjadi sumber nafkah kami, bahkan mengantar anak bungsuku menempuh pendidikan tinggi. Ya. Semenjak aku menyerahkan semuanya kepada Dia Sang Maha Pembolak-balik Hati, sedikit demi sedikit pintu hati suamiku tergerak. Apapun ia lakukan demi anak-anak kami bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia juga lebih banyak mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, hal yang jarang sekali ia lakukan di masa lampau.

Pertengkaran demi pertengkaran yang dulu mewarnai hari-hari kami kini berubah menjadi saling toleransi dan mendukung, meski tidak dipungkiri terkadang masih saja ada hal-hal kecil yang kami perdebatkan. Aku sangat bersyukur karena dengan tetap adanya suamiku di sisiku hingga saat ini, kami memiliki anak-anak yang mandiri, cerdas berpikir dan emosional, pandai mengambil pelajaran dari pengalaman hidup, juga menjadi pribadi-pribadi yang selalu bersyukur.Duhai Allah, kini aku semakin menyadari bahwa menjaga keutuhan rumah tangga adalah bagian dari kehidupan. Jika aku tahu dari dulu bahwa jalanku berliku itu adalah ladang surga bagiku, seandainya bisa, maka akan kucabut semua kata-kata kasarku yang menyakiti hati suamiku, akan lebih kujaga tutur dan hatiku, juga akan kutarik kembali semua keluh kesahku atas semua nikmat dari-Mu. Wahai Allah, jika kini engkau menghukumku dengan penyesalan, sungguh ku berharap aku masih bisa mengais pahala dari sisa hidupku ini.