Fimela.com, Jakarta Penyakit jantung koroner (PJK) adalah salah satu penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup dan sosial ekonomi masyarakat.
Hingga saat ini masih banyak pasien yang mengalami serangan jantung terlambat ditangani karena ketidaktahuan atau terhambat saat perjalanan menuju rumah sakit. Padahal, pasien serangan jantung wajib mendapat penanganan maksimal 6 jam pasca serangan.
”Setiap menit yang berlalu membuat semakin banyak jaringan otot yang kekurangan oksigen sehingga mati. Oleh karena itu, semakin cepat pasien dibawa ke rumah sakit maka semakin banyak yang bisa dilakukan untuk membatasi kerusakan otot jantung sehingga peluang hidup pasien lebih besar”, ujar dr. Dasaad Mulijono, MBBS(Hons), FIHA, FIMSANZ, FRACGP, FRACP, PhD .
Namun kendalanya masih banyak masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri dengan beberapa alasan seperti kurangnya mutu pelayanan kesehatan rumah sakit di negara kita, kurang puas terhadap komunikasi dokter, kemampuan SDM kita yang belum meyakinkan, serta sarana dan prasarana yang masih terbatas jika dibandingkan dengan standar pelayanan kesehatan di luar negeri.
Menurut dr. Dasaad Mulijono, sebenarnya rumah sakit di negara Indonesia ini sudah dilengkapi dengan teknologi canggih yang terintegrasi dengan kompetensi para dokter yang berpengalaman dibidangnya. Seperti di Bethsaida Hospitals, penyakit jantung koroner ini bisa ditangani oleh dokter-dokter yang berpengalaman untuk dilakukannya tindakan kateterisasi jantung, angiografl serta pemasangan ring jantung.
Ditambah dengan Dokter dan SDM rumah sakit yang tidak asing lagi dengan adat istiadat, kultur & kebiasaan pasien-pasien Indonesia make harusnya kite bisa memberikan pelayanan lebih baik dibandingkan dengan rumah sakit di luar negeri.
"Saya percaya apabila rumah sakit melayani pasiennya dengan kasih seperti Iayaknya keluarga sendiri maka sesungguhnya kita bisa menarik kembali pasien-pasien yang berobat di luar negeri untuk bisa berobat di Indonesia, sehingga bisa menyelamatkan sebagian devisa negara", ungkap dr. Dasaad Mulijono.
What's On Fimela
powered by
Kanker Usus menempati posisi ke tiga
Kanker usus besar adalah kanker ketiga yang paling sering terjadi di dunia, dengan hampir 1,4 luta kasus baru didiagnosis pada tahun 2012. Berdasarkan data Globocan (IARC) tahun 2012, penderita kanker usus besar terus mengalami peningkatan seiring dengan perubahan Iingkungan dan gaya hidup.
Di Indonesia, insiden penyakit ini mencapai 12,8 per 100.000 usia dewasa dengan tingkat kematian 9,596 dari seluruh kasus kanker. Posisi ke-3 untuk jenis kanker pada Iaki-laki dan posisi ke-Z pada perempuan.
Perubahan pola makan orang Indonesia yang Iebih tinggi lemak serta rendah serat menjadi salah satu penyebab peningkatan pasien kanker usus besar di usia muda. Selain itu mengonsumsi minuman beralkohol, merokok, obesitas, kurang olahraga, menderita familial adenomatous polyposls (FAP) dan memiliki keluarga dengan riwayat menderita kanker usus besar juga dapat meningkatkan faktor risiko seseorang menderita penyakit kanker usus besar.
Kebanyakan orang baru mengetahui diagnosis saat muncul gejala. Namun, kanker kolorektal stadium awal sering tidak menimbulkan gejala, sehingga kebanyakan pasien baru mendapatkan diagnosis saat telah mencapai stadium Ianjut.
”Diagnosa yang cepat dan penatalaksanaan (terapi) yang tepat sangat dibutuhkan. Dengan deteksi klinis pada pola buang air besar, pemeriksaan kolonoskopi untuk melihat massa pada mukosa kolon, kemudian dilakukan biopsi utk memastikan kanker atau bukan, bila hasil biopsi adalah kanker maka dilanjutkan dgn CT scan abdomen dan thorax untuk menentukan staging (seberapa jauh kanker sudah menyebar)", ujar dr. Eko Priatno, Sp.B(K)BD.
Keyhole surgery merupakan terobosan inovatif untuk penanganan kanker usus besar secara minimal invasive. Keuntungan dari teknik keyhole surgery tersebut adalah secara kosmetik lebih baik yaitu dengan sayatan yang minimal, proses pemulihan yang Iebih singkat dari Dada teknik konvensional, nyeri minimal serta waktu rawat yang singkat.