Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Dua tahun lalu.
Musim hujan di penghujung Desember.
Hujan kembali mengguyur kota ini dengan deras. Kali ini tanpa jeda. Membuat orang-orang malas untuk beraktivitas. Hari ini adalah hari minggu, aktivitas buntu sejak siang tadi. Mungkin hanya aku yang menikmati sore ini dengan hujan yang terus menderas. Butirannya berjatuhan saling berburu dengan waktu. Lalu menciptakan irama tik-tik di genteng kosanku yang luas. Penghuni kos yang lain memilih untuk berhibernasi.
Biasanya mencuci baju adalah aktivitas berjamaah yang dilakukan di hari minggu, tetapi dengan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan penghuni kos berjamaah pula memilih tidur ala ular. Hanya Tita tetangga kamarku yang terjaga, itupun karena harus menampung tetesan air hujan yang membasahi sebagian lantai kamarnya. Plafon kamarnya bocor. Sudah diberitahukan pada ibu kos, tetapi belum juga ada tindak lanjut dari beliau. Ah, pergerakan ibu kos hanya cepat diwaktu menagih sewa bulanan saja, begitu gerutu Tita saat meminjam kain pelku tadi.
Aku menikmati hujan ini dengan secangkir teh hangat dan beberapa potong pia cokelat kacang, sembari memandang jendela kamarku yang berkabut. Semakin kupandang semakin berkabut. Sadar, kali ini bukan karena uap hujan yang menambah kabutnya, tetapi matakulah yang telah dihiasi butiran bening. Satu persatu butiran itu berjatuhan, mencoba berlomba dengan tetes air hujan yang mulai mereda. Tangisku teredam oleh bunyi lemah tetes air hujan dan nyaring nyanyian kodok selokan.
Hujan adalah hal yang biasa bagi sebagian orang, tetapi bagiku definisi hujan bukan sekadar tetesan air rahmat dari langit. Bagiku selalu ada rindu bersifat polar yang terselip di setiap tetesannya, kenangan pada genangan airnya, juga perasaan membuncah bak petir yang tak bisa aku artikan. Kau di sana sedang apa? Bisikku pelan. Kali ini aku tak bisa menahan perasaanku lagi. Punggungku bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi hendak pecah. Ah, terkutuklah hujan ini, gerutuku dalam tangis berbalut rindu.
Hujan tak perlu meminta maaf padaku untuk hadirnya yang selalu membuatku menangis, untuk dinginnya yang kubalut dengan rindu dan kenangan. Karena bukan hujan yang salah, tetapi dirikulah yang salah dalam menyambutnya. Sama seperti dirimu, lelaki baik yang tak akan ditolak oleh wanita manapun.
Yah, tak ada yang salah padamu, kau tak perlu meminta maaf meskipun kutahu kau memang tak akan pernah meminta maaf. Bukanlah salahmu telah membuatku jatuh cinta. Bukanlah salahmu membuatku menjadi berharap. Aku hanyalah wanita biasa, sama seperti wanita lain yang begitu luluh dengan akhlak baikmu, dengan pesona yang bahkan tak perlu kau tebar. Ini adalah hujan yang kesekian kalinya, dengan episode rindu dan kenangan. Dan selalu saja kau pemeran utamanya.
Tentangmu dan hujan.
Desember berbalut hujan kala itu, di saat pertama kali aku bertemu denganmu. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan air di beberapa bagian jalan. Aku yang melangkah dengan riang tak sadar akan kecepatan mobil yang kau kemudikan. Mobilmu melewati genangan air itu tepat di sampingku dan air itu sempurna mengenai bajuku. Bukan hanya bajuku yang basah, bahkan kantong kresek berisikan makanan ringan yang kubeli di kios ikut basah semua.
Belum sempat kalimat caci maki itu keluar dari bibirku, kulihat mobilmu berhenti. Kau pun turun dan segera meminta maaf padaku. Saat itu kau tak sendiri, kau dengan ibumu. Perasaan jengkelku padamu berubah jadi iba, melihat dirimu yang tertunduk diam diomeli ibumu. Aku telah memaafkanmu saat itu. Untuk kesalahan pertama yang kau lakukan di pertemuan kita yang pertama.
Pertemuan kita yang kedua terjadi tiga hari pasca kejadian kecipratan air hujan itu, pertemuan yang tak kuduga sebelumnya. Pertemuan ini pula yang menjadi cikal bakal aku menaruh hati padamu. Saat itu aku mengikuti sebuah seminar akbar di kampusku, seminar ini dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Aku yang tiba lebih awal, memilih untuk duduk di kursi baris depan.
Saat seminar berlangsung aku tak pernah menduga bahwa yang akan menjadi pemateri seminar adalah kau. Setelahnya aku baru tahu, bahwa kau adalah lelaki yang dikagumi oleh banyak kaum hawa. Riwayat pendidikanmu sangat membanggakan. Kau meraih gelar S1 mu dengan predikat cum laude dan wisudawan terbaik, S2 kau dapatkan di salah satu universitas terbaik di luar negeri, dan sekarang kau telah bekerja pada sebuah perusahaan ternama dengan gaji yang fantastis. Tak heran ruangan seminar riuh saat peserta hawa tahu kau belum menikah, bahkan belum punya pasangan. Yah begitulah pertemuan kita, berkonsep tak terduga.
Takdir seolah mendekatkan kita. Setelah dua pertemuan yang tak terduga sebelumnya, kita akhirnya sering bertemu. Entah karena kita sering dipertemukan dalam event yang sama atau sekadar karena kita punya hobi yang sama di bidang fotografi. Waktu terasa berlalu begitu cepat, setahun perkenalan kita aku mulai merasakan ada hal yang berbeda.
Aku tahu kau pun sinonim denganku. Kita cukup dewasa untuk bisa mengartikan perasaan ini. Tak perlu menjalin hubungan seperti anak muda kebanyakan. Cukup dengan kau selalu ada di sisiku itu sudah memberikan penjelasan bagaimana letak posisiku di hatimu. Kupetik sari pati indahnya jatuh cinta kala itu. Bahkan, aku tak butuh pengakuanmu.
Sikapmu padaku lebih dari cukup dari kata yang kuharapkan terlontar dari lisanmu. Semua terasa begitu indah kala itu, ditambah aku bisa meraih gelar sarjanaku tepat waktu, meskipun tidak mendapatkan gelar cum laude sepertimu setidaknya aku bangga bisa lulus tepat waktu.
Kau adalah alasan di balik kebahagiaanku, hingga akhirnya warna kebahagiaan itu harus luntur saat aku mendapatkan kabar yang semestinya menjadi kabar bahagia untukku. Kau tahu bagaimana aku menangis saat orangtuaku memintaku pulang karena ada lelaki lain yang hendak dijodohkan denganku.
Aku tahu lelaki itu adalah lelaki yang baik. Dia juga calon imam idaman. Tetapi kau telanjur menempati posisi strategis di hatiku. Sebaik apapun lelaki itu, bagiku tak akan mampu menggantikanmu. Kau tahu bagaimana sulitnya aku menyampaikan penolakanku pada orangtuaku. Dan kau tahu penolakan ini dapat saja diterima jika ada alasan yang syar’i saat itu.
“Jika kau sudah punya calon imam yang lain bapak setuju membatalkan pernikahan ini, tetapi jika penolakanmu tanpa alasan yang dapat diterima maka pernikahan ini akan terus dilanjutkan." Aku menghubungimu untuk memberitahu kabar bahwa aku telah dilamar lelaki lain dan juga penolakanku padanya. Bahkan aku memberitahumu ultimatum bapakku. Aku sangat berharap kau dapat menangkap sinyal yang kukirimkan kala itu.
Tetapi nyatanya kau terlalu pesimis duluan, apa yang kuterima adalah ucapan selamat darimu. Kau tersenyum seolah bahagia akan kabar pernikahanku. Ingin rasanya aku berteriak didepanmu bahwa aku tak menginginkan pernikahan ini terlebih dengan lelaki lain. Bahwa aku membutuhkan pengakuanmu, hingga kau dapat kujadikan alasan syar’i penolakan pernikahan ini. Tetapi hal itu tak mungkin terwujud untuk lelaki pesimis sepertimu dan wanita gengsi nan naif sepertiku.
Akhirnya kisah cinta tanpa pengakuan yang kita lalui selama dua tahun memang sudah harus ditutup. Setelah proses lamaranku, kau menelepon. Tak lain untuk mengabarkan kabar gembiramu yang mendapat beasiswa S3 di salah satu universitas di Birmingham West Midlands, Inggris.
Aku mengucapkan selamat dan kau bilang terima kasih. Di akhir telepon kau meminta maaf, karena tak bisa hadir di acara pernikahanku. Kau tahu, bukan karena sinyal buruk sehingga sambungan teleponmu terputus, tetapi karena aku sengaja matikan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Tangisku seketika pecah, mengapa kau meminta maaf untuk hal yang tak kuingingkan?
Dua tahun berlalu.
Ini sudah penghujung Desember, mungkin kau di sana sedang menikmati salju dan aku sedang menikmati hujan dibalik jendela kamarku yang berkabut. Kudengar kabar terakhirmu kau sedang sibuk dengan tugas akhir disertasimu. Sebentar lagi gelar doktor akan kau peroleh. Sebagai sahabat yang sempat khilaf jatuh cinta padamu, bolehkah aku memintamu pulang tahun ini. Kumaafkan dirimu yang tak hadir di pesta pernikahanku, tetapi ini adalah acara aqiqah anakku.
Pulanglah. Aku ingin mengenalkanmu pada anakku. Pulanglah. Kau tak perlu meminta maaf, bukan kau yang salah, bukan pula takdir yang salah. Tetapi murni di sini aku yang salah. Aku yang dulu terlalu berharap dan berlebihan mengartikan kebaikanmu padaku. Tak ada lagi yang salah, karena yang salah adalah aku dan aku telah memaafkan diriku. Sekarang tak ada yang perlu disesali, semuanya telah baik-baik saja, semenjak hujan tak lagi kusambut dengan tangisan, melainkan nyanyian anak-anak untuk menidurkan putriku yang lucu.
- Ikhlas Lepaskan Barisan Para Mantan, Temukan Pria yang Lebih Baik Kemudian
- Kurelakan Dirimu Bahagia di Pelukan Wanita Pilihan Ibumu
- Menyimpan Dendam dan Benci Tak Akan Membuat Hidup Ini Lebih Baik
- Kunjungi Ayah Selama Ia Masih Hidup, Jangan Sampai Menyesal Sepertiku
- Fisik Tak Sempurna Bukan Penghambat Jodoh, Aku Justru Menikah Tanpa Pacaran
(vem/nda)