Aku Mencintai Pria yang Sudah Berkeluarga

Fimela diperbarui 23 Mei 2018, 09:45 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku mengenalnya lima tahun lalu, teman kerja di sebuah perusahaan swasta nasional. Kami tidak pernah bertemu muka selama setahun pertama karena berbeda lokasi kantor. Komunikasi kami hanya melalui email, telpon, dan IP messenger. Dan berlanjut ke salah satu aplikasi chat demi tujuan pekerjaan. Kesan pertamaku tentangnya biasa saja, dia orang yang manis saat butuh sesuatu. Hanya itu.

Aku mengutuk perselingkuhan dalam bentuk apapun dengan alasan apapun. Karena, aku juga adalah korban perselingkuhan antara ayah dan istri-istrinya yang lain selain ibu. Tidak pernah terpikir bahwa suatu saat aku akan hampir terlibat dalam perselingkuhan. Bahwa aku akan mencintai pria yang sudah berkeluarga.

Di tahun kedua aku mengenalnya, kami mulai lebih akrab. Setiap hari kami mulai bertegur sapa meskipun tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Dia mulai seperti memiliki kewajiban untuk memberi kabar meski aku tidak bertanya. Dia panik saat lupa menelepon atau chat karena kesibukannya. Dia mulai bercerita banyak hal. Tentang dirinya, keluarganya, keluh-kesahnya di kantor, ketakutan-ketakutannya, dan perasaan-perasaannya tentang segala hal. Aku mendengarkan apa saja yang dia ceritakan. Kadang aku memberikan saran. Seperti suatu hari dia memarahi anak pertamanya yang tak mau pergi ke sekolah. Dia berkata bahwa dia merasa gagal menjadi ayah yang baik. Hal itu dia ceritakan melalui email begitu dia sampai di kantor.



Hingga suatu hari, keadaan kami berdua sama-sama terpuruk.

Keluargaku kacau balau. Aku merasa tak punya rumah untuk pulang. Hubungan asmaraku dengan lelaki beda agama kandas. Di kantor, aku menghadapi banyak tekanan pekerjaan. Aku marah dan depresi.

Dia pun tak jauh beda. Di kantor dia juga banyak menerima tekanan pekerjaan. Dia pernah dimarahi atasannya selama tiga jam tanpa putus. Lalu tak lama dia jatuh sakit. Ketika sakit itu, ayah mertuanya masuk rumah sakit. Dia dan keluarganya waktu itu sangat sibuk. Tapi masih sempat memberiku kabar. Kemudian anak-anak dan istrinya satu per satu jatuh sakit. Sedangkan di kantornya, pekerjaan semakin banyak, mengharuskan dia sering pulang malam bahkan dini hari. Dan suatu hari dia berada di titik terparah stresnya.

Pagi itu, dia mengajukan cuti, tapi dari rumah tetap berangkat seperti biasa. Dia mengabariku di tengah perjalanannya, meminta untuk menemaninya menghabiskan hari. Kami pun bertemu di sebuah mall besar. Aku izin sakit hari itu.



Semua perasaannya tumpah ruah. Seharian itu dia bercerita. Suaranya bergetar. Ada kesedihan yang dia tahan. Matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia menahan diri untuk tidak menangis. Naluriku ingin merengkuh pria di hadapanku itu, membiarkannya menangis sepuas-puasnya. Tapi aku hanya mendengarkan dengan sabar.

“Aku tidak bisa cerita tentang perasaanku kepada istriku sendiri. Aku merasa asing.”

Sejak hari itu, antara kami berdua telah berbeda. Aku menemukan kenyamanan tanpa penghakiman dari sosoknya. Dia menemukan tempat untuk bercerita tanpa merasa asing. Kami berdua saling membutuhkan satu sama lain. Kami mulai mencari-cari waktu untuk bertemu. Layaknya kekasih, setiap hari kami saling berkabar.

Teman-teman dekatku mengetahui bahwa aku dekat dengan pria yang sudah berkeluarga. Mereka bersikukuh agar aku segera lepas darinya, mencari kebahagiaan lain tanpa merusak kebahagiaan keluarganya. Mereka terus mengingatkanku. Bahkan mereka mengenalkanku dengan beberapa pria. Tapi aku bergeming. Ya, aku tahu aku salah. Aku juga tahu rasanya kebahagiaan anak yang dihancurkan oleh perselingkuhan. Tapi tidak segampang itu melepaskan diri. Karena sosok itu telah menjadi seperti rumahku untuk pulang.

Pria itu pun menyadari kesalahannya. Kami berusaha melepaskan diri dari satu sama lain sebelum kami berdua lebih jauh melewati batas-batas. Tapi tidak semudah yang kami bayangkan. Kami mulai menyibukkan diri dan mengurangi komunikasi. Tapi sering kami gagal karena rasa rindu yang kami punya. Sampai akhirnya aku tutup semua celah komunikasi. Aku mulai intens mendaki gunung demi melupakannya. Dan terputuslah hubungan kami berdua.

Setelah hampir dua tahun tidak berkomunikasi, sebulan yang lalu, aku memimpikannya. Aku lupa, aku belum menegaskan kepada diriku sendiri untuk benar-benar mengakhiri perasaan-perasaanku ini terhadapnya. Karena selama dua tahun ini aku masih hidup di bawah bayang-banyangnya. Kuberanikan diri menanyakan kabar. Lalu kami sepakat bertemu di sebuah stasiun setelah pulang kerja.



Di stasiun, dia berjalan sambil mencari-cariku. Aku melihatnya dari kejauhan. Ingin aku berlari menghambur ke arahnya lalu memeluknya, bahwa betapa dua tahun ini aku menahan rindu secara tak sadar. Tapi yang kulakukan hanya melambaikan tangan. Hanya sebentar kami bertemu. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Kami pulang ke arah yang berbeda. Aku melihat keretanya telah berangkat. Semakin jauh dan semakin jauh. Dalam hati, aku mengakhiri segalanya. Aku melepaskan dan mendoakannya.

“Semoga kamu dan keluargamu selalu bahagia, Mas.”

(vem/nda)