Fimela.com, Jakarta Kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan, penyelesaian kekerasan perempuan pun tidak mudah.
Ratna Batara Munti, Koor. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Pengurus Asosiasi LBH APIK, mengatakan di dalam masyarakat budaya patriaki masih kental. Inilah yang menjadi salah satu lemahnya aturan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
"Proses hukum adalah cerminan di masyarakat kita, jadi aparat hukum pun justru mudah menyudutkan dan tidak mempercayai korban," ujarnya saat ditemui dalam di Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Cermin konstruksi seskualitas dalam kultur patriarkhi, di mana eksis ideologi phallosentris. Kenikmatan seksual dalam masyarakat patriarkhi diukur dari standart laki-laki, perempuan dianggap sudah semestinya menikmati setiap hubungan seksual dengan laki-laki, walaupun mulut berkata tidak.
Lemahnya hukum di Indonesia terhadap kekerasan perempuan bisa dilihat dari laporan perempuan dicurigai, dianggap hanya mengada-ada sampai mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak merasakan sedikit pun kenikmatan dari peristiwa perkosaan tersebut. Akan digali sedemikian rupa dalam proses pemeriksaan.
Dampaknya, reviktimisasi terus terjadi sepanjang pemeriksaan kasus perkosaan dan kekerasan seksual, sejak dikepolisian hinggan pengadilan. "Korban harus menceritakan kembali peristiwa secara detail, padahal korban sangat trauma," tambahnya.
Paparan kronologi kasus yang dibacakan dipersidangan begitu detail, wujud erotisasi kejaatan seksual. Layaknya pornografi, bisa dibilang perempuan tidak lebih sebagai "Daging di Pengadilan" atau objek kesenangan fantasi seksual laki-laki.
Berbagai contoh sikap Aparat Penegak Hukum
Berbagai contoh sikap aparat penegak hukum dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual pada perempuan
1. Mengajukan pertanyaan vulgar:
"Goyangnya ke arah mana? Kiri, kanan, atau naik turun?, "Gimana rasanya enak ngga?"
2. Korban diminta memperagakan perkosaan yang ia alami.
3. Mengatakan Korban sebagai "Perempuan Murahan"
4. Korban dibentak-bentak karena keterangannya dianggap tidak jelas dan membingungkan.
5. Hakim menertawakan korban dan mengatakan kalau korban juga menikmati hubungan tersebut.
6. Mempersalahkan korban, dengan pernyataan membingungkan. "Mengapa tidak teriak", atau "Mengapa tidak kabur,"