Kisah Nyata: Melawan Pelecehan Verbal di Industri Media

Fimela diperbarui 26 Mar 2018, 13:00 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Perkenalkan nama saya Laura (bukan nama sebenarnya), usia saya 21 tahun. Saat ini saya bekerja sebagai jurnalis di sebuah media lokal di Kalimantan Barat. Saya ingin membagikan pengalaman saya sebagai buruh perempuan yang bekerja di media. Kejadian ini saya alami akhir tahun lalu, tepatnya di awal Desember 2017, lima bulan setelah saya bekerja.

Sejak kecil saya menyukai literasi baca tulis, saya tumbuh dan berkembang dengan buku, menghabiskan banyak waktu dengan membaca dan bermain di pekarangan rumah di waktu sore. Saya tidak memiliki banyak hobi selain membaca dan menulis. Mungkin inilah yang membuat saya tertarik dengan jurnalistik. Sejak duduk di bangku SMP saya sudah memiliki keinginan menjadi jurnalis, keinginan itu semakin kuat ketika saya duduk di bangku SMA dan mengenal dunia blogging. Ketika memasuki bangku kuliah saya memutuskan belajar hukum, aktivitas literasi tetap saya rawat dengan menjadi penulis lepas di media lokal dan daring. Berbekal pengalaman-pengalaman kecil itulah saya memberanikan diri terjun ke industri media. Saya menjadi seorang wartawan, pekerjaan yang saya impikan seumur hidup saya.



Saya menggarap halaman kota khusus di bidang kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya. Saya juga disiapkan untuk menangani bagian pemerintahan khusus pemkot, menjadi pengganti teman yang bertugas di sana jika sewaktu-waktu dia berhalangan meliput atau ada jadwal yang bentrok.

Saya sangat menyukai pekerjaan saya, menjadi wartawan memang impian saya sejak dulu. Saya mendapat tim yang solid, media tempat saya bekerja juga memiliki reputasi yang baik sehingga tidak sulit mendapat informasi dari narasumber, kredibilitas media sangatlah penting. Saya memiliki banyak teman baru karena setiap hari bertemu orang berbeda, pengetahuan saya juga terus bertambah karena luasnya informasi yang saya terima. Saya nyaris tidak mendapat kendala berarti selain mobilitas yang tinggi sehingga menyebabkan berat badan saya turun drastis karena jadwal makan dan tidur yang berantakan, maklum saya fresh graduate yang baru bekerja, sedang dalam masa penyesuaian.



Bekerja sesuai dengan minat kita memang menyenangkan, saya merasa benar-benar menjalani kehidupan sesuai dengan yang saya tuliskan di dinding kamar saya ketika masih SMA. Pekerjaan paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar, kalimat ini memang benar, nikmatnya mendapat uang dari hasil jerih payah sendiri benar-benar membuat saya bersyukur. Target berita yang gila-gilaan juga tidak membuat saya terbebani karena saya sangat mencintai pekerjaan saya.

Namun masa-masa menyenangkan itu berubah ketika saya bergabung di sebuah grup WA khusus wartawan kota dari berbagai media di kota tempat saya bekerja. Ada puluhan wartawan di sana dan mayoritas laki-laki, tidak hanya wartawan yang ada di sana, ada juga humas beberapa instansi. Sebagai wartawan baru saya tidak mengenali mereka semua.

Grup itu sangat aktif, saya jarang memantau karena hampir tidak pernah ada informasi mengenai peliputan di sana, sepertinya memang dibuat sebagai media silaturahmi semata. Mereka banyak bercanda di sana dan saya kerap menjadi bahan bercandaan di grup itu. Saya agak pemalu pada senior-senior saya, jika tidak berhubungan dengan pekerjaan saya memang tidak banyak bicara.



Layaknya wartawan, bekerja tidak bisa sendiri-sendiri, saya pun demikian. Meski terbilang pemalu saya tetap berusaha membaur, selepas liputan kami biasanya beramai-ramai mengetik berita di warkop. Saya perempuan satu-satunya, mereka kerap menggoda saya, mulanya biasa saja. Saya tidak marah meski mereka kerap mengambil foto saya diam-diam dan menyebarkannya di grup yang ramai itu. Entah saat saya sedang mengetik, bengong menatap layar gawai, atau ketika sedang mengobrol asyik dengan seorang teman yang kerap jadi bulan-bulanan di grup. Saya mencoba berpikir positif, mencoba tidak tersinggung, meski saya terganggu.

Beberapa teman memang kadang saya rasa berlebihan jika bercanda, jumlah mereka tiga orang, tiga orang inilah yang sering menggoda saya dengan mengatakan saya dan teman yang sering jadi bulan-bulanan di grup itu serasi jika berpacaran. Padahal teman saya sudah bertunangan dan akan menikah pertengahan tahun ini. Beberapa kali saya mengungkapkan ketidaksenangan saya, tapi mereka tidak merespon. Bercandaan seperti itu dianggap sebagai bumbu pertemanan yang biasa, lambat laun saya merasa mereka sudah semakin keterlaluan. Mereka mulai menjadikan ukuran dada dan bokong saya yang kecil sebagai bahan bercanda, tidak hanya di depan saya, tapi di grup yang ramai tersebut. Saking seringnya saya dijadikan bahan bercanda, wartawan-wartawan yang belum pernah bertemu saya langsung mengenali saya jika kami bertemu ketika liputan. Saya merasa tidak nyaman dan memutuskan keluar dari grup tersebut.



Saya harap dengan keluarnya saya dari grup itu mereka menyadari bahwa saya tidak nyaman dengan cara bercanda mereka. Apa yang lucu dari bentuk tubuh seseorang dan cerita-cerita yang mereka karang tentang saya dan teman saya yang telah memiliki tunangan tersebut. Tapi sayangnya mereka tidak menyadari hal ini. Mereka tidak menyadari jika ucapan-ucapan yang mereka anggap lucu bisa melukai perasaan seseorang, bahkan membuatnya merasa tidak berarti.

Setidaknya itu yang saya alami, saya merasa tidak memiliki harga diri ketika screenshoot-an percakapan di grup yang telah saya tinggalkan hampir dua bulanan itu beredar dan sampai di tangan saya. Mereka mengarang cerita di grup bahwa saya dan teman saya yang akan menikah pertengahan tahun ini pergi ke hotel, mereka menciptakan cerita-cerita liar untuk memuaskan pikiran mereka yang penuh nafsu. Di grup itu mereka mereka-reka cerita bahwa saya bersedia melakukan blowjob, bahwa saya ketakutan liputan sendirian dan butuh ditemani. Candaan itu disambut dengan ramai oleh tiga orang yang telah saya sebut sebelumnya, mereka lalu membuat cerita itu semakin panjang dan diselingi dengan emoticon tertawa oleh wartawan lainnya. Sebuah candaan yang membuat saya merasa sangat buruk, tidak memiliki harga diri, dan malu, sangat malu.

Saya menangis dan marah, lebih marah karena orang-orang yang saya anggap teman tidak berusaha menghentikan fitnah dan bualan itu. Mereka seakan-akan menikmati pelecehan verbal yang dilakukan pada saya. Saya merasa malu, sungguh malu, saya merasa jijik dan ingin muntah tiap kali mengingat candaan itu. Berkali-kali saya mengoreksi diri, apakah ada yang salah dalam tingkah laku saya selama ini sehingga mereka menjadikan saya objek khayalan-khayalan mesum itu, tapi saya merasa tidak ada yang salah dengan tingkah laku saya.

Pakaian saya tertutup, saya juga tidak pernah menggoda mereka. Saya kemudian memutuskan berbicara langsung pada mereka, berharap mereka menyadari kesalahannya, tapi apa daya, mereka malah menyalahkan saya dan menganggap saya berlebihan, kekanak-kanakan dan mudah tersinggung. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan mental saya tidak siap untuk bekerja di industri ini, seolah-olah dia mengatakan bahwa menjadi wartawan berarti harus siap dengan budaya patriarki atau lebih jelasnya, perempuan harus siap jadi objek.

Saya sangat marah, saya benci melihat mereka, sementara mereka malah menertawai saya. Tiap kali saya mengingat screenshootan itu saya mual, saya jijik pada diri saya sendiri, membayangkan saya melakukan blowjob, membayangkan saya jadi perempuan serendah itu. Ini berpengaruh pada kinerja saya, apalagi saya tiap hari harus bertemu mereka. Saya akhirnya memutuskan menulis surat resign.



Koordinator liputan saya langsung merespon surat resign saya. Dia yang mengetahui impian saya menjadi wartawan tidak mengizinkan saya keluar. Sebagai atasan saya dia bertindak cepat, tiga wartawan dari media berbeda itu dihubunginya. Tidak lama setelah itu mereka bertiga menghubungi saya dan menyampaikan permintaan maaf. Sebagai informasi, korlip saya laki-laki, jika dia perempuan mungkin mereka tidak akan peduli pada tegurannya.

Kabar bahwa korlip saya menghubungi wartawan-wartawan dari media berbeda itu langsung tersebar luas di grup-grup jurnalis. Berbagai respon saya terima, seperti yang saya katakan sebelumnya, mayoritas menganggap saya berlebihan dan pecundang, bahkan sesama perempuan mengatakan mental saya tidak siap berada di industri ini.

Beruntunglah saya ada di media yang tepat, teman-teman yang lain mendukung saya. Mereka membuat saya merasa lebih baik, meski saya selalu merasa jijik dan mual tiap bertemu tiga wartawan itu dan mengingat potongan obrolan di grup itu, saya tidak ingin menyerah. Meski saya kadang merasa tidak percaya diri karena banyak yang mengatakan saya kekanak-kanakan dan bermental pecundang. Seperti kata korlip saya, pelecehan verbal harus dilawan, saya harus berani. Berani menghadapi mereka dan berani mengungkapkan pendapat saya.

Saya ingin membagikan pengalaman saya agar perempuan-perempuan korban pelecehan verbal lainnya tidak merasa sendiri dan menyerah. Saya tahu bagaimana rasanya, malu, tidak percaya diri, merasa buruk dan tidak memiliki harga diri, tidak bisa tidur semalaman karena perasaan seperti ini.

Saya ingin kita bersuara bersama-sama, pelecehan verbal adalah hal yang dianggap wajar di negeri ini, dan ini harus kita lawan. Saya ingin membuktikan bahwa industri media adalah industri yang nyaman bagi semua orang, tidak ada diskriminasi gender, tidak ada pelecehan di dalamnya, baik itu pelecehan seksual maupun verbal.





(vem/nda)