Mengidap Borderline Personality Disorder, Perasaan Hampa Ini Menyiksaku

Fimela diperbarui 26 Mei 2018, 10:20 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Selama 25 tahun hidup, bisa dikatakan inilah saat di mana saya berada di bawah. Bukan karena saya kesulitan memenuhi kebutuhan perut saya, atau tak lagi mampu memenuhi gaya hidup. Bukan! Lebih dari itu semua. Saya merasa diri saya lebih rendah dari sebuah lantai.

Biasanya apapun keputusan yang saya ambil, kemanapun kaki ini melangkah. Tak pernah terbesit untuk belok kanan lagi. Tetapi tidak saat ini. Entah kenapa berhari-hari jadi sulit untuk memejamkan mata di malam hari. Ada setumpuk amarah, kesedihan, dan kekecewaan di dalam dada. Parahnya semua itu sampai membuat kedua tangan saya memukul diri saya sendiri. Menampar, memukul dada, lengan, dan membenturkan kepala ke tembok.

Saya sadar, saya teleah mengalami gangguan jiwa yang dinamakan Borderline Personality Disorder (BDP). Gangguan ini terjadi karena seseorang tidak bisa melampiaskan emosinya atau perasaan kosong yang kronis akibatnya seseorang akan mengalihkan rasa sakit psikisnya terhadap rasa sakit fisik. Penderita BDP akut akan melukai diri sendiri dengan benda tajam. Mulai menyayat lengan dan pahanya sendiri. Untungya itu tidak terjadi pada saya, tetapi saya pun tidak bisa menjamin kalau saya tidak melakukan hal tersebut suatu hari nanti.

Terkadang saya bisa agresif dan sejahat itu pada tubuh saya, namun saya juga sering membiarkan tubuh saya tergeletak, terpejam seharian di atas tempat tidur. Menurut artikel yang saya baca, semuanya terjadi karena saya mengalami depresi. Kehilangan minat dan kesenangan, kehilangan semangat, perasaan bersalah dan kehilangan konsentrasi. Hal-hal semacam itulah yang membuatt saya akhirnya melupakan semua yang saya rasakan dengan membuat diri saya tidak sadar. Tidur.

Sungguh saya tak tahu harus bagaimana menyembuhkan diri saya. Saya tak tahu lagi bagaimana menghentikan tubuh ini yang tiba-tiba bangun di tengah malam dan langsung memukul diri sendiri atau seketika bangun dari tempat tidur berjalan ke tembok dan membenturkan kepala. Saya merasa sakit. Bukan sakit fisik tetapi hati dan pikiran yang jauh merasa sakit. Saya butuh pertolongan. Sayangnya saya bukan orang yang pandai untuk bercerita ke orang lain.

Komitmen untuk tidak bekerja dengan orang lagi ternyata sulit. Jatuh bangun harus dihadapi sendiri. Hingga akhirnya otak mengajak berandai-andai. Padahal dalam kamus saya tidak ada kata “seandainya” akan tetapi kali ini, saya tidak dapat menghalau otak untuk berpikiran seperti itu.

Perandaian dimulai dari saya menuntut ilmu di bangku kuliah. Andai saya menjadi mahasiswa yang tetap rajin sampai akhir semester, tentu saya akan mendapatkan tempat kerja yang jauh lebih layak dari sebelumnya. Lalu otak mengajak mundur lagi. Andai dulu saya memberanikan diri mengambil jurusan kuliah yang saya inginkan. Pasti saya akan lebih senang menikmati pembelajaran di bangku kuliah. Andai dulu sewaktu sekolah memengah saya memberanikan diri untuk meminta dimasukkan ke sanggar pasti saya memiliki pelampiasan emosi yang jauh lebih positif. Perandaian yang dibuat otak semakin mundur. Hingga menyebut “andai saya tidak dilahirkan”. Astagfirullahaladzim, semoga perasangka ini tidak terjadi pada saudara-saudara saya di luar sana.

Keadaan saya belum juga membaik sampai bulai Ramadan datang. Setelah enam hari puasa, saya memutuskan untuk berkunjung ke kota perantauan saya dulu, mengunjungi teman-teman yang masih tinggal di sana. Bermalam beberapa hari bersama teman-teman saya yang dulu. Saya melihat aktivitas mereka, pagi mereka berangkat kerja dan ada juga yang berangkat kuliah. Malamnya saya keluar bersama teman-teman lainnya sekedar menyeruput kopi dengan menanyakan kabar, tentu saya tidak menceritakan keadaan saya yang sesungguhnya.

Seminggu saya meninggalkan kamar saya. Seminggu itu pun saya bertemu teman-teman lama, dan teman-teman baru. Mereka yang dulu ada tidak selamanya ada buat kita, mereka yang telah pergi belum tentu akan kembali, mereka yang baru datang belum tentu tidak bisa menolong. Apa yang dianggap buruk ternyata masih banyak hal buruk di luar sana. Lantas mau membiarkan diri berguling-guling di atas kasur saja? Bukannya Islam mengajarkan untuk berhijrah?

Saya mulai berpikir, oke, apapun yang telah terlewati sekeras apapun saya menangis tak akan membuat diri saya mengembalikan gelas yang pecah menjadi utuh. Mengubah bubur menjadi nasi lagi, tidak! saya tidak bisa melakukan itu semua. Biarkan pecahan gelas menjadi pemanis di taman biarkan nasi yang telah jadi bubur dijadikan bubur terenak, diberi lauk ayam, kacang, kerupuk dan sebagainya.

Saya memang bukan mahasiswa yang rajin, saya bukan anak yang penurut. Lantas mau seperti itu terus? Saya adalah diri saya yang sekarang bukan yang kemarin. Jadi biarkan saya untuk mulai menjadi anak yang penurut dan menjadi seseorang yang rajin untuk menekuni apa yang sudah saya pilih. Menjadi pengusaha dan penulis lepas.

Saya tidak mau lagi berusaha agar orang lain di luar sana melihat saya. Saya berhenti bermain social media. Menutup telinga akan komentar-komentar kasar mengenai diri saya.

Salah satu cara untuk menyembuhkan depresi dan gangguan BDP saya adalah dengan menerima diri saya kembali, bersyukur apa yang telah saya miliki, keluarga, kesempatan rezeki yang masih saya terima dari Allah. Saya memulai semuanya dengan  memaafkan diri saya sendiri terlebih dahulu dan alhamdulillah bulan Ramadan masih ada. Menjadi waktu yang paling tepat untuk saya memaafkan diri saya di hadapan Allah yang Maha Pengasih. Waktu yang tepat untuk hijrah.

Terima kasih Allah, Engkau telah memberikan hidayah pada saya, memberikan kesempatan untuk merenung dengan melihat kesibukan orang-orang di luar sana.

(vem/nda)
What's On Fimela