Tradisi Belanja Besar di Hari Raya: Sejarah Belanja Besar di Indonesia

Fimela diperbarui 04 Jun 2018, 13:03 WIB

Hari Raya Idul Fitri punya mantara khusus di benak Indah --seorang ibu rumah tangga dari dua orang anak. Di hari itulah dia akan pulang kembali ke Jakarta, bertemu kedua orangtuanya, serta bercengkerama kembali dengan kakak perempuan, dan satu adik laki-lakinya.

Pada hari itu pula, Indah yang biasanya tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, bisa mencicipi kembali opor ayam buatan sang Mama yang sudah setahun absen di lidahnya. Lebaran begitu besar maknanya buat Indah dan bukan cuma dia yang merasakannya.

“Sekalian bawa jalangkote (makanan khas Makassar) buat Nyokap. Sudah lama Beliau ngga makan jalangkote yang asli,” ujar Indah.

Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bisa jadi perayaan paling meriah di Indonesia. Dengan mayoritas penduduk penganut Muslim, tak salah jika memang perayaan Lebaran bisa berdampak ke seluruh lini kehidupan Indonesia. Semua pekerjaan siap ditunda, para pekerja kembali ke tanah kelahiran, dan hari libur pun sengaja diperpanjang.

Selain bersua dengan sanak-famili, Idul Fitri lekat dengan budaya berbelanja. Salah satu dasar yang dijadikan asumsi perlunya pakaian baru saat Hari Raya Idul Fitri adalah sunnah (anjuran, jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa) mengenai ‘berpakaian yang baik’. Seperti dituliskan oleh Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Fiqih Wanita Edisi Lengkap dalam Bab Shalat ‘Ied di halaman 193.

“Mandi pada pagi hari sebelum berangkat untuk menunaikan shalat ‘Ied adalah amalan yang sunnat. Bagi para wanita muslimah, dianjurkan memakai wewangian ketika mengerjakan shalat ‘Ied dan mengenakan pakaian yang baik,” tulis Syaikh Kamil.

Dari Anas bin Malik Radhiyallhu Anhu ia menceritakan, ”Pada hari Idul Fitri dan ‘Idul Adha, Rasulullah memerintahkan kami untuk mengenakan pakaian terbaik yang kami miliki dan memakai wewangian terbaik yang ada pada kami, serta berkurban dengan binatang tergemuk yang kami punyai,” (HR Al-Hakim).

Menurut Ibnu Qayyim, Rasulullah mengenakan pakaian terbaik pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Beliau memiliki pakaian khusus yang biasa dikenakan pada kedua hari raya dan pada hari Jumat.

Namun demikian, dikatakan Sosiolog Sigit Rohadi bahwa di Tanah Arab sebagai asal kelahiran Islam, suasana Lebaran tidaklah semegah di Indonesia. "Umat Islam Indonesia merayakan Idul Fitri sejak mengenal ajaran Islam. Hanya di setiap daerah berbeda-beda. Yang khas dari perayaan Idul Fitri adalah makanan, pakaian baru, dan saling berkunjung ke sanak-saudara untuk menyampaikan permintaan maaf," ujar Sigit dalam korespondesinya dengan vemale.com.

Khusus untuk ‘pakaian baru’, masyarakat Indonesia memang punya anggaran khusus saat Lebaran. Dikatakan Sigit kalau munculnya belanja di luar kebiasaan dimulai sejak membesarkan kelas menengah sebagai keberhasilan pembangunan ekonomi tahun 1970-an.

"Di kota-kota besar tahun 1970-an, pusat belanja tutup selama dua hari saat Idul Fitri. Tetapi sejak tahun 1980-an, pusat perbelanjaan justru buka setelah Sholat Ied sampai jam 23:00 malam. Idul Fitri bergeser dari perayaan keagamaan menjadi ekonomi konsumtif Tidak lama setelah sholat ied selesai, masyarakat akan segera menyerbu pusat belanja untuk membeli makanan dan pakaian. Padahal di rumah banyak makanan," ujar Sigit yang juga peneliti di bidang kebijakan sosial.

Kelas menengah ini melakukan belanja besar untuk memenuhi kebutuhan Lebaran --baik menyiapkan makanan untuk keluarga maupun untuk menyambut tamu. Selain itu juga menimbun makanan karena ditinggal beberapa hari oleh asisten rumah tangga. Kebiasaan belanja bagi kelas menengah didukung oleh berbagai sarana seperti mal dengan berbagai diskon, tunjangan hari raya bagi pekerja, dan potongan harga dari produsen langsung.

Kelas menengah pula yang menciptakan kebutuhan tersendiri dan berbagai barang untuk merawat diri. "Masyarakat berbelanja bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, tetapi sebagai gaya hidup. Eksistensinya ditunjukkan dengan belanja, 'Saya belanja, maka saya ada’," tegas Sigit.

Masuk tahun 2000-an, teknologi komunikasi menjadi komoditi utama untuk dikonsumsi. Belanja sudah merupakan gaya hidup yang digerakkan oleh kemampuan ekonomi.  Perkembangan E-Commerce di lepas tahun 2010 semakin melancarkan kebiasaan belanja ini.

Para marketplace yang merupakan wadah pelaku E-Commerce juga mengakui adanya peningkatan kala Lebaran tiba. Menurut Ambrosia Tyas Senior Brand and Communications Manager Bukalapak, bahwa setiap Ramadhan dan jelang hari raya, akan terjadi peningkatakan transaksi sebanyak dua kali lipat dibanding hari biasa.

“Di momen-momen khusus seperti Ramadan dan Lebaran, transaksi di Bukalapak mengalami peningkatan yang signifikan. Mengingat kebutuhan masyarakat saat Ramadan yang cenderung lebih banyak dari pada bulan-bulan lainnya,” kata Ambrosia yang akrab disapa Oci.

Hal senada dikatakan Shopee dan Lazada yang keduanya juga merupakan raksasa E-Commerce di Tanah Air. "Dilihat dari data tahun lalu, terdapat lebih dari 300 ribu pesanan per hari dalam aplikasi Shopee di bulan Ramadhan. Prediksi kami transaksi paling tinggi tahun ini akan terjadi saat dua minggu sebelum hari raya Lebaran,” ujar Rezki Yanuar, Country Brand Manager Shopee dalam wawancara eksklusifnya dengan vemale.com.

Haikal Bekti Anggoro, Head of Mobile Lazada Indonesia, menyatakan bahwa konsumen menjadikan fashion muslim sebagai barang jawara untuk dibeli. "Apalagi untuk perempuan. Mereka tidak hanya membeli baju melainkan aksesorisnya juga, pernak-perniknya, seperti kerudung, lalu produk health and beauty, tak lupa elektronik, kebutuhan dan peralatan rumah tangga," ujarnya ketika ditemui dalam undangan buka puasa bersama Lazada di Capital Place, Jakarta, Selasa (22/5).

Gerai offline juga tidak ketinggalan. Untuk menarik konsumen, mal di kota-kota besar di Indonesia mengadakan Midnight Sale dengan diskon harga yang membuat perempuan goyah iman.

“Pengunjung mulai ramai tentu saat Midnight Sale, biasanya seminggu pertama puasa masih sepi, namun selebihnya  semakin lama semakin naik jumlah pengunjungnya. Bahkan 1-2 hari lebaran masih ramai, walau mal buka setengah hari,” ujar Dinia Widodo, Public Relations Manager Grand Indonesia.

Hukuman sosial

Kebiasaan belanja ini membuat mereka yang tidak melakukannya dianggap aneh. Padahal mereka menganggap bahwa memang tidak ada kebutuhan tambahan yang harus dipenuhi secara signifikan. Sartika (bukan nama sebenarnya) sebagai contoh, ibu satu anak dari Bogor ini melihat tidak ada kebutuhan tambahan yang harus dibelanjakannya saat Lebaran. Adapun uang tambahan yang harus ia keluarkan adalah untuk hal wajib macam zakat fitrah dan THR asisten rumah tangga.

“Saat saya bilang saya ngga beli baju koko untuk anak atau ngga minat beli mukena baru, ada saja keluarga yang nyinyir. Bilang saya pelit, ngga mau keluar uang pas Lebaran,” ujar Sartika.

“Awalnya sih sakit hati dan sempet ikutan belanja. Tapi habis itu mikir, buat apa juga buang uang hanya untuk menyenangkan hati orang lain? Akhirnya sekarang ngga saya peduliin keluarga yang nyinyir itu. Cuekin aja,” ujarnya lalu tersenyum.

Menurut Sigit sebagai Sosiolog bahwa ‘hukuman’ yang terjadi seperti itu biasanya terjadi di lingkungan yang dimotivasi oleh gengsi dan prestise.

“Bagi kelas menengah, tidak berbelanja di hari lebaran identik dengan mati gaya, kurang topik pembicaraan di kalangan mereka, dan lama-kelamaan ‘status social’-nya menurun dalam kelompok mereka. Dan, jika tidak segera mampu menunjukkan kemampuannya di bidang lain, yang bersangkutan akan ke luar dari kelompok,” kata Sigit.

Tidak ada yang menyalahkan jika kamu mau menyenangkan diri sendiri dan keluarga di hari kemenangan. Namun demikian, disarankan Sigit agar tidak belanja berlebihan dan sesuai dengan kemampuan diri.

“Menjadi masalah jika belanja di luar kemampuan dengan mengalahkan kebutuhan yang lebih prinsip seperti pendidikan anak dan kesehatan. Apalagi jika terdapat unsur kriminal di balik gaya hidup mewah,” tutup Sigit.

(vem/kee)