Fimela.com, Jakarta Seperti yang mungkin sudah kamu ketahui bahwa kekerasan seksual siber itu banyak jenisnya, namun satu yang kini tengah menjadi perbincangan serius adalah revenge porn. Dan revenge porn ternyata juga menjadi pembahasan menarik dalam diskusi bertajuk “Perempuan, Teknologi, dan Kekerasan Seksual” yang diadakan oleh Komnas Perempuan pada Selasa (4/12/2018).
Lalu apa sih revenge porn? Revenge porn atau balas dendam porno adalah bentuk pemaksaan, ancaman terhadap seseorang, umunya adalah perempuan, untuk menyebarkan konten porno berupa foto, screenshot atau video yang pernah dikirimkan kepada pelaku.
“Revenge porn terjadi bila mantan pacar kamu atau orang yang tidak dikenal mengatakan kalau dia memiliki foto-foto kamu, atau pun video lalu dia mengancam,’Kalau kamu nggak mau balikan sama aku, aku akan menyebarkan foto-foto ini atau kalau kamu nggak mau berhubungan seksual sama aku, aku akan sebar foto-foto ini.’ Ancamannya bisa berupa seks atau uang,” jelas Co-founder SGRC Nadya Karima Melati dalam diskusi yang diadakan di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018).
Lebih jauh Nadya menjelaskan bahwa ia bersama timnya di Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) telah melakukan penelitian soal revenge porn tersebut. “Penelitian dibuat berdasarkan olah data dari formulir yang disebar selama 10 hari. Dan dari penelitian tersebut diketahui bahwa usia korban dari kasus revenge porn kebanyakan usia 15 sampai 20 tahun,” tegas Nadya.
Data tersebut memang mengejutkan, tapi kamu pasti akan semakin terkejut jika mengetahui bahwa ternyata pelaku kasus revenge porn banyak dilakukan oleh mantan pacar si korban. “Dari penelitian yang dilakukan pada 2018 diketahui bahwa pelaku revenge porn kebanyakan mantan pacar, lalu selanjutnya pacar sendiri, orang yang tidak dikenal atau anonim, dan terakhir adalah orang dekat, seperti teman dari ibunya atau omnya,” tambah Nadya.
Namun sayangnya memang tidak banyak perempuan yang jadi korban revenge porn ingin melanjutkan kasusnya ke ranah hukum. “Lalu apa yang dilakukan oleh SGRC? Kami melakukan konseling online, intervensi dengan tim hacker, advokasi kebijakan dan pembentukan support group yang ada di kampus-kampus,” jelas Nadya.
“Dan ingat kita juga harus fokus kepada korban, kita juha harus kasih pemulihan kepada korban. Bahwa korban kaus kekerasan seksual siber berhak untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman seperti biasa. Kita nggak boleh menyalahkan korban dalam kasus ini. Yang harus kita salahkan adalah pelaku, orang yang menyebarkan,” tegas Nadya.