Cara Memperlakukan Anak Terduga Pengebom Mapolrestabes Surabaya

Fimela diperbarui 16 Mei 2018, 12:50 WIB

Tidak sampai hati dan pikiran kita ke kepala para terduga teroris Surabaya, Jawa Timur. Dalam tempo dua hari berturut-turut, Minggu (13/5) pagi dan Senin (14/5), terjadi ledakan yang melibatkan anak-anak di bawah umur.

Dalam kasus yang terjadi di Minggu pagi, pelakunya adalah satu keluarga yang terdiri dari Dita Oepriarto bersama istrinya Puji Kuswati melibatkan empat anaknya, yakni F (12), P (9), Y (18), dan F (16). Dita dan istrinya melilitkan bom di tubuh kedua anak terkecilnya hingga tubuh mereka tercerai-berai. Dikutip dari merdeka.com, mereka meledakkan Gereja St. Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro Jalan Diponegoro, dan GKI Wonokromo di Jalan Arjuno.

Sedangkan selang satu hari kemudian, tepatnya di Senin pagi, satu lagi keluarga meledakkan diri di pintu masuk Mapolrestabes Surabaya. Mereka terdiri dari sepasang orangtua Tri Murtiono (50) dan Tri Ernawati (43) dan tiga anak mereka; DA (18), DS (14), AIS (8). Kesemuanya meledakkan diri kecuali AIS, si anak bungsu yang terlempar setinggi tiga meter dan akhirnya selamat.

Malang buat AIS, label 'teroris' yang melekat di keluarganya, membuat ia sebatang kara. Hingga kini, AIS belum dijenguk satu pun sanak-familinya.

"Sampai dengan jam 2 (siang) tadi belum ada keluarga yang mengakui bahwa ini keluarganya. Ini anak di Polrestabes," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (15/5), seperti dilansir dari merdeka.com.

Ditegaskan juga oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahwa, Fenomena anak-anak baru pertama di Indonesia. "Usia 9 dan 12 tahun. Dilengkapi bom pinggang, kemudian bunuh diri. Tapi di Suriah dan ISIS sudah dilakukan beberapa kali menggunakan anak-anak," ungkap Tito.

Apakah anak-anak ini layak disebut sebagai pelaku? Atau justru mereka adalah korban pemahaman sesat orangtuanya?

Komisioner Perlindungan Anak bidang hukum, Putu Elvita, mengimbau tidak memposisikan anak sebagai pelaku bom bunuh diri. Putu mengatakan, anak adalah korban dari paparan radikalisme keluarga.

Di lihat dari sudut pandang apapun, seorang anak khususnya di bawah umur tidak bisa dikatakan pelaku jika tindakan yang dilakukan tanpa sepemahaman anak. Sementara pelaku suatu kejahatan harus menyadari perbuatannya adalah salah, baik di segi hukum atau sosial.

"Sekalipun dia anak pelaku, tetap anak itu korban. Dia tidak punya pemahaman untuk menjadi martir," ujar Putu, Selasa (15/5) dalam merdeka.com.

Meski berada dalam satu peristiwa yang sama dengan orangtua sekaligus pelaku teror, Putu mengatakan tidak ada relasi antara orangtua dengan anak pada kejahatan tersebut. Sebab, telah terjadi pembentukan atau pemikiran dengan sengaja, tanpa disadari oleh anak.

"Relasi anak di sini dengan orangtua tidak sama. Pada saat anak dilibatkan, orang dewasa lah yang mempengaruhi, dan mereka (anak-anak) tidak sadar tetap mereka dianggap sebagai korban," ujarnya.

Reza Indragiri Amriel dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengatakan, Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut ada larangan bagi siapa pun untuk menyuruh anak melakukan tindak kekerasan. Lalu, Pasal 15 UU yang sama berisi, 'salah satu hak anak adalah bebas dari perlibatan dalam aksi kekerasan'.

"Merujuk pada larangan dan hak anak tersebut, bisa dipahami, anak yang mengebom dikenakan rompi bahan peledak oleh orangtuanya. Nah, anak-anak itu adalah pihak yang diajak atau dilibatkan orang lain untuk melakukan aksi kekerasan," tulis Reza dalam keterangannya.

Menurutnya, mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang dikenakan bahan peledak adalah anak-anak yang tengah dirampas hak-haknya. Apalagi mereka sampai didoktrin untuk menjadi bomber.

"Dengan demikian, anak-anak tersebut merupakan korban. Ini karena pihak yang mengajak atau melibatkan anak-anak untuk ikut melakukan tindak kekerasan adalah orangtua mereka sendiri. Maka, orangtua tersebut jika masih hidup harus dijatuhi pemberatan hukuman," tegas Reza.

(vem/zzu/feb)