Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
“Aku bersyukur, ketika Tuhan memilihku menjadi wanita. Segala bentuk kasih sayangNya selalu terurai untukku dalam setiap detiknya. Kodrat yang harus aku jalani, adalah satu bentuk cinta yang Dia berikan agar aku menjadi perempuan yang seutuhnya. Ibu—begitulah panggilanku saat ini. Panggilan yang sungguh aku banggakan. Bagaimana tidak, suami dan ketiga anakku sangat membutuhkan kehadiranku. Jika suaraku tidak terdengar di antara kedua telinga mereka, entah bagaimana mereka akan terbangun dari tidur malamnya. Jika tidak ada raga ini di sisi mereka, entah bagaimana keluargaku akan menjalani perputaran detik jam setiap harinya. Jika kelembutan cintaku untuk mereka tidak ada di sana, entah bagaimana mereka mengerti arti sebuah toleransi. Terima kasih, telah menempatkanku pada satu tempat yang sangat berarti dalam hidup kalian.”
Aku adalah seorang ibu, yang telah menjalani kehidupan berumah tangga hampir kurang lebih selama 50 tahun. Hidup dengan suami yang mencintaiku dan ketiga anakku yang tulus dalam menerimaku. Bahagia sekali, bercengkerama setiap harinya dengan memandangi wajah-wajah mereka yang sarat penuh makna. Tidak ada hal yang paling indah bagiku, selain mendengarkan celotehan mereka setiap waktu. Jika ada satu yang tak nampak dari pandanganku—sehari saja—rasa rindu menyeruak menyesakkan dadaku.
Aku menganggap diriku sendiri bagaikan seekor burung. Suami dan satu orang anak laki-lakiku bak sayap yang mendorongku untuk bisa terbang. Sementara kedua anak perempuanku bak sepasang mata yang menjadi penyeimbang di kala pandanganku akan kehidupan mulai pudar. Bagiku, mereka sangat berarti. Melebihi segala apapun yang aku punya.
Sayangnya, kini aku tak lagi menjadi seekor burung yang sempurna. Kekuatanku untuk terbang telah berkurang. Tak sekuat dulu, tak seelok dulu. Kepakkan sayapku yang semula melebar memenuhi angkasa, kini tertelungkup tidak bergerak. Ya, suamiku (satu sayapku) telah kembali menghadap-Nya. Meninggalkan diriku dan ketiga anakku dengan sejuta kenangan dan pengorbanan. Aku tahu, kembalinya dirinya pada Sang Kuasa adalah hal terbaik. Namun tetap saja, aku terluka.
Sepuluh tahun silam, suamiku merintih kesakitan. Bisa kukatakan, itulah kali pertama ia mengeluh. Sebelumnya, sesakit apapun tubuhnya merasa, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya, ia hanya meminta untuk dipijit atau sekedar dibelikan obat warung. Tetapi, kali ini berbeda. Ia meringis, bahkan menangis. Ia tak kuat lagi menahan sakit yang mungkin tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Hepatitis B—begitulah tim dokter menyebut nama penyakit yang diderita oleh suamiku. Semacam penyakit parah yang menyerang organ hati manusia. Awalnya, hanya sekedar sakit perut yang aku anggap sebagai penyakit maagh. Akan tetapi, lama kelamaan kuku-kukunya berubah menjadi kuning. Bola matanya yang sudah tak bening lagi karena usianya yang telah senja, berubah pula menjadi warna kuning yang tak menawan untuk dipandang. Kala itu, pikiranku terlalu ruwet. Teror kejadian sepuluh tahun sebelum suamiku sakit, seolah kembali muncul. Tanda-tanda yang dialami oleh suamiku, pernah dialami pula oleh mertua dan adik iparku. Sungguh, satu memori lama yang sangat menakutkan. Bagaimana tidak, keduanya (mertua dan adik iparku) harus kembali kepada pangkuan Ilahi karena tidak ada obat yang mampu menyembuhkannya.
Aku segera menepis jauh-jauh pikiran buruk semacam itu. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana aku harus bangkit menjadi motivator dadakan bagi suamiku. Jika aku terus larut dalam ketakutan, yang ada adalah aku tidak ada waktu untuk mengurus suamiku sendiri.
Perjuangan untuk berobat aku awali dari dokter umum yang praktik di dekat rumahku. Beliau menyampaikan, bahwa suamiku harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Sebab, kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk diobati oleh dokter umum. Sayangnya, suamiku bukanlah tipikal orang yang mudah untuk diajak ke dokter, apalagi ke rumah sakit. Ia benar-benar menolak untuk diajak ke rumah sakit. Ia lebih memilih untuk berobat jalan daripada harus dibawa ke rumah sakit. Ya sudah, aku tidak bisa terlalu banyak memaksa. Sebab, aku yakin dia lebih mengerti tentang apa yang ia rasakan, daripada tubuhku sendiri.
Hampir setiap malam, aku terbangun. Kutengok kondisi suamiku setiap saat. Tak lupa, aku selalu menyempatkan mengambil percikan air wudhu untuk menunaikan qiyamul lail. Tentu, aku berharap agar separuh sayapku kembali pulih. Bahkan, segala upaya telah aku lakukan. Mulai dari obat medis, obat herbal, obat yang tidak masuk akal, hingga pergi ke orang pintar. Cara terakhir adalah cara yang aku anggap paling bodoh. Tapi yasudahlah, ini adalah satu bentuk perjuangan. Hampir semua bentuk ikhtiar telah aku lakukan kesana kemari demi kesembuhan dirinya. Tubuhku yang juga renta, semakin terasa lunglai karena hampir satu bulan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiranku selalu melayang-layang, memikirkan sesuatu yang tentu tidak aku inginkan.
Dua bulan berlalu.
Harapanku pada kondisi di mana suamiku sembuh nyatanya telah sirna. Tepat pada tanggal 21 Januari, ia harus kembali pada pangkuan-Nya. Aku ingat betul, perutnya yang dulu melekat erat di antara tulang-tulang rusuknya, di akhir hidupnya terlihat sangat besar. Persis seperti ibu-ibu yang sedang hamil 5 bulan. Kuku dan bola matanya masih saja tampak kuning seperti kunyit. Tulang-tulangnya terlihat menonjol di antara daging-daging yang kian lama semakin menyusut. Menyedihkan—sangat—menyedihkan. Aku tak tega, ketika aku harus melihat anak terakhirku tersungkur menahan tangis melihat pahlawan laki-lakinya tergeletak tak bergerak. Dadaku terasa seperti ditusuk timah panas. Sangat sakit.
Aku tak habis pikir, jika usahaku akan sia-sia. Namun, semua telah menjadi kehendak Ilahi. Apa yang terjadi adalah satu qadar yang harus aku jalani. Aku harus kuat. Sebab, ketiga anakku tidak akan mampu hidup jika aku menjadi pemimpin rumah tangga yang rapuh. Hari demi hari, aku semakin sadar. Hal ini adalah yang terbaik, daripada suamiku terus menahan kesakitan yang tidak tertahankan. Tidurnya yang panjang mungkin adalah satu hal yang akan membuat dirinya merasa nyaman. “Jadilah wanita kuat!” begitu aku menyemangati diriku sendiri.
“Teruntuk suami yang telah menemaniku selama ini. Aku mengucapkan kata perpisahan dengan rasa tidak ikhlas yang mendalam. Bagaimana mungkin aku ikhlas, jika sayap yang selalu kujaga patah begitu saja. Tapi tenang saja, aku tidak akan goyah, apalagi menyerah. Karena, aku adalah seekor burung yang diciptakan Tuhan untuk berkelana mengitari semestanya, agar lebih kuat dan bersyukur. Meski sebagian sisi hidupku telah sirna, aku masih tetap memiliki bagian lain yang terus menguatkanku.
Suamiku, aku bukanlah pelindungmu. Sebab, memang aku tak bisa melindungimu. Aku hanyalah seorang perempuan yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pendampingmu, ya cukup sebagai pendamping yang selalu ada untukmu. Meski pada akhirnya kita harus merelakan, namun aku bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memelukmu hingga detik menunjukkan pada akhir peristirahatan. Terima kasih telah menjadi separuh sayap yang melengkapi hidupku." -Istrimu
- Untuk Bisa Memaafkan, Ibaratkan Dirimu Seperti Air
- Pria yang Bertindak Kasar dan Ketahuan Selingkuh Tak Layak Dipertahankan
- Gagalnya Sebuah Hubungan Pasti Akan Digantikan dengan Jodoh yang Lebih Baik
- Ikhlas Lepaskan Barisan Para Mantan, Temukan Pria yang Lebih Baik Kemudian
- Memaafkan Itu Mudah, Tapi Jangan Harap Keadaan Bisa Kembali Seperti Semula