Tanpa Ibu di Sisi, Tanggung Jawab Seorang Gadis Sulung Bisa Lebih Berat

Fimela diperbarui 14 Jun 2018, 20:00 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

Arti keluarga pada tiap orang berbeda-beda. Ada yang bangga, sangat menghormati, menyayangi dan mencintai keluarga. Merasa bahwa keluarga adalah tempat utama yang dituju saat gembira, saat sedih, kecewa, marah, dan sebagainya. Mempercayakan keluarga sebagai tempat curhat yang utama. Berkeluh kesah atas apa yang menimpa. Itu bagi mereka yang mengerti dan benar-benar memahami apa makna dari keluarga dalam kehidupannya. Tak lepas juga karena keberhasilan kepala keluarga dalam membentuk pribadi anggota keluarganya.

Namun ada pula yang menganggap keluarga itu bagaikan musuh. Tak ada hormat, apalagi saling menyayangi antar anggota keluarga. Merasa terbebani jika dekat dengan keluarga. Lebih mempercayakan masalah mereka pada orang lain yang bukan keluarga. Malah merasa risih jika harus curhat masalah pribadi atau masalah lain yang menyangkut dirinya. Bisa saja itu karena kurangnya pendidikan kepribadian pada keluarga tersebut.



Aku memiliki sebuah keluarga kecil yang menurutku berada pada posisi tengah. Tidak sempurna tapi juga tidak kurang dalam hal mendidik anggota keluarga. Keluargaku terdiri dari bapak, aku, dan adikku. Ibuku telah lebih dulu menghadap Tuhan belasan tahun silam. Sebagai anak tertua aku merasa memiliki tanggung jawab menjaga keluarga.

Tanggung jawab terhadap bapak karena beliaulah satu-satunya orangtua yang kumiliki. Tanggung jawab terhadap adik kandung yang juga merupakan satu-satunya adik yang kumiliki. Keluarga kecil yang kumiliki memang bukanlah keluarga sempurna. Baik dari segi materi, akhlak, kepribadian, maupun yang lainnya. Namun, bisa kupastikan keluarga kami bahagia apa adanya.

Bapakku yang telah berumur setengah abad lebih. Sering sakit-sakitan bila terlalu lelah dalam bekerja. Entah itu demam, pegal-pegal, asam uratnya yang kambuh, dan lain sebagainya. Beliau yang seorang pekerja keras akan lupa jika sudah bekerja. Lupa makan,istirahat cukup, dan lupa akan kesehatannya.



Sebagai anak tertua aku wajib menjaga saat beliau sakit di sela kesibukanku bekerja. Bila diingat-ingat, semua beliau lakukan demi aku dan adikku. Bapak yang dulu menjaga, merawat, membesarkan kami menggantikan ibu. Mengabaikan keinginannya untuk menikah lagi agar kami tak memiliki ibu tiri. Tidak tanggung-tanggung apa yang bapak lakukan untuk kami semata karena kasih sayangnya pada keluarga terutama anak.

Adikku anak kedua di keluarga ini. Seorang perempuan juga sepertiku namun agak susah diatur. Kini sudah lulus pendidikan sekolah menengah atas. Awalnya setelah lulus pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama hampir saja putus sekolah dikarenakan keterbatasan biaya. Aku sebagai kakaknya yang hanya lulusan SLTP ini merasa tidak tega. Dia masih memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Sebisa mungkin aku harus menjaganya. Menjaga cita-citanya, masa depannya agar tidak sepertiku.



Dengan susah payah aku biayai sekolahnya. Aku tidak tega menyerahkan biaya sekolah pada bapak. Dengan niat yang kuat akhirnya aku bisa membiayai adikku hingga lulus SMA. Setidaknya dia lebih baik dibanding kakaknya ini.

Kini, saat umurku sudah kepala dua hampir kepala tiga, tanggung jawabku untuk menjaga pun bertambah. Menjaga perasaan cinta dari seorang pria yang sebentar lagi menjadi suamiku. Aku bertunangan dengannya setahun yang lau. Namun karena saat itu adikku baru kelas 2 SMA, aku meminta penangguhan 1 tahun sebelum ke pelaminan. Menunggu agar adikku lulus dulu. Selama masa penangguhan aku berusaha untuk menjaga cinta ini agar tak ke lain hati. Hingga nanti saatnya tiba, rasa ini tetap setia hanya untuknya.

Bagiku menjaga itu berat tidaknya tergantung kita menjalaninya. Ikhlas menjaga dan tanpa pamrih. Semakin kita ikhlas semakin terasa ringan apa yang menjadi tanggung jawab kita. Tanpa pamrih karena itu memang sudah kewajiban kita. Menjaga keluargaku, perasaanku, dan nantinya amanah-amanah yang diberikan padaku, senantiasa kucoba ikhlas dan tanpa pamrih menjalaninya.

(vem/nda)