Ayah Selalu Punya Hati Sekuat Baja Memperjuangkan Kesuksesan Anak-Anaknya

Fimela diperbarui 22 Mei 2018, 10:45 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Saya adalah anak pertama dari 8 bersaudara, ibu berasal dari suku Jawa sedang bapak berasal dari Buton Sultra. Saat kecil kami tinggal di sebuah tempat yang terkenal di kampung tetangga dengan nama "saung seng" dari bahasa bogoryang berarti gubuk beratapkan seng. Sebuah tempat terpencil tanpa tetangga yang jauh dari keramaian hiruk pikuk jangankan kota bahkan kami harus menempuh 1 km untuk mencapai warung kelontong kampung.

Saung seng meski berada di tengah sawah sebatang kara, cukup ramai dihuni kakak beradik yang saling berinteraksi dari mulai bercanda hingga bertengkar. Sesekali saya merindukan kehidupan kota yang ramai penjual dan ragam kemegahan seperti halnya sepupu sepupu kami yang di Jakarta berayahkan seorang PNS. Tapi meski begitu saya bersaudara termasuk anak-anak yang tumbuh bahagia bermain dengan alam, berlampukan lampu semprong dan lampu kelenting yg terbuat dari toples beling kecil atau kaleng susu bekas yang dilubangi untuk sumbu api dan diisi minyak tanah.



Semua itu tak menyurutkan tekad kami untuk giat belajar dan mengaji, kebetulan ayah kami seorang guru ngaji. Berada dekat dengan lampu sumbu membuat hitam bulu hidung tapi seingat saya kami tak pernah bersedih meski hidup berkekurangan. Tak ada TV atau media hiburan lainnya sesekali ada radio baterai yang berkali kali diservis untuk sekadar mendengarkan drama radio, Qashidah sore hari atau berita.

Daerah sekeliling kami pangkalan penambangan pasir dan hamparan sawah yang luas, diselingi dengan kolam kolam ikan dan kebun kangkung ada juga kobak-kobak bekas galian yg dipenuhi air tempat kami belajar berenang. Ayah bekerja serabutan mulai dari memelihara kambing, ayam, bertani sedangkan ibu kami mengelola kangkung dari kebun yang dijajakan oleh anak anaknya dalam tampah keliling kampung. Sesekali kami menggali pasir di sungai-sungai yang melintas untuk mencari tambahan penghasilan.

Kenangan yang membahagiakan saat kecil adalah duduk di bawah bulan purnama di teras rumah sambil menangkap kunang kunang atau mengobor ( mencari ikan dan belut dengan obor atau lampu petromak di malam hari) juga berada di depan tungku meniup-niup api agar tetap menyala. Tapi ada yang lebih membahagiakan dari itu semua yaitu rutinitas mendengarkan cerita nabi-nabi dan perjuangan hidup masa lalu bapak mengarungi lautan sebagai pelaut dan budaya Buton yang sama sekali berbeda dari mulai kehidupan suku bajo yang tinggal di atas air laut sampai budaya tarian sepak kampung lia wanci tempat kelahirannya. Dalam ceritanya terselip nasihat dan hikmah kehidupan serta nilai-nilai perjuangan untuk bertahan hidup serta keimanan sebagai benteng setiap perbuatan.



Itulah yang memotivasi kami untuk semangat bersekolah dan berprestasi yang mengilhami kami untuk hijrah menuju takdir yang lebih baik. Kami terus melaju mencapai pendidikan yang lebih tinggi meski terhalang keterbatasan dana. Di setiap langkah kaki yang ditempuh untuk berbakti baik itu untuk urusan belanja atau untuk sekolah, khayalan untuk melihat dunia lain yang lebih luas terus melambung. Salah satunya menuntut ilmu di negeri arab. Waktu terus berlalu hingga tiba saatnya saya lulus madrasah aliyah, kutagih janji ayahku yang kadung berjanji menyekolahkan aku kemanapun kumau yang penting rangking pertamaku tak pernah berubah dari semester satu.

Bagi beberapa kerabat cita-citaku ini mustahil bahkan saat mereka bertanya padaku kemana pendidikanku akan lanjut saat kujawab ke Cairo mereka mencemooh dan nyinyir dengan mengatakan, "Memangnya kamu mau pakai apa ke sana? Batu, pasir, arang?" kata-kata ini cukup menyakitiku tapi ia juga melecutkan semangat mengubah nasib yang semakin berkobar.

Aku semakin semangat berjuang untuk keluar dari keterbatasan hidup ini. Bapak semakin giat bekerja menyambi jadi hansip pun ia jalani demi meluluskan cita citaku belajar di Universitas Al Azhar Cairo Mesir. Sepetak tanah dijual untuk ongkos pesawatku. Hingga suatu malam Bapakku dengan suara bergetar menyuruhku mencium tangannya 7 kali bolak balik.

Ternyata dia baru saja menagih mati-matian upahnya dari tuan tanah yang dijaganya bertahun tahun. Ya, tanah yang kami tempati adalah tanah bekas pabrik batako press jadi posisi bapak kami adalah penjaga tanah dan peralatan pabrik yang jika tidak dijaga, pabrik dan batas-batas tanah tidak akan aman. Tapi sayang sang direktur perikanan yang tak pernah membayar upah jaga bertahun tahun begitu berat untuk membayar sàat ditagih. Tapi karena doa shalat malam yang tak pernah henti, puasa sunnah  dan keteguhan bapak yang bolak-balik menagih Bogor Jakarta akhirnya dibayar juga namun dengan cara yang menyakitkan.

Uang 700 ribu rupiah dilemparkan dengan cara dihamburkan tanda tidak ikhlasnya. Bapakku memungutinya lembar demi lembar dengan hati hancur menimbang antara harga diri dan mewujudkan harapanku yang keras, itulah mengapa ia menyuruhku mencium tangannya 7 kali.



Seiring waktu berjalan aku menyelesaikan pendidikan sekarang sudah bekerja menjadi Dosen dan Penyuluh Agama di sebuah kota di Sulawesi bersama suami yang sama-sama menamatkan pendidikan di luar negeri. Begitupun adik adik kami, mereka mendapatkan pekerjaan yang layak setelah berjuang membiayai kuliah sendiri dengan mengajar privat keliling dan berdagang buku dari bus ke bus dan kereta Jakarta Bogor atau menjadi tukang bekam keliling.

Alhamdulillah kini kami bersaudara mempunyai pekerjaan tetap. Sebaliknya tokoh-tokoh hedonis yang ada dalam cerita kami memiliki anak-anak yang rapuh mentalnya karena kemanjaan yang tak semestinya. Beberapa di antaranya memohon kami untuk minta dicarikan pekerjaan untuk anak-anaknya yang menganggur.

Alhamdulillah berkat kebesaran hati dan kebersihan hati. Kami dianugerahkan jiwa yang istiqamah oleh yang Maha Kuasa hingga berbuah kebaikan dan keberkahan hidup yang banyak. Hingga saat ini kami bersaudara bahu membahu membahagiakan Ayah dan bunda sebisa mungkin. Kini mereka sudah berhaji dan sudah melaksanakan umrah. Rumah lama kami sudah berada di tengah komplek perumahan yang cukup baik.



(vem/nda)