Agus Mutohar, Monash University
Rentetan aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia seminggu terakhir ini. Mulai dari aksi terorisme di rumah penahanan narapidana teroris di Markas Komando Brigade Mobil Depok Jawa Barat, kemudian serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur Minggu lalu, dan teror bom lainnya di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Puluhan korban tewas dan luka-luka.
Menyikapi rentetan tindakan teror tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan bahwa pemerintah akan membasmi terorisme sampai ke akar-akarnya.
Upaya serius Presiden Jokowi tersebut patut diapresiasi. Namun, permasalahan terorisme sangat kompleks karena tidak ada faktor tunggal yang bisa menjelaskan mengapa seseorang melakukan tindakan teror.
Pentingnya sekolah untuk mencegah radikalisme
Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah merebaknya terorisme di Indonesia adalah menggunakan lembaga pendidikan untuk menyemai tumbuh kembangnya sikap toleransi sehingga dapat menghentikan masuknya pemikiran-pemikiran radikal.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, sekolah-sekolah di Indonesia menjadi lahan tumbuh suburnya paham ekstremisme.
Survei terkini yang dirilis oleh beberapa lembaga seperti Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM) dan Setara Institute mengindikasikan terjadinya penyebaran ajaran intoleransi dan paham radikalisme di lembaga pendidikan di Indonesia.
Survei toleransi pelajar Indonesia yang dilakukan oleh Setara Institute pada 2016 menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham intoleran yang baru dalam tataran pemikiran, 2,4% persen sudah menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan dan 0,3% berpotensi menjadi teroris. Survei ini dilakukan atas 760 responden yang sedang menempuh pendidikan SMA Negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.
Survei dari Wahid Institute dan PPIM juga menunjukkan kecenderungan serupa yang mengkhawatirkan.
Baca juga: Cara Memperlakukan Anak Terduga Teroris
Karakter sekolah yang rentan
Pada 2017, saya terlibat dalam penelitian di 20 sekolah swasta Islam di Jawa Tengah untuk melihat upaya mereka dalam merespons paham radikal. Penelitian ini melibatkan akademisi dari Monash University, Australia, Universitas Islam Negeri Walisongo di Semarang, Jawa Tengah dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dengan dukungan dari Australia-Indonesia Centre.
Salah satu capaian dalam riset yang kami lakukan adalah kami berhasil mengidentifikasi tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham-paham radikal. Karena alasan prinsip penelitian dan kesepakatan dengan sekolah yang kami teliti, kami tidak akan merilis nama-nama sekolah yang kami teliti.
Tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham radikal dalam penelitian kami adalah:
Sekolah tertutup (closed schools)
Alih-alih menerima perubahan, ciri-ciri sekolah tertutup adalah mengajarkan sikap yang sempit dan cenderung menutupi ide-ide dan perkembangan dari luar.
Salah seorang kepala sekolah yang kami temui menjelaskan pentingnya menggunakan peradaban Islam (tsaqofah Islamiyah) sebagai benteng untuk melawan globalisasi Barat.
Selain membenturkan peradaban Islam dan Barat, sekolah yang mempunyai tipologi tertutup ini menekankan pentingnya praktik ajaran Islam versi mereka dan menolak versi Islam yang kebanyakan dianut oleh muslim di Indonesia.
Sekolah terpisah (separated schools)
Kedua, sekolah yang berisiko menumbuhkan ajaran radikal adalah tipe sekolah terpisah. Sekolah jenis ini bisa dilihat dari cara mereka merekrut guru dan partisipasi mereka dalam kegiatan sosial keagamaan.
Sekolah terpisah sangat ketat dalam proses perekrutan guru, terutama guru agama.
Berdasarkan data yang kami dapat, sekolah dalam kategori ini hanya akan merekrut guru agama dari kelompok mereka. Sekolah akan menggunakan rekomendasi dari jejaring mereka atau merekrut alumni yang mempunyai paham Islam yang sama. Selain itu, sekolah tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Sekolah jenis ini sangat berbeda dengan sekolah Islam lainnya yang menerapkan konsep terintegrasi (integrated schools). Beberapa sekolah yang berafiliasi dengan organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mempermasalahkan latar belakang kelompok Islam yang berbeda.
Salah seorang kepala sekolah dari sekolah NU misalnya menyatakan bahwa di sekolahnya terdapat guru-guru yang berlatar belakang Muhammadiyah. Sekolah-sekolah ini juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, termasuk mengikuti kegiatan antar agama.
Sekolah yang mengajarkan identitas Islam murni (schools with pure Islamic identity)
Tipe sekolah yang ketiga bisa dilihat dari cara sekolah mengkonstruksi identitas muslim. Sekolah yang berisiko menumbuhkan radikalime menjadikan Islam sebagai konstruksi identitas tunggal dan menolak identitas-identitas yang lain.
Hal ini berbeda dengan sekolah Islam yang lain yang cenderung mengganggap bahwa identitas sebagai muslim dan identitas lainnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sekolah Islam moderat biasanya tidak mempertentangkan identitas sebagai muslim dan identitas sebagai warga negara Indonesia.
Ketika sebuah sekolah memunculkan identitas muslim yang tunggal, sekolah tersebut menumbuhkan sikap radikal karena mereka hanya mempunyai penafsiran Islam tunggal sesuai dengan aliran mereka.
Kepala sekolah dari sekolah model ini biasanya menjelaskan bahwa semua siswa harus mengikuti semua ritual agama yang dianut di sekolah meski mereka berasal latar belakang organisasi Islam yang berbeda.
Sebuah pernyataan dari kepala sekolah yang kami temui misalnya mengatakan bahwa walau siswa berlatar belakang NU yang membaca qunut(doa ketika salat subuh), setelah masuk sekolah tidak boleh lagi mempraktikkan doa tersebut.
Praktik ini sangat berbeda dengan sekolah lain yang memberikan kewenangan kepada guru agama untuk memberikan keleluasaan siswa untuk melakukan qunut atau tidak.
Selain itu, identitas tunggal dan penolakan terhadap identitas-identitas lain cenderung memunculkan sikap “kami melawan mereka” atau ‘we versus them’ sehingga memunculkan upaya pengkotak-kotakan seperti muslim dan non-muslim bahkan antar sesama muslim yang memiliki penafsiran agama yang berbeda.
Baca Juga: Kiat Menghilangkan Trauma Anak Korban Bom
Apa yang bisa kita lakukan
Tiga tipe sekolah di atas memfasilitasi tumbuhnya sikap intoleransi dan paham radikal di lembaga pendidikan yang bisa berujung pada tindakan terorisme.
Oleh karena itu, rentetan teror bom yang terjadi akhir-akhir ini bisa dijadikan momentum pemerintah untuk merencanakan langkah proaktif untuk mempromosikan keterbukaan, keberagaman, integrasi sosial, dan konstruksi identitas yang beragam di sekolah-sekolah di tanah air.
Kampanye toleransi yang dilakukan oleh pemerintah akhir-akhir ini seyogyanya bisa menjangkau lembaga-lembaga pendidikan di tanah air lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Sekolah harus dibekali kerangka kerja dan program untuk menumbuhkan sikap moderat dan toleransi. Selain itu, Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama di daerah juga harus mampu mengidentifikasi sekolah-sekolah yang rentan terhadap radikalisme dan melakukan langkah persuasif untuk mencegah menyebarnya radikalisme di sekolah tersebut.
Agus Mutohar, PhD Candidate at Faculty of Education, Monash University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)