Dilema Antara Naluriku sebagai Ibu dan Tugasku Jadi Penegak Hukum

Fimela diperbarui 29 Mar 2018, 19:30 WIB

Saya adalah salah satu aparat penegak hukum, terkadang ketika menjalankan tugas yang diamanahkan pimpinan untuk menyelesaikan suatu kasus, membuat saya ingin meninggalkan tanggung jawab tersebut. Hal ini terjadi karena fakta di lapangan jauh lebih rumit dan tidak semudah diselesaikan secara teori ataupun aturan yang ada. Simbol dewi keadilan yang tidak pandang bulu dalam mencari keadilan sering tidak berlaku ketika dihadapkan dengan hati nurani yang merupakan sumber adanya rasa kemanusiaan, sehingga itulah  yang membedakan golongan kita (manusia) dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya.

Contoh nyata adalah ketika saya dengan amat terpaksa memaksa seorang wanita berusia 20 tahunan dengan anak perempuannya yang masih batita, hanya gara-gara perbuatan ibu dan bapaknya yang melanggar hukum (pemerasan dengan disertai kekerasan). Perasaan saya sebagai seorang ibu berontak seketika melihat si ibu dengan si anak menjerit dan menangis histeris ketika para pekerja sosial dari dinas sosial yang saya minta bantuan untuk sementara menjaga si anak, berusaha menarik si anak dari buaian si ibu, hingga si ibu pingsan sebentar. Tapi di sisi lain saya harus tegas dan tidak mengenal belas kasih demi mewujudkan keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan perbuatan jahat si ibu.

Saya kalut dan takut seandainya si anak menjadi sakit, trauma psikologisnya, dendam dengan orang yang berseragam seperti saya, begitu pula si ibu yang saya masukkan ke penjara untuk sementara waktu. Tapi saya hanya pasrah kepada Tuhan yang mentakdirkan saya bertemu dengan mereka  dalam kondisi yang tidak seharusnya terjadi, dan saya yakin hal ini berlaku karena Tuhan juga tidak tidur melihat perbuatan bejat si ibu dan si bapak yang sudah berulang kali mereka lakukan karena mereka termasuk generasi now yang maunya selalu enak dengan cara instan, tidak mau susah payah bekerja dan berusaha, selalu iri dengan keberhasilan orang lain tanpa melihat prosesnya, dan ternyata menggunakan si anak yang tidak tahu apa-apa sebagai tameng hidup. Dan mereka tidak menyadari jika perilaku dan gaya hidup yang mereka lakukan akan menjadi role mode bagi si anak ketika besar nanti sehingga akan terjadi pengulangan, jika begini lalu apa yang akan terjadi dengan nasib generasi masa depan?



Syukur kepada Tuhan ternyata yang saya takutkan akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik pada si anak tidak terjadi. Bahkan setiap saat laporan dari para pekerja sosial kepada saya menunjukkan perkembangan si anak yang jauh lebih baik daripada ketika diasuh si ibu yang dulunya pucat, kurang gizi, kulit bekas luka-luka, lusuh, raut wajah super suram. Bahkan ketika anak saya ulang tahun saya ajak ke RUMAH AMAN (tempat menampung sementara perempuan dan anak baik sebagai korban kejahatan ataupun korban ketidakadilan hidup) untuk melihat kondisi si anak, dan berbagi kebahagiaan walau sekejap, yang saya dapati adalah napas saya bertambah sesak bercampur aduk dengan rasa iba serta haru hingga rasanya mau tumpah karena ternyata di sana banyak anak dan perempuan yang menjadi korban, tetapi saling menguatkan dan melindungi keluarga baru mereka, dan tertawa bersama di tengah kesederhanaan dan kesusahan, karena mereka tidak di panti-panti yang biasanya menerima sumbangan/donatur melainkan hanya berharap dari jatah pemerintah/dinas yang entah kapan datangnya.

Sedangkan si ibu, menurut saya enak-enakan di dalam  penjara, terjamin makan sehari tiga kali, walau menu sederhana, tidak banyak aktivitas, masih bisa bersenda gurau dengan rekan sesamanya, tidak perlu pusing mencari uang untuk makan sehari-hari. Hanya menunggu waktu sampai masa hukuman berakhir, dan lingkungan penjaranya amat sangat nyaman. Saya berpikir kok tega sekali karena setelah hampir sebulan berpisah, si ibu  makin gemuk makmur dan tidak nampak beban di wajahnya karena terpisah dari anaknya, dan hanya menanyakan kabar si anak lewat telepon tanpa berusaha meminta keluarga dekatnya menjenguk si anak.



Setelah saya cari info lebih lanjut, ternyata si ibu merasa lebih senang dengan anaknya di tangan pekerja sosial daripada diasuh keluarganya sendiri. Saya syok mengetahui fakta itu. Meski saya tidak punya hubungan apa-apa, saya merasa bersalah saat memisahkan si anak dengan ibunya. Saya ikut membantu untuk memberikan susu dan sedikit uang walau seadanya selama si anak  titipkan di Rumah Aman, sekadar untuk mengurangi beban para pekerja sosial yang minim sarana, bahkan saya juga memohon kepada yang berwenang menjatuhkan hukuman agar si ibu tidak terlalu lama biar bisa kumpul lagi dengan anaknya (padahal saya bukan pengacara si ibu).

Saya hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik dan terindah buat si anak, dia tidak minta dilahirkan jika akhirnya menjalani kehidupan yang membuatnya tidak bahagia, semoga Tuhan selalu menjaga kehidupannya, dan yang terpenting tugas kita semua yang masih diberi kesempatan oleh Tuhan menjalani kehidupan yang cukup beruntung untuk lebih punya rasa empati dan peduli dengan orang-orang di sekitar kita untuk mengurangi bahkan mencegah kejadian-kejadian seperti yang saya ceritakan di atas, agar kehidupan mereka dan kita bisa berjalan lumrah dan normal, karena secara tidak langsung akan melindungi keluarga anak cucu kita dari perbuatan tidak baik yang dilakukan orang lain. Sebab kita sendiri yang merugi bila terjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan, tidak peduli seberapa banyak harta yang kita miliki, seberapa tinggi jabatan dan kekuasaan yang kita punyai.

(vem/nda)