Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya

Fimela diperbarui 06 Jun 2018, 14:30 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

"Bu, saya kan sedang menyusun karya tulis untuk studi S2 saya. Saya rencananya mau menulis tentang Mbak Ayu. Mbak Ayu kan down syndrome, ya Bu. Saya mau melakukan penelitian tentang Mbak Ayu."

Deg!!! Aku menatapnya tanpa ekspresi. Berusaha sedapat mungkin meredam amarah yang mulai menggelegak. Baiklah. Jika wanita ini beranggapan Ayu adalah anak down syndrome, akan aku buktikan bahwa anakku sebenarnya baik-baik saja. Ayu bukan anak autis. Ayu juga bukan anak down syndrome.

Ya. Memang tidak hanya satu kali ini saja aku menerima celaan seperti ini. Orang-orang yang hanya asal berbicara dan memandang kesempurnaan hanya dari versi dirinya sendiri. Anakku, Ayu lahir pada tahun 2009 di tahun ke-5 usia perkawinanku. Tentu saja kehadirannya sudah sangat aku nantikan. Aku dan suami menyambut penuh suka cita dan ucapan syukur yang tak henti-hentinya pada Allah SWT.

Namun, sesuatu yang tak kami duga mengiringi kelahirannya. Anakku lahir dengan dugaan penyakit hemofili dan penyakit kuning. Berbagai upaya kami lakukan agar anak kami terhindar dari penyakit yang mengerikan ini. Alhamdulillah, seiring dengan waktu, anakku pun terbebas dari diagnosa hemofili. Anakku tumbuh dengan sehat, meski kami tetap rutin memeriksakan anak kami ke dokter spesialis anak untuk meyakinkan agar anak kami benar-benar terbebas dari penyakit hemofili.

Akan tetapi yang terjadi selanjutnya, anakku Ayu mengalami kendala dalam bersosialisasi. Ia mengalami keterlambatan bicara. Kosakatanya sangat terbatas, seperti suara bayi belajar bicara tapi minim makna. Akibatnya, Ayu sering kali menjadi korban bullying di sekolah. Tak hanya sering diejek, tindakan kekerasan pun pernah dialami anakku. Sering kali Ayu pulang sekolah dengan luka lebam di tubuhnya. Giginya pun pernah lepas akibat pukulan temannya. Meski pada saat kejadian, gigi Ayu memang sedang goyang, tapi akibat pukulan temannya, struktur gigi depan Ayu menjadi lebih tonggos.

Apakah aku sebagai orangtua hanya diam saja? Tentu saja tidak. Aku sempat protes keras pada pihak sekolah, bahkan pernah berencana memindahkan anakku ke sekolah lain. Tapi setelah dimediasi pihak sekolah, akhirnya hatiku pun luluh.  Apalagi anakku, Ayu tidak ingin pindah sekolah. Ketika aku bertanya kenapa tidak mau pindah sekolah, Ayu menjawab dengan polosnya, “Ayu sayang sama teman-teman Ayu.” Ya Allah, aku menjadi tidak tega memindahkannya ke sekolah baru. Jalan keluar satu-satunya, aku harus membantunya dengan sekuat tenaga.

Tentu saja aku tidak bisa menerima anakku menjadi korban bullying terus menerus. Tekadku, aku harus mengajarinya untuk menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Sehingga anakku dapat bersosialisasi dengan baik di sekolah.

Aku pun memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan psikolog anak di sebuah rumah sakit pemerintah di kota Solo. Alhamdulillah, melalui psikolog anak ini, aku mendapat pengarahan untuk bisa membimbing anakku. Dan sesuai perkiraan awalku, anakku Ayu bukan penderita autis maupun down syndrome. Kekurangan anakku hanya terletak pada ketidakmampuannya untuk bersosialisasi dengan baik. Ini disebabkan karena riwayat kelahirannya yang pernah diduga hemofili, sehingga menyebabkan aku begitu melindunginya dari pergaulan dunia luar.

Bisa dikatakan, anakku mengenal dunia luar adalah ketika ia mulai bersekolah. Itulah sebabnya anakku tidak mengenal cara berteman dengan teman-teman sebayanya, sehingga sering memicu kesalahpahaman antara ia dengan teman-temannya. Anakku pun belum dapat menunjukkan perasaan emosinya dengan baik. Jadi ketika ia menjadi korban bullying, yang ia lakukan hanya menangis, tanpa ada upaya untuk membela diri.

Ketika ia diejek teman-temannya, yang ia lakukan hanya tertawa, sebab anakku tak paham maksud ejekan. Ia mengira temannya mengajak bermain. Tapi ketika anakku meniru perilaku temannya, seperti mengejek, yang ia dapati malah berupa pukulan.

Bermodal pengarahan dari dokter spesialis dan psikolog anak, aku pun berusaha keras mendampingi anakku. Karena sering menjadi korban bullying, aku pun turut melakukan pengawasan di lingkungan sekolah berbekal surat rekomendasi dari psikolog anak.

Aku mengajari Ayu untuk mengenal rasa tidak suka, marah, dan lain-lain. Ketika ia sedang  berbicara dan teman-teman mengejeknya, maka ia harus berani berterus terang kepada temannya dengan berkata, “Ayu tidak suka diejek." Ketika ada teman yang memukulnya, Ayu pun harus berani berkata, “ Jangan pukul Ayu. Ayu tidak suka.” Bahkan aku mempersilakan Ayu untuk balas memukul temannya atau jika ia tidak mau membalas temannya Ayu dapat melapor ke gurunya.

Untuk menambahkan kemandiriannya, Ayu lantas mengikuti ekstrakurikuler tapak suci, agar ia dapat membentengi dirinya dari perilaku kasar teman-temannya. Tidak cukup berusaha di situ, aku memotivasi Ayu untuk menjadi siswa yang berprestasi. Kukatakan padanya jika ia mendapat nilai bagus dalam pelajaran, ia akan memiliki banyak teman. Karena teman-temannya akan lebih menghargainya jika ia berprestasi. Aku mengatakan ini padanya, bukan karena aku adalah sosok ibu yang ambisius, yang menuntut anaknya menjadi anak yang pintar dalam segala hal dan berprestasi. Tidak! Tentu saja tidak.

Aku yakin, Ayu mampu dari segi akademik meski tanpa harus aku paksa untuk belajar. Ini terbukti ketika mendaftarkan Ayu sekolah, ia berhasil meraih nilai yang baik dalam tes masuk. Nilai yang tidak kusangka-sangka. Pun dalam mata pelajaran di sekolah, di beberapa mata pelajaran, nilai Ayu cukup menonjol terutama di hafalan Al-Quran atau tahfidz. Dari situ kemudian aku ketahui jika Ayu memiliki kelebihan dalam hal hafalan. Karena itu untuk mendukungnya, kini setiap hari setelah menunaikan ibadah salat subuh berjamaah, Ayu dan adik-adiknya belajar tahfidz.

Selain itu untuk memperlancar kemampuan berkomunikasi serta menjadikannya berani dan percaya diri di hadapan orang banyak, aku melatihnya berpidato dan bercerita. Aku sering membuatkannya teks pidato singkat atau membelikannya banyak buku cerita Islami agar kemudian ia bisa menampilkan kembali isi pidato dan cerita-cerita itu di rumah. Ayu pun mengikuti ekstrakurikuler tambahan yaitu muhadhoroh di sekolahnya untuk menunjang kemampuannya berbicara.

Apakah semua ekstrakurikuler yang diikuti Ayu adalah paksaan dariku? Tidak. Aku terbiasa mengomunikasikan segala sesuatunya secara terbuka kepada anak-anak. Meski mereka masih kecil. Bagiku keterbukaan antara orangtua dan anak sangatlah penting. Alhamdulillah, Ayu tidak menolak saranku. Bahkan ia tidak pernah absen dari semua kegiatan ekstrakurikuler kecuali jika dalam keadaan sakit.

Dan begitulah, Ayu pun mulai menampakkan perubahan. Nilai akademiknya semakin membaik. Di kegiatan akhir semester dan akhir tahun sekolah, Ayu pernah meraih juara 2 lomba da’i, juara 2 lomba cerita Islami dan menjadi perwakilan sekolah di tingkat kecamatan dalam lomba cerita Islami. Nilai tahfidznya pun hampir selalu berada di angka 100.

Dan lebih membahagiakanku, Ayu tidak hanya berani tampil di lingkungan sekolah saja, tapi juga di kompetisi luar sekolah. Aku sering mengikutsertakan Ayu di berbagai perlombaan di luar sekolah, di mana pesertanya berusia lebih tua darinya dan kemampuan mereka pun luar biasa. Tapi anakku, Ayu tak merasa takut atau pun minder. Ia berani tampil di atas panggung dengan tingkah khasnya yang masih anak-anak. Ayu suka mengamati lawannya berkompetisi, lalu bertanya padaku bagaimana agar ia bisa seperti lawannya. Selanjutnya ia akan memintaku untuk mengajarinya. Tentu aku senang sekali, karena Ayu memiliki semangat berkompetisi yang positif, mau belajar dari kelebihan lawannya.

Kini, anakku Ayu, yang saat ini duduk di kelas 3 SD dan berusia 9 tahun, menjelma menjadi anak yang cukup mandiri dan percaya diri. Jika dulu pendiam, kini mulai sering bercerita banyak hal padaku. Ayu mulai belajar bertanggungjawab terhadap adik-adiknya, bahkan tak segan membantu adiknya belajar. Sesekali Ayu membacakan buku cerita untuk adik-adiknya. Ayu  juga rajin membantuku dalam pekerjaan rumah yang sederhana. Seperti membereskan tempat tidurnya sendiri, mainan dan buku-buku sekolah, menyapu ruang tamu. Dan sudah terbiasa mandi, berpakaian, dan makan sendiri.

Di sekolah Ayu memiliki banyak teman. Bahkan kini ia memiliki sahabat. Teman-temannya pun mulai ramah padanya. Jika dulu Ayu sering main sendiri atau hanya mengamati teman-temannya dari jauh, kini Ayu sudah pandai bergabung bermain dengan teman-temannya. Ia terlihat asyik bermain kasti atau bermain petak umpet bersama teman-temannya di sekolah.

Ayu juga mulai menunjukkan sisi emosionalnya. Ia terbiasa mengucapkan terima kasih kepada gurunya ketika mendapatkan nilai bagus di sekolahnya. Ketika temannya pindah sekolah, Ayu menunjukkan empatinya dengan memberikan kado dan surat kepada temannya itu.  Bagaimana dengan teman-temannya yang dulu kerap mem-bullynya di sekolah? Terkadang aku melihat Ayu bermain dengan mereka. Namun jika temannya berlaku kasar, Ayu tidak tinggal diam. Ia bisa balik memukul temannya. Jika ia kalah dan menangis, Ayu akan melapor ke gurunya.

Aku memang tidak bisa mengawasi Ayu terus menerus di sekolah, tapi dari tindakannya yang berani melawan temannya dan melapor ke guru, menurutku itu perubahan yang sangat besar. Ke depannya, aku yakin Ayu bisa lebih menjaga dirinya sendiri.

Memang suatu perubahan tak bisa berhasil secara instan. Perlu proses yang bisa memakan waktu yang lama. Di dalamnya juga di butuhkan kesabaran dan keteguhan. Aku dan anakku, Ayu sudah mengalami dan membuktikannya. Kini orang-orang yang pernah mencela anakku, mulai mengakui prestasi Ayu. Bahkan tak sungkan-sungkan mereka berbicara langsung padaku dan memberikan pujian bagi Ayu. Mereka tidak menyangka bahwa Ayu, menurut mereka, mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Begitu pula dengan guru-guru Ayu di sekolah. Mulai ada perhatian diberikan kepada Ayu. Tidak ada lagi komentar-komentar negatif yang di tujukan pada Ayu, malah aku dan guru-gurunya saling memberikan masukan demi kemajuan Ayu.

Aku berharap dan terus berdoa kepada Allah SWT agar anak-anakku terutama Ayu selalu dalam lindungan Allah SWT. Dan aku sebagai orangtuanya, sebagai ibunya, diberikan kekuatan dan kesabaran oleh Allah agar aku dapat terus mendampingi anakku di setiap tahap perkembangannya. Karena itulah tugas seorang ibu. Menjadi penjaga bagi anak-anaknya.

Jangan pernah meninggalkan anak-anak. Tak peduli bagaimana pendapat orang tentang anak kita, seorang ibu tetap menjadi pahlawan bagi anaknya. Hanya ibu yang tahu bagaimana anaknya, bukan orang lain.

(vem/nda)