Jangan Menangisi Pria yang Tak Kembali, Air Matamu Terlalu Mahal Untuknya

Fimela diperbarui 22 Mei 2018, 17:00 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Menjalin hubungan dengan jangka waktu dua tahun lebih kurasa bukan sesuatu yang main-main. Di situ ada komitmen yang harus dipenuhi. Di situ ada rencana masa depan yang ingin diraih.

Saya bukanlah seseorang yang berpengalaman di ranah asmara. Semasa sekolah menengah hingga awal-awal kuliah, paling mentok kisah asmara saya adalah ditolak pria yang saya sukai. Lebih banyak lagi cerita tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin karena tampilan fisik saya pada masa-masa remaja memang tidak menarik dan lebih banyak belajar sehingga kekurangan bergaul.

Di masa-masa sendiri itu, saya kerap kali berandai-andai, bahwa jodoh saya ada di masa depan, sedang menanti saya dengan caranya sendiri, sedang berusaha memperbaiki dirinya seperti saya yang juga sedang memperbaiki diri saya di sini. Kami hanya belum bertemu saja.

Kemudian, di tahun terakhir saya kuliah, hidup saya kedatangan seorang pria. Datangnya tiba-tiba. Ia adalah teman dari teman saya, melihat foto saya di media sosial, kemudian tidak sengaja bertemu di toko buku. Mulai malam itu, ia rajin berkirim chat untuk memastikan saya baik-baik saja. Ia seperti tahu bahwa saya sedang menanti, dan sebelum menjalin komitmen, ia juga sempat menyatakan keinginannya untuk menikah lebih cepat dari rencananya setelah bertemu dengan saya. Saya tentu teramat senang, mendapati sosok baik-baik yang baik pula latar akademis serta keluarganya.



Kami kemudian saling mengenal. Pergi ke tempat-tempat terbaik di kota. Saya diboncengnya kemanapun. Dia datang menjadi pendamping wisuda saya. Saya hadir menjadi pendamping wisudanya. Saya dikenalkan dengan orangtuanya. Saya mengenalkan orangtua saya. Kami menjadi terlalu dekat. Ketika terlalu dekat itulah, saya merasa jika lebih lama lagi kami bersama, saya tidak akan menolak jika dia ingin berbuat apa saja pada saya. Saya kemudian menanyakan keseriusannya setelah dua tahun kami bersama. Toh, di awal perkenalan, dia sempat menyebutkan ingin menikah cepat.

Tapi kami sadar, kami sama-sama tak di posisi yang bisa menikah cepat. Kami mungkin siap secara psikis, namun bekal kami kurang. Saya belum bekerja, ia pun menganggur 3 bulan semenjak pekerjaan terakhirnya. Kami tidak bisa menikah. Saya tidak ingin berdosa. Saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan saya dengan dia. Sambil sedikit berharap dia kembali. Dalam hati kecil saya saya selalu berharap dia berubah, serius mencari pekerjaan, dan kembali pada saya. Saya saat itu yakin jika memang dia benar-benar cinta dan jodoh saya, dia akan kembali.

Tapi tidak, dia tidak kembali.



Hanya berselang dua bulan setelah putus, dia menggandeng kekasih lain. Wanita ini. Wanita yang dahulu ketika saya masih bersama lelaki saya, selalu berusaha mendekati lelaki ini. Bukan satu-dua kali saya menangis karena dirinya. Entah itu terlalu banyak berkomentar di media sosial, minta difoto berdua, minta jalan berdua. Cuma wanita ini yang terlalu kurang ajar tidak bisa menjaga dirinya di hadapan lelaki yang sudah memiliki kekasih. Saya kira, setiap wanita perlu menjaga diri ketika berhubungan dengan lelaki yang sudah memiliki pasangan.

Saya geram. Intuisi saya sewaktu masih bersama ternyata benar. Saya tidak bisa percaya ada seorang wanita menganggap seorang lelaki teman jika lelaki tersebut diajak jalan berdua di hari ulang tahun sang wanita tanpa meminta izin pada saya. Kurang ajar. Saya marah besar. Saya depresi hingga turun berat badan 10 kg, tidak bernafsu makan maupun tidur.

Satu bulan lamanya saya bersedih berkepanjangan. Walau tidak berpikir untuk mengakhiri hidup, saya sempat merasa linglung, tidak ada niat menjalani hidup, dan setiap hari hanya menangis-tidur-menangis-tidur saja.

Tapi kemudian saya berpikir, saya tidak bisa terus begini. Saya ingat almarhumah ibu saya pernah bercerita bahwa ia pernah putus dari mantannya, lalu membatasi diri untuk bersedih 7 hari saja. Mantannya tidak pernah berhak mendapatkan lebih dari itu.

Saya kemudian mulai menghubungi teman-teman terdekat saya. Bercerita. Mengadu. Berkeluh-kesah. Meminta nasihat. Saya masih ingat salah satu teman saya sampai menasihati, sudah makan belum? Sudah mandi belum? Sudah shalat belum? Hal-hal basic yang sudah lama tidak saya lakukan untuk diri saya sendiri.

Bisa dibilang, saya menjalani hidup dengan merangkak susah payah saat itu, saat orang lain berlari meraih impiannya. Impian saya hancur dibawa sang mantan.

Adalah waktu dan orang-orang terdekat yang mengobati luka saya.



Jika saja Tuhan tidak mengirim orang-orang yang selalu ada di samping saya, memperhatikan saya ketika mulai kembali down, mengajak saya untuk tegar dan mengingatkan bahwa hidup tidak berhenti saat putus cinta, saya mungkin sudah gila saat ini. Tapi tidak, Tuhan dengan sabar menunggu saya menyadari bahwa ini hanyalah bagian hidup yang harus dijalani, dan hidup saya tidak berakhir saat harus menyaksikan wanita yang saya curigai dulu kini menjadi kekasih mantan saya.

Kuncinya saya rasa satu: mengikhlaskan.
Dan itu butuh waktu. Berbeda-beda tiap orang. Buat saya, sampai sekarang, setengah tahun setelah putus, saya pun masih berusaha mencoba ikhlas.

Mungkin memang saya bukan jodohnya. Mungkin memang dia akan lebih baik bersama wanita itu. Mungkin jodoh saya akan lebih baik. Entahlah, rencana Tuhan memang selalu misterius, tapi itu pasti yang terbaik.

Membenci wanita ini hanya akan membuat saya terus merasa sakit, semakin depresi, dan semakin sedih. Saya akhirnya memutuskan untuk berhenti stalking media sosial mereka berdua. Saya menampar diri untuk terus fokus pada hidup saya, fokus pada pengembangan diri saya. Saya ingatkan diri saya, membenci tidak akan menuntaskan masalah. Saya sudah lelah membenci dan ingin mengikhlaskan saja.

Ramadan kali ini saya sendiri. Saya juga masih bingung bagaimana menjawab pertanyaan kerabat nanti saat bertanya tentang pacar saya yang dahulu. Namun satu yang pasti, saya masih terus berusaha lagi dan lagi, berusaha mengikhlaskan.


                                                                     


(vem/nda)
What's On Fimela