Aku Jujur Mengatakan Ini, Pernikahan Dini Memang Seharusnya Tak Kupilih

Fimela diperbarui 22 Mei 2018, 13:45 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku menikah di usia muda, 17 tahun bagiku masih terlalu dini untuk memulai sebuah hubungan serius apalagi sampai ke jenjang pernikahan. Desakan orang tua yang menginginkan kehidupanku yang jauh lebih baik, mau tak mau membuatku menuruti sebuah perjodohan.

Selama dua tahun kami berta'aruf. Selama itu pula kita menjadi saling mengenal, meski kuakui belum sepenuhnya. Waktu berlalu begitu cepat, hingga di tahun 2016 lalu, ia resmi meminangku menjadi istrinya. Tidak ada acara besar-besaran, kami memang sudah merencanakan acara pernikahan berlangsung sederhana.

Hal yang tak pernah kusangka-sangka terjadi, di mana aku merasa belum sepenuhnya siap menjadi seorang istri. Aku dituntut menjadi sosok wanita dewasa yang mengerti pekerjaan ibu rumah tangga. Tak jarang kata-kata tak mengenakkan keluar dari keluarga baruku, yang merasa bahwa aku tak becus. Aku tinggal di rumah orang tua suamiku, yang hanya ditinggali ibu mertuaku. Hal itu membuatku mengalah, dan akhirnya kuputuskan untuk tinggal dengan mereka di tempat yang bagiku masih terasa asing.



Hari-hari berjalan normal. Seperti biasa sehabis salat subuh, aku biasa mandi pagi. Mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci dan beres-beres. Itu terjadi setiap hari, dan aku tidak akan mengeluh soal itu. Namun yang membuatku kembali merasakan sesak, ketika lagi-lagi mereka membahas akan kekuranganku.

Menjadi seorang introvert nyatanya adalah sebuah aib. Sifatku yang lebih banyak diam tak banyak bicara justru menjadi bahan olokan keluarga baruku. Sakit? Tentu. Di saat suami yang kuharapkan dapat mengerti tentangku, nyatanya adalah salah satu orang yang paling vocal menyuarakan kekurangan yang ada di diriku. Tak jarang, aku menangis dalam diam setiap kali mereka berbicara di belakangku. Sejujurnya aku lelah, lelah jika harus berpura-pura tidak tahu. Menyesal pun aku tidak tahu apa itu akan membawa perubahan atau tidak.

Semuanya sudah terjadi, minta cerai? Aku akan dianggap bocah labil, kekanakan jika berani melakukannya, apalagi di mata mereka, itu hanyalah masalah sepele. Aku benar-benar tidak nyaman, tapi sebisa mungkin aku berusaha tegar. Aku yang diam, menjadi topeng untuk menghalau berbagai celaan yang terlontar tanpa pernah tahu rasa sesak di dalam batinku ini.

Sudah dua tahun lebih kami menikah, sudah selama itu pula kami berdua belum dikaruniai keturunan. Jujur, aku mendambakan kehadiran buah hati di tengah keluarga kami. Namun di sisi lain, aku juga sebenarnya belum sepenuhnya siap. Aku sadar betul betapa besarnya tanggung jawab sebagai orangtua. Tidak cukup hanya memenuhi sandang pangannya, kami juga harus menjadi tauladan baik bagi anak.

Setiap kali ditanya akan momongan, aku hanya bisa memasang senyum tipis. Dulu, mungkin aku akan merasa pertanyaan itu bagai momok menakutkan, namun lambat laun aku mulai terbiasa. Bukan lantaran aku tak peduli... melainkan aku berusaha untuk menerima segala sesuatu yang ada dalam hidupku.

Allah yang kuyakini, menjadi Tuhan satu-satunya, membuatku tersadar. Ayat-ayat Al-Qur'an kembali menuntunku, menunjukkan banyak hal yang kurasa terabaikan selama ini. Mungkin aku tak cukup baik dalam membaca kitab suci itu, tapi sebisa mungkin, aku mencoba memahaminya sedikit demi sedikit. Satu hal yang sekarang aku tanamkan dalam hati ini, bahwa Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluk-Nya, dibanding diri ini sendiri. Mungkin memang belum saatnya bagi kami memiliki anak, dan mungkin itu cara Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Dia berhak melakukan apa saja, sesuai apa yang dikehendaki-Nya, berbeda denganku, yang hanya manusia biasa.



Kini aku mulai menyadari banyak hal. Di usiaku yang sekarang, begitu banyak yang terlewati. Di usia 20 tahun, waktu berlalu dengan cepatnya, aku mencoba mengingat rentetan peristiwa yang kini hanya mampu dikenang. Aku memang tidak ingat masa kecilku, hanya sebagian dan sisanya terlupakan.

Aku jujur mengatakan ini. Pernikahan dini, memang seharusnya tak kupilih, jika akhirnya aku harus mengorbankan masa mudaku. Masih banyak yang belum tercapai, dan aku mengakui ini. Bahkan penyesalan terbesarku adalah, ketidak mampuanku membalas jasa-jasa kedua orangtuaku. Aku belum berhasil membahagiakan mereka dengan jerih payahku. Miris, jika melihat keadaanku di sini. Aku begitu patuh pada keluarga baruku, hingga terkadang aku mengabaikan kedua orang tuaku. Aku mulai merasakan kesedihan, kenapa dulu, aku tidak bisa bersikap lebih baik dan hormat pada mereka. Rasanya aku ingin sekali bisa kembali ke masa lalu, guna memperbaiki semua yang telah kuperbuat. Tapi... apakah itu mungkin?

Menjadi pribadi lebih baik, dan lebih baik lagi, mungkin itu salah satu cara yang bisa kulakukan. Aku mencoba berkata jujur padanya, pada suamiku yang terlampau sering meremehkan kemampuanku. Hal yang harusnya aku lakukan dari dulu. Aku tak ingin mengatakan ini sebuah keterlambatan, aku bersyukur Allah masih memberiku kesempatan. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya melihat diri sendiri, aku tak ingin menjadi wanita egois yang peduli pada perasaannya sendiri dan mengabaikan perasaan orang lain.

Bukankah tiap orang memiliki dua sisi? Begitu juga dirinya, aku sadar diri. Aku memang masih dini untuk bisa memahami arti cinta dalam pernikahan. Dia bukanlah sosok yang buruk, di mataku dia adalah orang yang paling peduli padaku. Semua yang ia lakukan demi kebaikanku, walau terkadang dia tak cukup pandai dalam menyampaikannya. Berperan sebagai kepala keluarga, tentu sangat besar tanggungannya.

Semua yang terjadi hari ini, aku percaya semua atas kehendak Allah, aku tak tahu apa rencana-Nya, yang pasti sekali lagi aku tekankan Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Ini sepenggal kisahku, cerita sederhana yang mampu membuatku belajar setitik arti kehidupan.




(vem/nda)