Suami Pergi Saat Aku Hamil, Kupilih Cerai dan Fokus Membesarkan Putraku

Fimela diperbarui 24 Mei 2018, 11:15 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Rasanya lelah jika harus mengingat masa lalu. Tetapi memberikan inspirasi bagi banyak orang adalah sebuah keharusan. Ah... entah menginspirasi atau tidak yang jelas aku ingin menulis, aku ingin corat-coret, aku ingin merangkai kata, aku ingin orang mampu mengambil hikmah dari setiap kisah hidupku ini.

Mungkin yang tak mengenalku, menganggap ceritaku ini seperti sinetron, atau seperti kisah FTV yang penuh dengan deraian air mata. Aku adalah anak pertama dari 4 saudara, ayahku adalah seorang pegawai HRD yang bekerja di sebuah perusahaan besar di kotaku, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga tulen yang hampir tiap hari waktu hidupnya untuk mengurusi keempat buah hatinya ini.

Terlahir sebagai anak pertama membuatku harus berpikir secara realistis dan tak menyusahkan orangtuaku. Apalagi aku telah lulus kuliah, maka satu-satunya dan yang aku pikir paling tepat adalah menikah. Saat memikirkan menikah itu usiaku masih 21 tahun, dan yang aku pikirkan adalah jika aku menikah, maka ada yang membiayai hidupku apalagi aku dengar ayahku akan resign dari perusahaan tempat beliau bekerja karena mulai tak tahan sikap atasannya.

Keputusan menikah tanpa didasari bekal ilmu yang banyak membuatku cukup tertekan. Dan mengandalkan berbekal hanya pernah mengurusi adik-adikku yang membuat aku berpikir mudah menikah itu, apalagi aku sedang mengandung buah hatiku yang pertama. Bukannya meringankan beban orangtua justru aku membuat beban baru dalam hidup keluargaku.

Laki-laki yang kukira dapat melindungi dan mampu memberikan tanggung jawab yang baik untukku justru menyakiti hidupku. Saat usia kehamilanku mencapai 7 bulan, aku justru ditinggal begitu saja setelah paginya mengantarkan aku bekerja di sebuah sekolah negeri di kotaku. Nomor handphone-nya pun tidak aktif, teman-temannya pun saat kutanya, tak ada yang tahu keberadaannya. Entah tak tahu atau pura-pura tak tahu, aku pun tak paham.



Campur aduk hatiku, aku yang tengah hamil tak boleh banyak berpikir yang membuatku stres. Setelah kepergiannya itu meninggalkan luka yang begitu sangat dalam buatku, hampir tiap malam aku menangis, aku putus asa dan terbesit untuk mengakhiri hidup.

Jujur, hingga saat aku memutuskan untuk menulis kisahku ini, aku tak pernah paham mengapa dia langsung tiba-tiba meninggalkanku dalam keadaan hamil. Apa karena semalam sebelum dia meninggalkanku, aku menemukan pesan di inbox dari seorang perempuan di Facebooknya atau ada penyebab lain yang sampai saat ini aku tak pernah mengetahuinya. Meski tak sekali dua kali dia berlaku seperti ini kepadaku.

Aku selalu menerima apapun yang dilakukannya padaku, bahkan hampir tiap malam dia meninggalkanku sendirian di rumah dan dia lebih memilih tinggal bersama dengan temannya yang dulu satu kost dengannya. Aku yang selalu mengalah, saat dia memilih menghabiskan waktu bersama temannya ketimbang memanjakan aku yang sedang hamil.

Perjuanganku melahirkan buah hatiku tanpa sosok suami berada di sampingku. Bagaimana hatiku? Remuk redam berkeping-keping, tapi aku harus kuat untuk buah hatiku. Di saat semua wanita di sampingku melahirkan bersama suaminya, saat tangan suami memegang kepala dan mengusapkan kepala sambil mendoakan istrinya, aku hanya mampu meneteskan air mata, aku hanya lirih dalam doa untuk menguatkan diriku sendiri yang saat itu ditemani ibu dan saudara tiri perempuan dari ayahku, di ruang bidan ibuku tegang menyaksikan kelahiran buah hatiku. Ditambah saat itu, napasku tak panjang. Hingga bidan menawarkan aku ke rumah sakit untuk operasi, seketika aku menolak.

Aku tak ingin menambah beban orangtuaku lagi. Selain biaya rumah sakit yang tak murah, akupun memikirkan siapa yang merawatku di rumah sakit. Allah begitu cinta padaku dan buah hatiku, tepat tanggal 22 Agustus 2011 pukul 10.00 WITA, lahirlah ke dunia anak laki-laki yang sampai saat ini menjadi alasan aku untuk bertahan hidup. Anak laki-laki yang selalu  mampu menyejukkan hati bundanya. Anak laki-laki yang menjadi alasanku untuk banyak belajar lagi tentang hidup.

Tepat saat buah hatiku berumur tiga bulan, aku memutuskan untuk menggugat cerai laki-laki yang tak bertanggung jawab itu, ditemani ayah dan adik laki-lakiku. Tak banyak yang aku pikirkan saat itu, aku hanya ingin status yang jelas untuk menjalani hidupku bersama buah hatiku. Aku tak memikirkan masalah harta atau apapun itu.



Aku memang nekat sekali melakukannya, karena pikirku apalagi yang harus aku harapkan dari laki-laki seperti dia. Benar dugaanku, meski sering kali dia mengancam via SMS kepadaku, kebetulan waktu itu aku tak pernah mengganti nomor ponselku. Tetapi saat panggilan sidang perceraian dia tak pernah datang. Aku bersyukur karena sidang perceraianku tak berlangsung lama. Allah sangat permudah, dan aku yakin ini adalah jalan terbaik untukku dan buah hatiku. Dan sejak saat itu aku memilih untuk tidak mencari tahu laki-laki yang tak bertanggung jawab itu, aku juga tidak menuntut masalah biaya hidup anakku, aku mencoba untuk memaafkan apa yang ia lakukan tetapi aku tak akan pernah melupakan rasa sakit yang telanjur dia semai dalam hidupku.

Aku memilih fokus memperbaiki internal hidupku, aku lebih memilih untuk mengurusi anakku, aku lebih memilih membahagiakan mereka yang telah banyak membantuku dan sekaligus evaluasi diri atas apa yang terjadi dalam hidupku. Aku tak ingin menyalahkan keadaan, menjadi single parent di usia yang masih sangat muda bukan impianku. Tetapi tetap maju dan menata hidup bersama buah hatiku adalah sebuah keharusan buatku.

Saat aku mulai mampu menata hidupku, saat aku mulai percaya dengan sosok laki-laki. Saat aku mulai mampu berdiri. Saat aku mulai mampu  bahagia dan tersenyum kembali setelah hidupku mengalami hal yang begitu menyakitkan. Allah memberikan ujian kembali dalam hidupku, ujian yang begitu menyakitkan, ujian yang membuatku kembali menangis di setiap malam. Hingga aku mengatakan dalam hatiku, “Allah, tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan?"

Menerima kenyataan bahwa sosok laki-laki yang selalu kubanggakan, yang selalu tampak sempurna adalah penyebab hancurnya hidup keluargaku. Semua terasa melelahkan buatku, apalagi selalu kudapati ibuku tersayang selalu menitikkan air mata untuk laki-laki tersebut. Ayahku selingkuh dengan rekan kerja di tempatnya yang baru, ayahku berhasil menikahi janda beranak satu dan menjandakan ibuku yang beranak empat. Kenyataan pahit yang kembali harus aku terima dari laki-laki yang begitu aku banggakan dan aku cintai.



Aku harus kembali menata hati dan sikapku, agar aku tak tampak emosional di depan anakku yang mulai menginjak umur tiga tahun. Aku yang berusaha tampak selalu tersenyum, meski batin ini menjerit.

Ayahku yang tak pernah kembali. Ayahku yang tak ingat anak-anaknya. Ayahku yang mulai tak bertanggung jawab sepenuhnya seperti dahulu. Tetapi aku memilih untuk berdamai pada hatiku, aku yang keras kepala dan sering kali terpancing emosi kini harus lebih bijak menyikapi keadaan.

Aku memilih untuk tidak mempermalukan perempuan itu, perempuan yang telah mengambil segalanya dari hidupku. Harta, cinta, dan kebahagiaan kehidupan keluarga kami. Aku memilih untuk menguatkan hati ibu dan adik-adikku, ketimbang harus beradu fisik dan argumen demi mempertahankan ayahku.

Aku memilih menata masa depan adik-adikku, ketimbang harus menuntut hak kami sebagai anak. Aku hanya ingin menguatkan mereka dari internal keluarga, saling memotivasi untuk kehidupan yang lebih baik. Aku seperti sengaja membiarkan ayahku hidup bersama pelakor itu, aku selalu dianggap tak sayang ayahku karena keputusanku ini. Dan hingga kisah ini kutuliskan ayah dan mantan suamiku tak pernah menengok keluarga ini.

Semoga kisahku ini mampu memberikan inspirasi bagi perempuan yang senasib denganku. Kita hanya perlu menguatkan hati kita, agar mampu melawan kerasnya hidup. Kita hanya perlu selalu menata hati kita, agar mampu bersikap tenang meski banyaknya cobaan yang hadir dalam hidup kita. Dan, sibuklah menghadirkan dan memberikan kebahagiaan ketimbang harus mengharapkan kebahagiaan dari orang lain.

(vem/nda)
What's On Fimela