Kenapa Ayah Menikah Lagi Bahkan Membuat Ibu Menderita Hingga Tutup Usia?

Fimela diperbarui 16 Mei 2018, 13:00 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Hidup berawal karena adanya kelahiran. Semua orang pasti setuju akan adanya pernyataan ini. Dalam bahasa Inggris, kelahiran disebut sebagai birth atau kita singkat menjadi huruf B. Ketika ada yang namanya kelahiran, pasti ada yang namanya kematian. Kematian dalam bahasa Inggris kita sebut death atau kita singkat huruf D. Lalu di antara huruf B dan D ada yang namanya huruf C (choice) atau lebih kita kenal dengan pilihan. Di mana kita bisa memilih? Ya, dalam hidup. Hidup merupakan salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia di dunia ini sebagai salah satu bentuk kemurahannya.

Keluarga yang harmonis dan bahagia, tercukupinya semua kebutuhan, mendapatkan  tempat tinggal yang layak, dapat menempuh pendidikan hingga ke bangku kuliah dsb merupakan keinginan setiap orang yang masih bernafas atau hidup. Sama seperti diriku. Keluargaku dulu begitu harmonis. Apapun yang aku mau selalu bisa aku dapatkan. Hingga terjadilah suatu kisah dalam hidup yang tak pernah aku bayangkan.

12 tahun silam, tepatnya saat usiaku masih 9 tahun. Aku hanyalah gadis kecil nan lugu yang baru bisa memaknai hidup dengan hal-hal yang menyenangkan. Bermain bersama teman-temanku, berebut makanan dengan adik-adikku, bermain boneka, dsb tanpa pernah memikirkan kepedihan yang sedang dialami ibuku. Sesederhana aku membuat makanan dari daun-daunan yang kuracik dengan hiasan jantung pisang dan bunga pepaya. Tanpa pernah aku tahu bahwa aku sedang bahagia di atas duka ibuku.



12 tahun silam, ayahku berpamitan ingin merantau untuk mengais rezeki ke kota Poso. Ketika beliau pamit, aku menyalaminya kemudian aku kembali asyik berkutat dengan mainanku. Aku sama sekali tidak tahu bahwa pamitnya itu untuk kepergian yang selama ini waktunya. Andai saat itu aku tahu, pasti aku enggan mengizinkannya pergi. Tapi lagi-lagi aku masih kecil. Pikiranku belum sampai kesana.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tahun berganti bertahun, ayahku tak juga kembali. Jujur aku begitu merindukannya. Bagaimana tidak, ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya dan kini aku kehilangan cinta pertamaku. Aku menanyakan kepulangan ayah, tapi ibuku tak memberiku jawaban. Aku hanya melihat duka yang begitu nyata di matanya. Dukanya begitu dalam. Sangat dalam.

Hingga menginjak kelas 6 SD, aku tak kunjung mendengar kabar ayahku. Adik-adikku yang mulai tumbuh besar pun mulai menanyakan. Di situlah aku mulai memahami sesuatu. Ya, ayahku tak akan kembali. Sebelum pengumuman kelulusan, ibuku pamit hendak pergi ke Poso untuk menyusul ayah. Berbekal informasi dan sedikit bantuan yang diberikan teman ayah dulu waktu masih bekerja dengan ayah, beliau nekat untuk menyusul belahan jiwanya yang tak kunjung pulang.

Namun sayang, seminggu di sana ibuku pulang dengan tangan hampa. Meski ia berjumpa dengan ayah, tapi ayahku enggan ikut pulang. Katanya masih banyak pekerjaan. Padahal ternyata ia mempunyai istri baru di sana. Bisakah kau membayangkan perasaan ibuku? Ya. Hancur. Sangat hancur.

Aku mulai frustasi. Usiaku semakin menginjak dewasa. Banyak teman yang mem-bully dan mengejek diriku karena kepergian ayah. Pun begitu dengan adik-adikku, mereka juga mendapatkan perlakuan yang sama dari teman-temannya. Masa-masa SMP ini aku lebih banyak diam dan jarang bersosialisasi. Aku juga sangat jarang mengunjungi kantin. Bukan karena tak doyan makan, tapi karena uang saku yang diberikan ibuku hanya cukup untuk keperluan membeli bahan-bahan untuk pelajaran. Aku tak marah karena aku juga menyadari kondisi ibuku. Saat itulah aku bertekad untuk menjadi orang yang sukses dan membahagiakan ibuku. Aku janji pada diriku sendiri. Insyaallah.

Singkat cerita, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat akhirnya ibuku memutuskan untuk menjadi TKW di Malaysia. Kami bertiga tinggal bersama bibi kami di kampung. Sudah tentu kami sangat merindukan kasih sayang orangtua. Tapi apa boleh buat, kadang hidup terlalu rumit. Tidak memberikan pilihan. Meski sudah banyak cobaan yang menimpa kami, namun tetap saja Allah menunjukkan kasih sayangnya. Ya, ibuku tidak digaji oleh majikannya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke kampung. Di kampung ibu hanyalah bekerja sebagai petani biasa. Hujan dan panas sudah menjadi temannya sehari-hari.



Hingga suatu hari ada yang menawari ibu untuk bekerja di Kalimantan sebagai ART di rumah dokter. Ibu pun mengiyakan tawaran. Bulan November 2012 ibu pergi ke Kalimantan. Saat itu aku sudah SMA kelas 2 dan berada di pondokan. Alhasil aku jarang berkomunikasi dengan ibu karena di pondokku dilarang membawa HP. Saat itu bulan puasa semakin dekat. Saat aku mendapat kesempatan untuk menelepon ibu, aku bertanya tentang kepulangannya. Namun jawabannya aneh, dia bilang bahwa dia tidak akan pulang lagi. Aku tak paham apa maksudnya. Setelah aku desak, beliau mengatakan akan pulang pada tanggal 30 Agustus 2013. Yes. Aku senang. Ibu akan menjengukku di pondok.                         

30 Juli 2013. Keluargaku datang untuk menjemputku di pondok. Adik-adikku menelepon sambil menangis tapi enggan mengatakan apa yang terjadi. Mereka hanya menyuruh aku untuk pulang dengan cepat. Tahukah kau apa yang terjadi ketika aku pulang? Aku memberi salam, tapi tak ada jawaban. Ibuku masih tetap tidur. Aku ulangi salamku, tak ada jawaban. Ibuku masih jua tidur. Langit yang begitu cerah seakan hitam di penglihatanku. Aku tak percaya. Ibuku telah tidur di pusaka keabadian. Oh Tuhan! Tangisku pecah seketika. Aku takut. Aku kalut. Akan hidup dengan siapa jika aku tak lagi mempunyai ibu? Ayahku telah meninggalkan kami, lalu kenapa sekarang ibu malah meninggalkan kami untuk selama-lamanya?

Hidup tak pernah adil padaku. Saat itu aku begitu marah dengan hidup. Aku marah pada ayah. Aku marah pada penyakit jantung koroner yang telah merenggut ibuku. Aku marah. Ya, aku sangat marah saat itu.

Seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa hidupku harus terus berlanjut. Setidaknya aku harus kuat untuk adik-adikku. Aku mulai memaafkan ayahku yang tak lagi peduli pada kami. Biar bagaimana pun, dia tetap ayahku. Meski mengingat wajahnya saja aku tak mampu. Tapi biarlah. Aku mencoba mengubur semua kenangan-kenangan buruk itu dan menjadikannya sebagai pembelajaran di masa depan.

Ibuku selalu menasihatiku untuk memaafkan kesalahan orang lain meski sepedih apapun luka yang mereka toreh. Ibuku meyakinkan bahwa ada Allah yang Maha Besar. Allah yang akan selalu membantu hamba-hamba-Nya. Ujian itu adalah sebagai penilaian untuk naik kelas dan meningkatkan derajat keimanan. Ah, nasihat-nasihat ibu selalu terngiang di telingaku.

Mulai saat ini aku bertekad aku akan menjadi orang yang pemaaf dan tak pernah dendam. Jika suatu saat ayah kembali pada kami dengan bagaimanapun kondisinya, insyaallah aku akan memaafkan kesalahannya dan menerimanya dengan tangan terbuka. Tak ada gunanya menyimpan dendam dalam hidup. Maafkanlah orang-orang yang pernah menyakitimu dan berbahagialah dengan hidup yang kamu miliki.




(vem/nda)