Mantan Suami Menyebar Fitnah Kejam Tentangku, Kuberusaha Tegar demi Anakku

Fimela diperbarui 24 Mei 2018, 13:45 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Bercerai membuatku menjadi seperti orang yang tidak punya arah dan tujuan. Aku berusaha untuk terlihat tegar di depan semua orang, tapi sebenarnya aku terluka dan rapuh.

Aku sebenarnya orang yang selalu menjaga komunikasi, baik itu menyenangkan atau tidak. Tapi yang telah dilakukan mantan suamiku terlalu menyakitkan untukku. Aku sudah bilang sebelumnya, aku tidak akan menghalangi dia bertemu anak-anakku, asal aku tetap hadir di sana. Aku tidak mau orang lain mempengaruhi yang tidak-tidak kepada anak-anakku. Tapi dia malah mengirim wanita yang dulu menjadi selingkuhannya kepadaku untuk mengambil anak-anakku. Aku sampai mengamuk ketika itu. Aku tidak lagi mempercayai mantan suamiku, meski dia adalah ayah dari anak-anakku.

Setelah itu dia malah semakin menjadi mengintimidasiku. Mungkin karena saat itu dia melihatku yang begitu rentan dan rapuh, jadi dia merasa menang jika membuatku terpuruk dan ingin mati. Benar, saat itu aku merasa ingin mati saja. Sampai semua orang heboh menelpon dan mengunjungiku demi melihat keadaanku. Tapi saat itu juga mantan suamiku mengumumkan kepada orang-orang bahwa aku adalah “Drama Queen” yang suka mencari perhatian. Untuk dikasihani katanya. Ya Allah... aku sampai depresi berat ketika itu karena kata-kata dan sikapnya yang begitu menyakitkan untukku.



Padahal aku tidak pernah mau menerima uang dari teman-temanku. Mereka sendiri yang mencari tahu nomor rekeningku untuk membantuku. Ada yang sampai mencari online shop milikku yang lama tidak kubuka, lalu dia memesan sesuatu demi mengetahui nomor rekeningku. Saat dia membayarkan barang yang dia beli dariku, dia melebihkan pembayarannya. Ingin aku kembalikan uang itu, karena aku tidak mau fitnah yang disebarkan oleh mantan suamiku terlihat nyata. Bahwa aku hanya mencari perhatian agar dikasihani dan mendapat bantuan. Tapi temanku meyakinkanku bahwa tidak semua orang terpengaruh oleh fitnah mantan suamiku. Hal itu cukup membesarkan hatiku. Bahwa aku masih memiliki teman.

Sebenarnya, aku mau saja menerima bantuan dari teman-temanku, asalkan bantuan itu berbentuk tawaran pekerjaan yang bisa kukerjakan untuk menafkahi anak-anakku. Karena semenjak beberapa bulan sebelum perceraian, mantan suamiku sudah tidak lagi memberi kami nafkah. Sedangkan aku kesulitan untuk bekerja, karena anak-anakku masih kecil-kecil. Belum bisa aku tinggal. Kalau kutitipkan di daycare, habislah gajiku untuk menitipkan mereka.

Sebenarnya beberapa pekerjaan pun pernah aku lamar. Tapi, saat wawancara, mereka mengetahui kondisiku yang memiliki tanggungan yang cukup berat, dikhawatirkan aku tidak bisa membagi waktu dan mengganggu pekerjaanku, jadi setiap lamaranku ditolak. Aku sampai bingung harus berbuat apa. Andai saja beberapa temanku ada yang bisa memberiku pekerjaan yang dapat aku kerjakan, berapa pun gajinya. Tapi nyatanya mereka pun masih merintis dalam usaha dan karier. Sehingga tidak banyak yang dapat mereka lakukan untukku.



Akhirnya aku pulang ke rumah ibuku. Di sana, bukannya membaik, aku semakin tertekan dengan apa yang dilakukan ibuku. Aku bingung dengan diriku, tapi aku juga lebih bingung kepada ibuku. Selama di rumah ibu, ibu sering menyindir-nyindirku sebagai parasit yang tidak bisa berdiri sendiri, yang hanya bergantung pada orang lain. Ibu juga sering menghubungi mantan suamiku agar dia mau menafkahi kami. Katanya, ibu nggak berkewajiban menafkahi kami. Memang benar sih, tapi apa ibu tidak mengerti juga apa yang terjadi kepada kami?

Ibu sampai memohon kepada mantan suamiku untuk kembali rujuk denganku agar aku kembali dinafkahi olehnya. Aku bingung, kalau saja maksud ibu melakukan tindakan itu atas dasar keutuhan rumah tangga, atau apa lah alasan yang baik, mungkin aku akan jadi anak yang manut atas perintahnya. Tapi yang ibu maksudkan melakukan itu adalah hanya karena ibu tidak ingin terbebani oleh kehadiran aku dan anak-anakku. Lalu apa yang dilakukan mantan suamiku? Dia menolak tawaran ibu mentah-mentah. Dia mengumbar semua borokku di depan ibu dan banyak orang di sana. Dia bahkan sesumbar kepada teman-teman kami bagaimana ibuku memohon-mohon kepadanya. Membuatku semakin terlihat seperti wanita yang hina.

Aku hanya bisa menangis selama berbulan-bulan ini. Itu adalah fitnah yang sangat kejam. Aku seperti menjadi orang yang terusir dari sana sini. Setiap orang seperti menjauhiku. Aku tidak mempunyai lingkungan pertemanan lagi. Hanya segelintir orang yang masih mempercayaiku yang masih mengajakku berbincang dan menghiburku. Yang lainnya, hanya memandangku seperti kotoran yang menjijikkan.



Pernah suatu hari aku menjalin komunikasi dengan teman mantan suamiku. Saat itu aku ingin meminta bantuannya untuk mengambilkan barang-barangku yang ada di mantan suamiku. Bukan barang-barang berharga, hanya saja itu bisa kujadikan peralatan untuk aku berjualan makanan dan minuman selama Ramadan. Tapi teman mantan suamiku seperti enggan melakukannya.

Jujur saja, aku masih labil. Apalagi setelah perlakuan yang begitu menyakitkan yang dilakukan mantan suamiku kepadaku. Aku marah kepadanya, aku mengatakan bahwa aku menafkahi anak-anakku sendirian. Bahkan orang-orang yang diutangi oleh mantan suamiku menagih ke rumah ibuku. Jadi aku yang telah membayar utang-utangnya. Namun orang itu balas mencacimakiku dan membela mantan suamiku dan selingkuhannya.

“Satu pertanyaan," katanya. “Untuk siapa mantan suami kamu berutang kayak gitu?”
Aku hanya bisa menangis dan membanting handphone ketika aku membaca kalimat itu. Bukan karena aku terharu lantaran dia melakukan sesuatu untukku, tapi aku mencium sumber fitnah lain dari perkataannya. Kenapa dia bisa sampai menumpuk utang? Itu karena dia sendiri tidak mau bekerja!

Sedangkan yang namanya punya bayi, apalagi dua bayi sekaligus, pasti kebutuhan membeli popok, membeli susu, dan kebutuhan lainnya itu tidak bisa dibendung bukan? Dan semakin beranjak besar, anak-anak semakin mengerti jajan. Mereka sudah mempunyai keinginan untuk membeli sesuatu, yang jika tidak dituruti akan menimbulkan masalah dan berdampak buruk bagi pertumbuhannya.

Lalu yang membuatku semakin menyakitkan adalah, jadi, lantaran utang itu untuk kebutuhan anak-anakku, lantas dia menyerahkan semuanya kepadaku? Di mana tanggung jawabnya sebagai seorang ayah?

Dengan masih dirundung emosi, aku membalas pesan orang itu. “Ya, bela saja dia terus. Kamu memang benar,” kataku. “Bagaimanapun, kamu dari pihak mereka, jadi apapun yang mereka lakukan selalu benar. Dan apapun yang saya lakukan selalu salah," lanjutku.
Tapi dia malah memberikan balasan yang sangat mengejutkan. “Mereka tidak salah,” katanya.

Jadi, di hari itu untuk kesekian kalinya aku gagal meminta barang-barangku kembali. Bukan hanya itu, aku jadi menorehkan luka baru dari permasalahan ini. Aku bingung, kenapa semua orang berpihak kepadanya? Kenapa bisa aku sehina itu di mata mereka? Sampai mereka tidak lagi memandang aku sebagai perempuan, apalagi yang sedang mengurus anak-anak, sampai mereka tega berbicara semenyakitkan itu kepadaku.

Rencanaku untuk bisa berbisnis di bulan Ramadan gagal sudah. Bukan hanya karena tidak memiliki modal dan peralatan, tapi juga karena pikiranku yang sedang kacau. Aku hanya bisa kembali merenung dan menangis di sebuah bilik kecil tempat aku menginap di rumah ibu. Semua yang dilakukan oleh mantan suamiku benar-benar kelewatan.



Dia tidak menyerang fisikku, tapi melukai mentalku habis-habisan. Dia menyebarkan fitnah yang terlihat seolah nyata, agar semua orang ikut menyerangku, mengucapkan kata-kata menyakitkan itu di hadapanku. Ingin sekali aku mendatangi tempatnya dan mengobrak-abrik semua yang ada disana. Ingin aku membakar tempatnya yang ada sekarang ini. Karena tempat itu pernah menjadi impian kami bersama. Tapi aku sungguh tak berdaya. Aku hanya bisa mencurahkan semua itu kepada Tuhan. Berharap keajaiban datang dari-Nya.

Di malam itu, saat aku meringkuk lemah dalam tangisku, aku seperti merasakan belaian tangan Tuhan kepadaku. Anak-anakku sudah tertidur di kamar sebelah yang lebih luas. Aku membaca Al-Qur’an dan beberapa buku bacaan lain dengan penerangan lampu seadanya. Aku merenungi sesuatu.

Selama ini, setiap kali aku menerima serangan darinya, aku hanya bisa menangis penuh emosi. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin saatnya aku melepaskan semuanya. Aku mengintip anak-anakku yang sedang tertidur. Ya Tuhan, aku memiliki mereka. Dan satu hal yang Tuhan lindungi dariku adalah aku tidak pernah benar-benar balas dendam kepada mantan suamiku. Aku seringkali memiliki pikiran jahat untuk membalasnya, tapi aku tidak pernah benar-benar melakukannya. Aku bahkan tidak pernah membicarakan hal-hal yang buruk tentang ayahnya kepada anak-anakku. Meski sulit, saat ini aku hanya bisa memasrahkan hidupku kepada Tuhan. Mengubur semua rasa benci yang hanya menjauhkanku dari-Nya, dari pertolongan-Nya.



Mungkin yang orang lihat dariku adalah mereka masih melihatku seperti wanita yang linglung tidak punya tujuan. Tapi sebenarnya aku sudah mulai bisa fokus untuk menggapai tujuanku. Aku menawarkan diri kepada ibu untuk mengurus peternakan bebeknya selama beliau sakit. Kebetulan aku juga mengenal beberapa pengusaha pecel lele yang juga menawarkan bebek dan ayam goreng. Sehingga aku bisa cepat menyesuaikan diri dengan pekerjaan itu.

Jujur, banyak orang yang kasihan melihatku mengurus bebek begini. Bagiku, mereka hanya tidak tahu berapa banyak keuntungan yang diperoleh dari beternak bebek. Bekerja tidak harus selalu di balik meja kantor bukan? Bahkan dengan mengurus bebek ibuku aku jadi bisa tetap bersama anak-anakku, mereka bahkan senang karena bisa bermain sambil menemani ibunya bekerja di peternakan. Selain itu, hubunganku dengan ibu jadi membaik. Ibu juga jadi ada yang mengurus selama beliau sakit.

Terima kasih mantan suamiku yang sudah memberikan jalan ini untukku. Semoga kau bahagia, dan berhenti dengan kebohongan juga fitnah-fitnahmu. Aku sudah memaafkanmu.



(vem/nda)