Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Panas kopi yang menyentuh bibirku pagi ini mengingatkan bahwa hidup selalu saja berjalan sesuai skenario Tuhan, manusia bisa saja berharap, nyatanya Tuhan lah pemegang kendali. Ya, seperti halnya aku tersadar akan nikmatnya berharap tanpa tahu alamat. Alamat yang terus saja disasarkan oleh angin, alamat yang masih saja dirahasiakan nomor huninya, dan alamat yang telah dipalsukan pemiliknya.
Kuakui saat itu aku amat berharap, pada perhatian yang kadang kau sasarkan padaku, pada rasa yang kubiarkan tumbuh seiring berlalu, pada rindu yang terkadang sama-sama tak kita ungkapkan. Ini bahkan sudah bukan rindu sepihak, kamu pun kemudian mengaku bahwa kita memiliki rindu yang sama, namun sengaja dibiarkan ada jeda.
Kau masih ingat bukan? Pada perhatian yang sempat kau sasarkan padaku, barangkali dulu tak juga disebut seperti itu, “Karena memang kamulah yang jadi sasaran," tuturmu ketika itu. Suatu hari tubuhku terpaksa menyerah oleh tumpukan aktivitas, dan flu ringan mulai menyerang, kau panik bukan kepalang. Menitipkan beberapa jenis makanan yang bisa dijadikan penawar sakit kala itu, begitu kata teman dekatku ketika menyerahkan obat yang lebih dari sekedar manjur bagiku.
Aku pun semakin berusaha keras menyembunyikan harap, rindu dan segala yang selalu terbungkus senyap. Kita menjadi dua orang yang saling menyembunyikan kasmaran di hati masing-masing. Saling tunduk ketika tak sengaja bertemu mata, supaya apa-apa yang membahagiakan bisa disembunyikan. Ketahuilah, kau lah segalanya yang menjadi alasan bahagia saat itu.
Kita terus menikmati rindu yang berjalan, perlahan meski tahu rindu kita selalu tak mempunyai tepi seperti kebanyakan pasangan. Tak bertepi karena tak pernah saling ungkap, tak pernah saling temu, dan tak pernah kita sebut rindu sebelumnya. Namun tetap saja, kita tetap menikmati hal-hal samar yang membahagiakan sesederhana itu.
Sesekali kucari tahu kabar terbaru tentangmu, kamu pun seolah tahu sinyal apa yang ingin kukirimkan padamu. Komunikasi pun bermula, kita mulai saling sindir melalui status social media, terkadang menyempatkan berkomentar satu sama lain, mencari-cari topik supaya bisa berkirim pesan, ah selalu saja ada cara supaya topik yang kita bicarakan tak bisa berakhir.
Sesekali aku ingin sekali mempertanyakan apa arti kita bagimu, jujur saja aku adalah tipe wanita perasa yang kupaksa acuh akhirnya. Aku harus selalu menjadi wanita penyeimbang, menyeimbangkan diammu, menyeimbangkan sebagai dua orang yang saling asing ketika bertatap muka. Bahkan sebuah ketidakpastian pun selalu kita nikmati bersama. Tidak ada masalah ketika waktu berjalan seperti itu, orang-orang di sekililing kita mulai menangkap kisah yang telah terjadi di antara kita. Beberapa terlihat menyemogakan kebersamaan kita, beberapa terlihat heboh dengan kedekatan kita, kita pun tak saling mengelak.
Pada malam-malam yang terasa amat panjang dari biasanya, ketika kau menelpon dan beralasan ingin menghabiskan bonus operator, aku pun senang bukan kepalang. Memikirkan banyak hal yang hendak kuceritakan, mencari-cari topik menarik supaya ada yang saling kita dengar, meski pada akhirnya selalu saja ada kata yang tersaring dan tak terungkap, sepercik kata yang menjadi tanya. Lagi dan lagi yang selalu aku ingin tanyakan padamu, “Apa arti kita bagimu?”
Apa nyatanya doaku saja yang kugantungkan di langit bersama namamu, bagaimana jika kamu tidak melakukan hal yang sama sepertiku? Aku selalu menyiapkan kemungkinan buruk atas pengharapan yang lama-lama kubuat semakin besar. Aku mulai pandai mengarang jawaban dari tanya yang selalu tak sempat tersampaikan padamu. Perlahan, aku mulai menerima kalau saja kamu tak sama denganku, dengan rasaku, dengan rinduku.
Umur yang terpaut lima tahun, membuatku kemudian mengambil sebuah kesimpulan kecil, bahwa hubungan orang dewasa tak selalu diresmikan dengan status. Sebenarnya, aku setuju dengan kesimpulan ini, aku juga bukan orang-orang yang menyukai status pacaran. Hanya saja komitmen saling menjaga perasaan terkadang harus diwujudkan dalam bentuk keseriusan. Serius menjaga hatiku, serius melindungi perasaanku, dan serius untuk bertemu kedua orang tuaku. Setidaknya, itu adalah sebuah rancangan yang selalu kubuat sendiri. Ah, aku jadi sadar betapa harapan yang kupupuk padamu mulai membuatku menjadi berlebihan.
Waktu semakin menyadarkan kita, bahwa pisah telah di ujung mata. Pengumuman lolosnya aku mengikuti seleksi beasiswa di Surabaya telah sampai di telingamu, dengan kalimat sesak kamu ucapkan selamat. Aku tak sanggup mengartikan apa-apa kala itu, hanya bibir senyummu yang kutafsirkan, bahwa kau pun turut bahagia atas kabarku. Kita saling menguatkan, bahwa pisah adalah cara kita memupuk rindu. Pada hati yang paling dalam, di suatu hari nanti kita akan sama-sama memanen rindu dengan temu.
Begitupun, akhirnya waktu tiba untuk sementara menjauhkan raga kita. Aku tak sempat menemuimu untuk sekadar berucap pamit. Kamu pun sebaliknya, tak ada usaha. Hanya pesan singkat yang kemudian menjadi obat. Tak juga kutemui kata yang mewakili rasa dalam isi pesan itu.
Aku hampir meluap, diamku kadang serasa ingin berucap meski berakhir getir. Ego wanitaku lah yang berkata. Entah perkara mitos atau fakta bahwa wanita hanya bisa menunggu lelakinya berkata tentang rasa. Bagiku itu adalah rumus yang berlaku. Kita saling pergi dari pojok ruang yang telah menyatukan cerita kita, tapi harapku padamu tetap sama. Di suatu hari nanti kan kutemui indah yang telah bersanding dengan rindu kita, kopi kita, kursi tunggu kita, dan tentu saja raga kita. Kita hanya menertawakan cerita lalu, tentang senyum simpul yang selalu disembunyikan, tentang pipi merah yang tampak dengan sendirinya, dan tentang sejuta tingkah kita.
Hampir dua tahun berlalu, kesibukan terkadang menenggelamkan komunikasi satu sama lain. Terlebih, cerita kita yang masih saja tanpa kejelasan. Sesekali aku merindukanmu lewat jarak, lewat hembusan angin, lewat perbatasan senja, dan tentunya pesan singkat yang sudah jarang kutemui. Akupun tetap memaklumi keadaan, kondisi yang memaksakan, dan kesibukan masing-masing yang masih menjadi alasan.
Sesekali lelah terasa, tentang menunggu yang tak juga berujung temu. “Aku tahu wanita tak bisa digantung terus menerus seperti ini." Tiba-tiba ucapmu di suatu pesan singkat yang teramat larut, bahkan demi membaca perlahan katamu aku rela menahan kantuk meski tak terhitung berapa kali menguap. Aku mulai menerka ke mana arah bicaramu malam ini, manis sekali kurasa.
Barangkali kepastian yang selalu kuresahkan akan kau berikan. Pada akhirnya, percakapan kita hanya berujung pada kata “Tidak ada yang salah dengan rasa, karena hanya mengalir bak air sungai. Ada yang harus mengalir bersama hingga muara, ada yang harus berpisah di jalan, ada pula yang berpisah alur dan kemudian bertemu kembali di satu muara."
Pertanyaan-pertanyaan yang belum juga terjawab, pada persimpangan jalan yang memisahkan? Pada satu muara yang menyatukan? Akan seperti apa akhir cerita kita? Tanyaku selalu saja tertahan, bila saja jawaban yang ditunggu ternyata mengecawakan. Akankah lebih baik buatku untuk menyimpan tanya tanpa menagih jawab? Ah, waktu semakin membuat rumit cerita kita. Atau barangkali aku sendiri atau justru kamu yang merumitkannya?
Dan benar, selang beberapa bulan dari percakapan getir itu. Aku membaca dengan terbata namamu yang tersemat di bingkai kertas undangan bersama seorang wanita. Wanita yang tak lain ialah sahabat karibku, sahabat yang dahulunya selalu bertukar kabar perihal rasaku denganmu, ataupun rasanya dengan lelaki yang saat itu dekat dengannya.
Namun begitulah, tak ada yang manis selain berharap hanya kepada Allah. Bagaimanapun juga, ini adalah jalan bagiku untuk terus memperbaiki diri.
Selamat berbahagia dengan bahteramu yang baru, terima kasih karena telah mempersilakan aku mengukir prestasi lebih jauh. Berkat keputusanmu itu, akhirnya aku mulai menyusun ulang skala prioritas, dan dengan ridho Allah aku berhasil lulus 3 tahun 5 bulan dengan predikat terbaik satu dalam masa perkuliahan.