Setiap orang memiliki kisah hidupnya masing-masing yang dapat dijadikannya pengalaman berarti bagi dirinya. Kisah yang memiliki arti pelajaran hidup, tidak semata-mata diperoleh melalui proses yang serba pendek, namun melalui proses yang beruntun dan panjang. Tentang sahabat, pacar, orangtua, kehidupan kampus, dan lainnya adalah sebagian dari agen yang berperan menyempurnakan sistem kisah hidup kita lalu kita merangkainya dalam setiap sel-sel otak, bahkan untaian kalimat cerita.
Pengalaman yang ingin kubagi saat ini bukanlah kisah yang belum pernah didengar sebelumnya. Mungkin dalam kehidupan sinetron, ceritaku terlalu biasa untuk difilmkan. Tapi, cerita ini menyimpan arti mendalam dalam hidupku dan untuk sepanjang aktivitasku yang selalu kulakukan setiap hari, yaitu cerita tentang sahabat.
Sahabat dan teman mungkin memiliki makna yang berbeda. Untuk mendefinisikan seseorang yang pernah hadir dalam hidup kita menjadi sahabat atau teman kita bukanlah sesuatu yang mudah, begitu pikirku saat usiaku masih 16 tahun dan baru memasuki masa SMA. Masa SMA adalah masa di mana hormon pubertas bagi remaja sedang tinggi dan mungkin bagi perempuan sepertiku, adalah masa di mana aku butuh perhatian tinggi dan butuh komunitas orang-orang yang bersedia mendengar keluh kesahku.
Usiaku yang masih 16 tahun itu merupakan masa keberuntungan karena berhasil diterima di sekolah favorit dan mendapat beasiswa di asrama selama 3 tahun penuh. Meskipun bahagia, tapi di sisi lain aku harus siap menerima risiko bahwa aku akan meninggalkan rumahku dan orangtua. Kerinduanku pada orangtua di awal aku masuk asrama sangat menggebu-gebu, bahkan ingin sekali keluar dari asrama dan menyesal sudah mendaftar di sekolah tersebut. Namun, Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat telah mengetahui semuanya dan menempatkanku di posisi yang tepat.
Betapa tidak, Sang Maha Pemilik Kelembutan itu mempertemukanku dengan teman kamar asrama yang sangat baik dan memiliki karakter unik masing-masing. Sebut saja mereka dengan nama Ertha, Hana, dan Pipin. Kami berempat menempati kamar 10. Setiap hari pergi sekolah bareng, makan di kantin bareng, bahkan belajar bareng. Kami seakan-akan tidak pernah bosan berbagi waktu bersama.
Mungkin sejak menyadari arti kehadiran mereka dalam hidupku, aku mulai menyematkan tanda persahabatanku untuk mereka bertiga. Ertha, Hana, Pipin, dan aku sendiri, kami punya mimpi-mimpi hebat yang tidak semua orang tahu dan kami berjanji akan mewujudkannya kelak setelah lulus SMA lalu lulus kuliah. Ertha dan Hana ingin jadi dokter, Pipin ingin jadi guru, dan aku sendiri ingin menjadi dokter hewan. Berbincang di malam hari menjadi rutinitas gosip bagi keluarga kamar 10 yang selalu bersemangat berbagi cerita, baik itu cerita tentang gebetan masing-masing, tugas di sekolah, dan hukuman-hukuman super dari pembina asrama. Betapa rindunya aku dengan momen-momen bahagia itu. Tak luput pula, pertengkaran kecil di antara kami sering terjadi. Dan lagi-lagi, kami berbaikan seperti semula.
Kebahagiaan kami kemudian tidak bertahan lama, sejak tanggal 30 November 2012 itu. Hari di mana salah seorang sahabat terbaikku, Hana mengalami kecelakaan akibat ditabrak oleh motor dengan kecepatan tinggi. Dia tidak sempat mengelak, dan kejadiannya begitu cepat. Aku ingat saat ia dibopong ke dalam ambulans dan dibawa ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Sepanjang hari itu, kamar 10 muram. Dan aku, menangis dalam kesendirian, ingin sendiri, dan benar-benar tidak ingin diganggu. Aku menangis tersedu sedan, lalu mulai meraung-raung begitu pula disusul tangis Ertha dan Pipin. Kami berdoa semoga Hana bisa sembuh dan kembali bersekolah bersama kami. Semoga kami bisa mengayuh sepeda bersama lagi dan menceritakan hal-hal seru lainnya. Semoga.
Tepat 5 hari kemudian setelah insiden kecelakaan itu, kabar buruk datang. Aku ingat, aku baru saja pulang sekolah dan masuk kamar. Seseorang mengetuk pintu kamarku dan mengatakan bahwa Hana, sahabat kami menghembuskan napas terakhir siang tadi. Mendengar kabar itu, kepalaku mulai terasa sakit dan kakiku seperti tidak berpijak pada lantai. Rasanya hatiku dihantam oleh sesuatu yang keras, rasanya seperti mimpi.
Perlahan, aku sadar air mataku mulai turun dan ini bukanlah sebuah mimpi di siang bolong. Ertha dan Pipin pun tahu dan kabar menyebar dengan cepat. Saat itu, aku terus berpikir mungkinkah Hana bisa hidup kembali seperti keajaiban yang terjadi di film-film? Tapi lagi-lagi, otakku kembali berpikir sehat dan berkata dalam hati bahwa itu semua mustahil.
Kepergian Hana, sahabatku adalah momen yang paling sedih saat kehilangannya. Kesedihan yang berlarut-larut dan butuh waktu lama bagiku untuk menghapus rasa sakit dan rasa bersalah ini. Ibuku yang menenangkanku saat aku pulang liburan ke rumah. Satu pesannya yang beliau ucapkan saat itu, "Mungkin ini sudah takdir Tuhan. Kalian sudah dipertemukan juga takdir Tuhan. Begitu pula ketika dia dipanggil, itu sudah takdir Tuhan. Setiap orang tidak pernah tahu kapan ajalnya tiba, yang terpenting adalah kita sadar bahwa kematian itu tidak memandang tua atau muda, kaya atau miskin. Semuanya sudah memiliki ketetapan ajal masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan amal ibadah sebanyak mungkin untuk bekal kita di akhirat nanti. Untuk saat ini, berdoalah yang terbaik untuk temanmu, Hana supaya ia dimudahkan dalam urusan akhiratnya dan ketika ia menghadap Allah untuk diminta pertanggungjawaban."
Di akhir kalimat ibu, air mataku menetes tak terbendung. Aku memeluk ibu dan mengatakan bahwa aku bersyukur punya sahabat seperti Hana. Hana adalah orang yang periang dan segala hal yang dia lakukan selalu aku tiru. Aku juga mengatakan pada ibuku bahwa Hana akan baik-baik saja.
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
- Nikah Muda Tersiksa Lalu Menjanda, Saking Stresnya Sampai Ingin Bunuh Diri
- Untuk Bisa Memaafkan, Ibaratkan Dirimu Seperti Air
- Cela Saja Kekurangan Fisikku, Tapi Nanti Aku Akan Lebih Sukses dari Kalian
- Jangan Bela Pacarmu Bila Ujungnya Kamu Malah Mengecewakan Orangtuamu
(vem/nda)