Kekerasan Terhadap Perempuan: Ketika UU ITE Malah Menjerat Korban

Febriyani Frisca diperbarui 06 Des 2018, 16:54 WIB

Fimela.com, Jakarta Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di dunia nyata. Belakangan ini, terutama sejak masyarakat melek teknologi infromasi, kekerasan terhadap perempuan juga merambah dunia maya dalam berbagai macam bentuknya. 

Kendati 2008 silam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat undang-undang di ranah Teknologi Informasi (Undang Undang nomor 11 tahun 2008) atau yang lebih dikenal dengan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), namun tampaknya pasal tersebut belum sepenuhnya bisa melindungi korban, terutama kekerasan seksual pada perempuan.

Parahnya, UU ITE itu sendirilah yang malah menjerat pengguna teknologi yang seharusnya mendapat perlindungan hukum. Seperti yang disampaikan oleh Ellen Kusuma dari Safe Net dalam diskusi Mengatasi Pelecehan Seksual di Dunia Maya yang bertempat di Komnas Perempuan Jakarta pada Selasa (4/12).

What's On Fimela
Ilustrasi kekerasan. (Sumber: Istimewa)

"Kasus Ibu Nuril pasti pada tahu, ya, kronologisnya kalau ia mendapat kekerasan seksual secara verbal oleh kepala sekolah tempat ia bekerja dan berinisiatif merekam percakapan, tapi justru percakapan yang dibuat untuk membela diri malah disebarkan orang-orang yang bukan Ibu Nuril dan dipakai oleh mantan kepala sekolah untuk menjerat Ibu Nuril karena diduga telah memberikan akses konten bermuatan keasusilaan ke publik," ungkap Ellen.

Ellen juga menuturkan kisah perlindungan hukum yang dialami oleh korban kekerasan seksual lainnya. "Sekitar 2010 ada kasus di Tangerang yang dialami oleh seorang dokter bernama Ira Simatupang, dia mengalami percobaan pemerkosaan oleh rekan kerjanya di 2006, lalu dia berusaha untuk berkeluh ke rekan-rekan kerja yang lain lewat email, tapi ia malah dijerat pasal 27 ayat 3, yaitu pencemaran nama baik karena ada rekan lain yang tidak senang namanya disebut-sebut dalam email," imbuh Ellen.

Lebih lanjut, Ellen juga menambahkan kasus-kasus lain yang pernah ia jumpai di lapangan. Di mana ada seorang perempuan yang mengalami KDRT malah justru dilaporkan balik atas tuduhan konten bermuatan asusia.

Kekerasan Perempuan /unsplash

"Ada kasus Ibu Wisni Yeti di Bandung yang mengalami kasus KDRT, jadi saat ia melaporkan KDRT, suaminya tidak terima dan meng-hack Facebook Ibu Wisni kemudian ia menemukan semacam transkrip percakapan Ibu Wisni dengan temannya tapi percakapan itu diduga mesra atau intim dan terjadi saat mereka masih menikah, lalu transkrip itu di-screen capture dan dicetak untuk dijadikan bukti di pengadilan untuk menjerat Ibu Wisni, sayangnya, kasus KDRT tidak berlanjut, kasus konten bermuatan asusila ini berlanjut dan sempat kena hukuman," terang Ellen.

Begitu juga kisah yang dialami oleh Anindya Joediono, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya. "Kalau baru-baru ini ada Anindya, dia seorang mahasiswa dan juga aktivis, kemudian dia melaporkan di media sosial bahwa di suatu acara ia mendapat pelecehan seksual, tapi dia malah mendapatkan laporan balik dari seseorang yang tidak ia kenal bahkan tidak ada di tempat, atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian," ujar Ellen.

"Hal-hal seperti itu yang sebenarnya terjadi, yang seharusnya digunakan untuk melindungi korban malah digunakan untuk menjerat korban," sesal perempuan yang jadi perwakilan untuk Internet Governance Forum (IGF) 2017 di Geneva, Switzerland ini. 

Sekadar info, Safe Net sendiri merupakan sebuah jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, baik organisasi maupun individu, dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia untuk bebas berekspresi, yang terrbentuk 27 Juni 2013 di Bali, Indonesia.