Trauma karena Mengalami Pelecehan Membuatku Jadi Wanita yang Berbeda

Fimela diperbarui 21 Mei 2018, 19:30 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Aku pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan. Aku mengalami pelecehan yang dilakukan oleh guruku sendiri. Kejadiannya sudah cukup lama, waktu aku duduk di bangku SMP. Saat itu aku sedang mengikuti kegiatan Pramuka. Ada kegiatan perkemahan untuk pelantikan pengurus Pramuka, aku mengikutinya.

Saat itu kondisiku sedang kurang sehat. Aku mengalami sesak napas sejak baru sampai di lokasi perkemahan. Aku istirahat di tenda sementara yang lain mengikuti kegiatan hiking. Tiba-tiba seorang guru pembina Pramuka sekolahku datang ke tendaku.

“Kenapa?” tanya dia sambil mengecek keningku. Aku menghindarinya.
“Nggak tahu, tadi waktu di truk mual pengen muntah, terus nggak jadi. Eh turun dari truk tiba-tiba sesak napas,” kataku.
“Oh, masuk angin kayaknya. Sebentar bapak ambilin obat dulu,” katanya.

Guru itu keluar dari tendaku. Di luar tenda, kudengar dia seperti sedang berbincang dengan seseorang. Sepertinya ada yang sakit juga di tenda laki-laki. Aku berharap bisa keluar dari tenda dan bergabung dengan siswa laki-laki itu. Aku takut jika guru itu melakukan hal yang tidak-tidak kepadaku. Karena beliau dikenal suka jahil kepada anak perempuan. Tapi aku juga malu kalau ternyata siswa laki-laki itu bukan orang yang aku kenal. Tak lama, guru itu kembali ke tendaku.

“Nih, minyak kayu putih. Diolesin di perut dan dada ya," katanya.
Aku membalikkan badanku untuk membalurkan minyak kayu putih itu agar tidak terlihat olehnya. Namun tiba-tiba dia sudah berada di belakangku, merebut minyak kayu putih itu dengan paksa. Dia lalu memercikkan minyak kayu putih itu ke tangannya, dan hendak mengoleskannya ke perutku. Aku menghindar dan berlari ke sisi lain tenda. Namun dia menarik tanganku dengan kasar. Hampir saja dia menyentuh daerah sensitifku, beruntung aku berhasil menendangnya hingga terpental ke luar tenda. Setelah itu dia pergi, entah kemana.

Aku menangis sejadi-jadinya. Kututup mulutku untuk meredam suara tangisku. Aku takut suaraku terdengar oleh warga yang suka berlalu lalang melewati tenda kami. Aku takut akan mencoreng nama baik sekolahku jika warga tahu bahwa ada seorang guru yang melakukan tindak pelecehan kepada muridnya sendiri dalam kegiatan perkemahan di sekolahku. Bagaimana kalau karena kejadian itu kegiatan perkemahan dihentikan? Atau orangtua murid tidak mengizinkan anaknya mengikuti kegiatan Pramuka gara-gara kejadian yang menimpaku? Karena itu aku lebih memilih bungkam. Aku hanya berharap teman-teman yang sedang hiking segera kembali. Agar aku tidak sendirian. Kuusap tangisku, kuatur napasku dan mencoba bersikap biasa.

“Hai, ada orang?” teriakku ke arah tenda laki-laki. Tak ada sahutan dari dalam tenda.
“Hallooo,” kataku lagi. Namun tetap tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang tidur atau sedang berada di luar tenda.

Aku kembali ke tendaku, kututup seluruh badanku dengan selimut. Aku meringkuk duduk di sudut tenda dengan sisa tangis yang masih tersisa. Tak lama, saat azan Ashar berkumandang, teman-temanku yang sedang hiking telah kembali. Susah payah kusembunyikan tangisku. Namun tetap saja ada yang menyadari kalau ada sisa tangis di mataku. Kubilang saja itu karena tadi aku merasa sangat sakit.

“Tadi sesak banget dadanya, sampe susah bernapas,” kataku. “Tapi sekarang udah mendingan.”
“Mau ke rumah sakit nggak? Takutnya tambah parah,” kata temanku.
“Nggak usah, udah mendingan kok. Kayaknya habis ini juga sembuh,” kataku.



Aku sengaja tidak memberitahu temanku karena aku takut akan menjadi masalah yang besar. Bagaimanapun, guru itu punya keluarga yang harus dia nafkahi. Kalau dia dipecat, kasihan keluarganya mau dikasih makan apa?

Di sekolah, aku seperti menjadi orang yang berbeda. Aku sering menyendiri di perpustakaan. Biasanya saat jam istirahat aku bergabung dengan teman-temanku nongkrong di kantin. Namun kali ini rasanya perpustakaan adalah tempat yang cukup damai buatku. Sahabat dekatku, sebut saja namanya Isma, menghampiriku di perpustakaan.

“Kamu kenapa?” katanya. “Kok udah jarang gabung sama kita lagi sih?” tanyanya.
Aku berusaha menunjukkan ekspresi tegar. “Nggak apa-apa, Isma.”
“Ya udah, nanti pulang sekolah dateng rapat Pramuka, ya," katanya.
Aku tidak bisa menahan tangisku mendengar kata Pramuka. Isma keheranan.

“Tuh, kan, pasti ada apa-apa. kenapa? Cerita sama aku,” katanya.
Aku menggelengkan kepala. “Kalau aku keluar aja dari Pramuka gimana?” kutanya.
“Jangan dong... emangnya ada apa sih?” Isma meminta penjelasanku.

Namun aku tetap bungkam. Isma memelukku. Dia menghargaiku jika aku masih belum mau cerita. Namun Isma berjanji akan selalu ada di sampingku jika aku membutuhkannya.

“Kalau udah siap, cerita ya. Aku selalu sedia untuk mendengarkan cerita kamu,” kata Isma.
“Iya,” jawabku sambil mengusap tangis.
“Ya udah, sekarang ke kelas yuk. Habis itu kita datang rapat Pramuka. Nggak apa-apa, ada aku,” bujuk Isma.

Sepulang sekolah, aku dibimbing Isma ke sebuah kelas tempat rapat Pramuka diadakan. Kami mengetuk pintu kelas itu. Sudah penuh dengan anggota Pramuka yang lain ternyata. Aku duduk di bangku paling belakang agar tertutup oleh teman-teman yang lain. Aku tidak siap bertemu dengan guru pembimbing Pramuka kami.

Rapat itu diselenggarakan untuk pembagian tugas divisi kepada seluruh pengurus Pramuka yang kelak akan membimbing adik-adik kelas satu yang diwajibkan mengikuti kegiatan Pramuka. Seluruh divisi sudah diisi oleh teman-teman yang lain. Tinggal satu divisi yang masih kosong. Pratama Pramuka kami (Semacam pemimpin Pramuka tingkat Penggalang) kebingungan mencari siapa yang akan mengisi divisi itu. Semua orang sudah mengisi posisi yang ada. Tinggal aku yang masih belum mendapatkan tugas. Divisi terakhir yang belum terisi itu adalah divisi absensi, yang bertugas mengabsen kehadiran pengurus dan peserta dari kelas satu selama kegiatan Pramuka berlangsung. Tiba-tiba Isma berteriak sambil menunjukku. “Dia aja... belum dapet tugas tuh,” katanya.

Tiba-tiba guru pembimbing Pramuka itu terbelalak menyadari kehadiranku. Dia tampak kegirangan.
“Oh iya, Tati ya, belum dapet tugas tuh. Nah cocok, divisi absensi. Biar rajin dia datang Pramukanya,” kata guru itu.

Aku hanya terdiam pasrah ketika pemimpin Pramuka kami menuliskan namaku mengisi divisi absensi. Dalam hati, aku masih merasakan kesal kepada guru itu. Melihatnya terasa menjijikkan. Mana aku mendapatkan tugas yang mengharuskanku rajin datang kegiatan Pramuka pula. Tuhan... tak bisakah Engkau musnahkan saja orang itu dari muka bumi?

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar tragis dari guru pembimbing Pramuka itu. Dia mengalami kecelakaan lalu lintas saat pulang mengajar. Sepertinya kecelakaan yang cukup tragis, sampai dia mengalami koma. Teman-teman dan guru-guru di sekolahku banyak yang berencana menjenguk dia di rumah sakit. Termasuk Isma. Isma memang bisa dibilang cukup dekat dengan guru itu. Sepertinya orangtuanya mengenal guru itu. Orang tua Isma memang cukup terpandang, dia dikenal di kalangan guru-guru. Pantas jika meskipun Isma lebih cantik dariku tapi dia tidak mengalami pelecehan seperti yang kualami, mungkin karena guru itu cukup menghormati orangtua Isma.

Beberapa hari kemudian, kami mendengar kabar guru itu meninggal dunia. Isma menangis. Sepertinya dia sangat terpukul dengan kepergian guru itu.

“Kemarin aku baru aja mimpi didatangi dia. Dia ngasih nasihat supaya aku nggak nakal di sekolah,” kata Isma sambil terisak.
Aku memeluknya. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku sedih melihat Isma dan teman-teman lain yang terlihat begitu terpukul dan kehilangan. Ah Tuhan, baru saja kemarin aku meminta kepada-Mu untuk melenyapkannya dari muka bumi. Sekarang, dia benar-benar lenyap dari muka bumi. Tapi aku merasa seperti ikut merasakan kesedihan yang teman-temanku rasakan.

Kami pergi melayat ke rumah duka. Di sana, aku melihat anak dan istrinya dengan mata sembab bekas tangis. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau mereka tahu suaminya pernah melakukan tindakan keji kepada muridnya sendiri? Ah biarlah, aku sudah menutup dalam-dalam kejadian itu. Tidak pernah ada yang tahu tentang kejadian itu kecuali aku dan Tuhan.

Sepulang takziah, aku pulang ke rumah Isma. Isma mencurahkan kesedihannya kepadaku. Namun aku tidak bisa lagi memendam kejadian itu dari Isma. Setelah Isma terlihat tenang, aku menceritakan detail kejadian itu kepadanya. Isma kaget.
“Kenapa nggak cerita dari dulu?” kata Isma.
“Aku takut, Ma.”
Isma memelukku. “Iya aku ngerti gimana perasaan kamu. Tapi harusnya kamu cerita aja sama aku. Kamu tahu kan, aku nggak akan ember,” kata Isma.

“Tapi aku juga mau bilang makasih ya sama kamu. Kamu udah baik banget meski kamu udah diperlakukan tidak menyenangkan seperti itu. Kamu masih mau menjaga nama baik bapak itu. Kamu masih memikirkan nasib keluarganya. Kamu baik banget," lanjut Isma.



Isma lalu melepaskan pelukannya. Dia mencium keningku. “Sudah, sekarang, kamu lupain kejadian itu, ya. Kamu maafin dia ya. Takutnya bapak itu nggak tenang di kuburnya. Kasihan,” kata Isma.
Aku memejamkan mata, lalu menganggukkan kepala menyetujui permintaan Isma. Berat sebenarnya, tapi Isma benar. Aku harus memaafkannya.

Setelah kejadian itu, aku menjadi lebih waspada kepada laki-laki. Aku menghindari kontak fisik dengan mereka. Karena aku merasa yang laki-laki pandang dari perempuan itu hanyalah pikiran mesum yang menjijikkan. Terkadang aku memberikan penolakan yang ekstrem terhadap sentuhan laki-laki. Pernah suatu hari aku sedang lewat di jalan yang ada pangkalan becak di sana. Tukang becak itu sangat tidak sopan. Dia menggodaku yang sedang berjalan di depan becaknya.
“Hai cantik, mau naik becak?” katanya.
Aku merasa risih dengan sapaannya. Tiba-tiba ada tangan yang menarikku. Tak ayal langsung kukeluarkan jurus kepepetku. Kutarik kembali tangan itu dan memelintirkannya ke belakang tubuhnya. Namun setelah kulihat, tangan itu milik Isma. Isma meringis kesakitan dengan perlakuanku.

“Aw sakit...” teriaknya. “Kamu kenapa sih?” tanya Isma.
Aku langsung melepaskan tanganku. “Maaf maaf, Ma. Aku tadi digodain tukang becak soalnya,” kataku. Aku menggaruk rambut belakangku. Aku masih trauma, padahal aku sudah masuk SMA ketika itu. Namun menghilangkan bayangan mengerikan tentang tindakan tidak beradab itu sangat susah. Meski orangnya sudah tidak ada.

Isma menunjukkan wajah malasnya karena mendengar alasanku. Lalu dia mengajakku makan di sebuah kios bakso. Saat kami sedang makan bakso, tiba-tiba datang segerombolan anak muda dengan tampang yang urakan. Dia mencoba mengganggu Isma. Lalu kuhampiri sekelompok pemuda tadi.

“Hey! Jangan ganggu temanku!” tukasku. Anak-anak tadi tampak berhenti mengganggu Isma. Mereka pergi meninggalkan kami.
Isma menatapku kaget. “Makasih ya. Kok kamu bisa segalak itu sih?” katanya dengan masih menampakkan raut muka penuh tanya.
“Hehe...” aku tertawa.

Aku tidak tahu sifatku ini akan menguntungkan atau merugikanku. Tapi begitulah aku setelah mengalami kejadian itu. Aku merasa waspada yang berlebihan kepada laki-laki. Sampai sekarang pun kejadian itu masih meninggalkan jejak trauma yang membuatku tidak bisa menerima kedekatan laki-laki.

Suatu hari, aku pernah memesan ojek online. Tukang ojeknya dengan ramah melayaniku. Aku pikir itu adalah keramahan selayaknya yang diberikan oleh tukang ojek kepada pelanggannya, jadi aku tidak begitu khawatir. Sepanjang perjalanan, dia terus mengajakku mengobrol. Aku tanggapi sewajarnya saja. Aku sudah merasa tidak nyaman sebenarnya, karena biasanya aku sudah merasa risih duduk dekat-dekat dengan laki-laki.

Saat itu pun kuhalangi tempat dudukku dengan tas, agar aku tidak terlalu berdekatan dengan tukang ojek itu. Hingga saat aku sampai rumah, aku menerima pesan whatsapp dari tukang ojek tadi. Saat aku memesan ojek tadi, memang aku meneleponnya menggunakan ponselku. Dan dia pun mungkin tahu namaku dari daftar pesanan tadi. Dia menanyakan hal-hal tidak penting sampai aku merasa risih dibuatnya. Seperti,
“Hai lagi ngapain?”
“Udah makan belum?”
“Bangun, salat malam.”
“Terlalu sibuk ya sampe ga sempet balas?”

Aku jadi risih. Akhirnya aku yang terbiasa vokal mengutarakan perasaan tidak sukaku, aku membalas whatsappnya.
“Maaf mas saya tidak betah ada orang yang mengirimi saya pesan tidak penting seperti itu. Lagian itu nggak pantas. Kalau butuh bantuan tinggal bilang mau bantuan apa. Kalau ada yang penting tinggal kasih tahu kepentingannya apa. Jangan mengganggu seperti itu,” kataku. Akhirnya setelah itu driver ojek online tadi pun tidak pernah lagi menggangguku.

Aku menceritakan kejadian itu kepada Isma. Namun Isma tampak memandangku dengan tatapan sedih.
“Kamu masih belum memaafkan bapak itu, ya? Kamu masih trauma sama kejadian itu?”
Isma memelukku. “Maaf ya, aku nggak peka. Harusnya aku peka kalau kamu pasti tidak mudah melupakan kejadian itu. Kamu pasti akan trauma," katanya.

Aku terdiam. “Aku nggak tahu Ma. Tapi kayaknya terlepas dari trauma itu, aku juga pasti akan risih kalo ada orang asing menggangguku dengan pesan whatsapp beruntun seperti itu,” kataku.
“Iya, aku ngerti. Tapi, kalo aku, palingan langsung aku blokir aja nomornya, nggak perlu ngomong apa-apa. Kalau kamu sampai mengeluarkan kata-kata kasar begitu. Itu karena ada apa-apa sama kamu,” katanya. Aku terdiam.

“Mau ke psikolog?” tanya Isma.
“Ih ngapain?” kataku.
Sepanjang hari aku memikirkan perkataan Isma. Aku gelisah. Bagaimana dengan masa depanku jika aku terus dihantui perasaan trauma seperti itu? Malam ini sudah mulai tarawih, besok sudah mulai puasa. Aku harus melepaskan segala beban agar puasaku kali ini bisa lebih bermakna.



Akhirnya aku membuka sebuah grup di facebook yang berisi orang-orang yang terganggu secara mental. Ada psikolog di sana yang bisa diajak konsultasi secara gratis. Aku menceritakan tentang yang kualami.

“Laki-laki menggoda kita, mungkin karena kita sendiri memberikan peluang untuk dia melakukan itu. Seperti saat mbak (maaf) mengalami kejadian itu, mbak memberikan peluang dengan membiarkan dia masuk tenda mbak. Harusnya kalau mbak sendiri takut, mbak bisa keluar tenda, bergabung sama temen yang sakit itu. Atau jangan izinkan dia masuk tenda,” kata psikolog itu via chat facebook.

“Kalau yang driver ojek online itu, mbak sudah memberi peluang dengan menanggapi keramahan dia. Memang sih, kadang kita juga takut dikira sombong ya kalai diem aja, tapi kadang itu juga perlu. Untuk memberi ketegasan bahwa kita tidak tertarik kepadanya. Biarin aja kita dibilang sombong, toh kita konsumen, konsumen adalah raja bukan?” lanjutnya.

Hm, benar juga. Kataku dalam hati. “Wah makasih banyak ya mbak, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan sekarang,” kataku.
“Lalu gimana ya mbak untuk menghilangkan traumaku? Kan nggak bisa kayak gini terus juga. Kalau semua laki-laki takut kepadaku karena aku galak gimana?” kutanya.

“Kembali ke Tuhan, mbak,” kata psikolog itu. “Banyakin salat malam dan berdoa,” katanya lagi.
Aku tertegun. Benar juga, ada apa dengan salatku? Selama ini aku salat tidak benar-benar dengan hatiku. Aku hanya memenuhi kewajibanku saja.

Aku salat dengan dipenuhi hati yang gelisah, tapi tidak lantas kucurahkan kegelisahanku kepada yang Maha Mendengar Doa. Untungnya malam ini adalah malam pertama bulan Ramadan, di mana di sepertiga malam nanti aku harus bangun untuk sahur. Jadi sekalian aku tunaikan salat tahajud untuk meminta dan mencurahkan segala kegelisahanku kepada-Nya.

Malam ini terasa begitu damai untukku. Seolah semesta pun ikut terhanyut dalam untaian doa-doaku. Aku begitu segar bangun di pagi hari bulan Ramadan. Aku siap melakukan semua pekerjaanku tanpa rasa takut akan hal apapun. Aku membalas sapaan satpam kompleks dengan senyuman, tidak lebih. Mereka tampak kaget dengan aku yang terlihat ramah, tidak lagi seperti orang ketakutan. Bahkan aku meminta tolong kepada mereka untuk menjaga sepedaku selagi aku berangkat kuliah dan naik angkot dari depan kompleksku. Aku melakukan itu dengan mimik muka yang tegas, bukan dengan menunjukkan kelemahanku.

Ya, kepada setiap orang yang kutemui, aku berusaha untuk menyembunyikan kelemahanku dan menunjukkan keramahan lewat ketegasanku agar mereka tidak memperlakukanku semena-mena. Agar mereka tidak berani merendahkanku. Tidak seperti kemarin, aku hanya lebih banyak marah-marah, tapi itu hanya menunjukkan kelemahanku saja.

(vem/nda)
What's On Fimela