8 Tuntutan Perempuan Indonesia untuk Pemerintah Indonesia

Fimela diperbarui 17 Mar 2018, 10:30 WIB

Kondisi dan situasi nasional saat ini masih belum berpihak kepada kesejahteraan dan kemerdekaan untuk perempuan dan kelompok rentan atau marginal di masyarakat. Hal inilah yang membuat masih banyak perempuan Indonesia, bergerak bersama dan menyuarakan penolakannya terhadap diskriminasi, kekerasan, intoleransi, dan pemiskinan terhadap perempuan dan kelompok marginal.

Biasanya untuk menyuarakan hak-hak perempuan, akan ada banyak elemen masyarakat di antaranya buruh/pekerja, nelayan, kelompok penghayat, kelompok difabel, korban kekerasan HAM, dan LGBT, atau kelompok lain akan turun ke jalan setiap 8 Maret.

“Gerakan ini akan menyuarakan keprihatinan sekaligus seruan untuk mengatasi persoalan opresi terhadap perempuan dan kelompok rentan masyarakat,” ujar Nur Aini yang menjabat Wakil Koordinator Lapangan Parade Juang, saat ditemui dalam konfrensi press ‘Parade Juang’, beberapa waktu lalu. Nur Aini juga menjelaskan, dalam sejarahnya, 8 Maret 1910, para buruh/pekerja perempuan di pabrik bersama aktivis perempuan menggelorakan semangat dan membawa isu perempuan ke ranah politik yang lebih luas.

Kebijakan Pemerintah Mengenai Demokrasi Perempuan

Perjuangan perempuan Indonesia melintasi waktu yang panjang untuk mewujudkan ruang demokrasi, yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan. Akan tetapi, saat ini, pemerintah dan DPR RI justru membuat kebijakan dan tindakan yang tidak mendukung dan merebut ruang demokrasi perempuan dan kelompok rentan masyarakat.

Kebijakan itu, misalnya, Undang-Undang MD3 yang memosisikan DPR sebagai lembaga negara yang tidak tersentuh hukum. Kebijakan lainnya bisa ditemui dalam peraturan daerah yang masih diskriminatif.

Hingga tahun 2016, Komnas Perempuan mencatat sekitar 421 kebijakan diskriminatif yang mengatur tubuh perempuan dan meminggirkan perempuan dan kelompok Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT). Kelompok LBT menjadi paling terancam kehidupannya di masa reformasi. “Mereka tidak hanya menjadi kelompok yang mendapatkan kekerasan, bahkan dianggap sebagai kelompok yang dilarang hidup di Indonesia di masa sekarang ini,” ujarnya.

Ancaman terhadap warga negara juga semakin besar yang terlihat dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP). Beberapa aturan dalam RKUHP bertentangan dengan semangat perlindungan anak, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dampak Kebijakan yang Ada, Sudahkah Dipertimbangkan?

RKUHP belum mempertimbangkan dampak kelembagaan jangka panjang pada upaya reformasi di bidang keadilan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan pada perempuan dan kelompok marjinal. Jika disahkan, RKUHP akan berdampak lebih luas yang mempengaruhi ketenteraman, keamanan, dan kesejahteraan hidup semua warga negara Indonesia tanpa melihat usia, jenis kelamin, agama, suku, dan golongan.

Sementara itu, kebijakan yang berpotensi melindungi perempuan dan kelompok marginal di masyarakat justru diabaikan. Hal itu bisa terlihat pada 2017, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) tidak menjadi prioritas program legislasi nasional 2018.

Padahal keduanya merupakan RUU yang strategis untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di Indonesia, dan telah terlalu lama tertunda. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) sudah dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam.

Penundaan pembahasan RUU PRT menyebabkan Pekerja Rumah Tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja hingga perbudakan modern. Upah yang rendah, ketidakpastian hari libur dan cuti, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih dialami oleh pekerja rumah tangga.

Pembahasan kebijakan yang diharapkan berpihak pada korban kekerasan pun belum terwujud. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pendefinisian kekerasan seksual mengesampingkan fakta penderitaan yang dialami oleh korban secara fisik maupun psikis. Pasca-pembahasan di DPR, sejumlah bentuk kekerasan seksual dihilangkan, yaitu ancaman (intimidasi) secara seksual (seperti: ancaman perkosaan) dan penghukuman secara seksual (seperti kasus arak bugil), padahal kejahatan ini nyata terjadi di dalam masyarakat.

Pencabulan, merupakan salah satu bentuk kejahatan yang nyata terjadi di dalam masyarakat. Oleh karenanya tindak kejahatan pencabulan, ancaman/intimidasi secara seksual , dan penghukuman secara seksual perlu dimasukkan dalam RUU Kekerasan seksual.

8 Tuntutan yang Diperjuangkan Oleh Kaum Perempuan

Melihat hal tersebut ada 8 tuntutan yang diperjuangkan oleh kaum perempuan, saat Parade Juang 8 Maret 2018. Di antaranya:

 

  1. Negara harus segera mencabut beragam bentuk kebijakan dan peraturan yang diskriminatif baik terhadap perempuan, kelompok rentan dan warga negara secara keseluruhan. Stop pembahasan RKUHP; Cabut UU MD3; Hapus PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
  2. Hentikan persekusi, diskriminasi, kekerasan, dan pemidanaan terhadap kelompok LGBT, aliran kepercayaan, korban NAPZA, masyarakat adat, kelompok kesenian, serta kelompok marginal lain di masyarakat.
  3. Pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu baik melalui mekanisme yudisial maupun non yudisial. Memperkuat UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Di mana amandemen UU ini juga telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015 – 2016, dan menolak ketentuan pelanggaran HAM berat dalam RKUHP.
  4. Wujudkan segera UU untuk menghapus kekerasan seksual yang berpihak pada korban dan segera sahkan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). 
  5. Segera sahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta ratifikasi konvensi ILO 189.
  6. Wujudkan fasilitas layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi yang layak dan bebas diskriminasi pada korban NAPZA, perempuan, kelompok difabel dan kelompok marginal lainnya.
  7. Wujudkan kebebasan hak berorganisasi dan berserikat. Jaminan kepastian kerja bagi buruh dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak maternitas buruh.
  8. Wujudkan Politik Pemilu dan Pilkada yang bebas dari Politik SARA.

(vem/mim)
What's On Fimela