Tuhan Memberi Sakit Bukan karena Benci, Tapi Ia Sebenarnya Sedang Mengasihi

Fimela Editor diperbarui 16 Jul 2021, 18:43 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Sudah lama aku ingin membagikan kisah hidupku. Semoga melalui lomba menulis Vemale ini, kisahku bisa membantu dan menginspirasi orang-orang yang membacanya.

Saya berumur 28 tahun, anak pertama dari enam bersaudara. Pada tahun 2013, saat saya berumur sekitar 23 tahun, setahun setelah lulus dari perguruan tinggi terbaik di Jakarta, saya bekerja dan menjalin hubungan dengan seorang pria dewasa berstatus duda. Awalnya, saya pikir dia adalah pria yang baik dan pastinya bisa memimpin saya juga. Tapi Tuhan berkata tidak.

Saat itu tiba-tiba saya mengalami sakit batuk. Batuk berhari-hari dan tidak mengalami perubahan meskipun saya sudah mengobatinya ke klinik dan ke dokter. Suatu hari, akhirnya dia membawa saya lagi ke dokter yang merupakan omnya sendiri. Setelah diperiksa, dokter tersebut memvonis saya terkena hepatitis. Saya dan dia pun kaget dan tidak percaya. Sampai kemudian, mungkin karena alasan penyakit tersebut dia meninggalkan saya.

Sendiri. Saya menghadapi cobaan ini sendiri tanpa ada yang menemani. Sejak itu saya tidak periksa ke dokter lagi karena saya yakin saya tidak terkena hepatitis atau sakit apapun. Seiring berjalan waktu batuk saya semakin parah. Mengeluarkan dahak dan batuk terus menerus mengakibatkan berat badan saya turun dan sistem kekebalan tubuh saya ikut menurun. Akhirnya pada tahun 2014, saya memutuskan ke dokter untuk memeriksa dan mengobati sakit saya ini.

Setelah hasil rontgen keluar, dokter berkesimpulan bahwa saya terkena TBC. Saya diharuskan minum obat setiap hari, tidak boleh terputus selama setahun. Saya menghadapi semua ini sendiri. Karena sakit saya ini, orangtua dan adik saya pun menjauhi saya karena takut tertular. Saya diasingkan. Tiap hari saya berdoa dan berpuasa agar sakit saya ini sembuh. Setahun berlalu, sakit TBC saya ini hanya berkurang tapi tidak sembuh total.

Tapi Tuhan memang baik, di tengah badai yang menimpa saya, Tuhan tidak membiarkan saya sendiri terlalu lama. Tuhan mempertemukan saya dengan seorang pria yang menerima saya apa adanya. Meskipun saya sakit, dia tetap menemani saya, menguatkan saya, membantu saya, dan mengobati saya.

Sekitar tahun 2015, saya dan dia berinisiatif ke sebuah klinik, tapi tidak menyembuhkan TBC saya juga. Lalu kami ke sebuah rumah sakit, menghabiskan berjuta-juta untuk membeli obat. Memang sembuh tapi cuma bertahan 5 bulan. Saat saya memasuki bulan ke-6 batuk saya kambuh lagi. Oh Tuhan, sampai kapan ini semua berakhir? Dosa apa yang telah saya buat? Setiap hari saya berdoa, meminta, memohon untuk kesembuhan saya. Tuhan belum juga menjawab doa saya saat itu. Sampai saya pun dengan kerelaan hati menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, jika Tuhan mau jemput saya, saya pun ikhlas.

Setelah 8 bulan berobat ke RS, batuk saya kambuh lagi. Saya dan dia mendatangi dokter tersebut. Dokter yg menangani saya adalah dokter spesialis paru. Beliau menyuruh saya untuk operasi TBC. Dengan biaya sekitar Rp20 juta. What? Duit dari mana sebanyak itu?

Dengan perasaan campur aduk, saya memutuskan untuk tidak operasi dan juga tidak berobat lagi ke sana. Inilah jalan yang Tuhan pilih buat saya. Apapun itu saya harus menerimanya. Saya tidak kuat lagi. Bagaimana saya bisa menyembunyikan sakit saya ini? Di manapun saya berada dan apapun yang saya lakukan, saya selalu batuk. Batuk parah. Sangat mengganggu sekali.

Saya terus berdoa dan membaca alkitab. Saya pasrah. Pada bulan Desember 2016, dia mengajak saya untuk berobat lagi ke sebuah klinik kecil di daerah Pejagalan, Jakarta Barat. Klinik tersebut sudah berdiri lama sekali. Awalnya ragu, tapi dengan tekad kuat untuk sembuh. Saya berobat lagi, konsultasi, minum obat lagi. Dianjurkan oleh dokter tersebut untuk setahun minum obat TBC tanpa putus.

Saya ikuti kata dokter tersebut. Demi mendukung kinerja obatnya saya juga belajar untuk tidak makan nasi putih, minyak, yang manis-manis, junk food, makanan olahan, dan daging merah. Saya belajar hidup sehat. Memasak makanan sendiri dan olah raga. Bulan pertama berkurang batuknya. Bulan ke-2 hingga bulan ke-6 hilang batuknya. Tapi jangan senang dulu karena saat di rontgen bakteri di paru kanan saya masih ada. Dokter tersebut menyuruh saya lanjut minum obatnya. Bulan ketujuh hingga bulan ke-12 sudah tidak batuk lagi.

Selang setahun, Januari 2018. Amazing! Thanks Lord. Tuhan jawab doa saya. Hasil rontgen keluar dan dinyatakan kesimpulan bahwa paru saya bersih tidak ada bakteri apapun yang mencurigakan. Tuhan memang punya cara-Nya sendiri untuk membuat anak-anak-Nya semakin naik.

Di balik cobaan ini, saya mendapat banyak pelajaran yang sangat berharga. Tapi itu semua juga karena kasih Tuhan saya bisa melewati ini. Jangan menyerah, kawan. Apapun masalah kamu, berdoa dan bacalah kitab suci. Tuhan pasti tolong kamu. Sekarang saya mengerti bahwa kesehatan sangatlah berharga. Saya tidak ingin sakit, siapapun juga pasti sependapat dengan saya. Tapi Tuhan beri sakit bukan karena Dia benci saya, tapi karena Dia sangat mengasihi saya. Agar saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Setelah mengalami cobaan ini saya semakin mengerti bahwa kesehatan lah yg paling mahal harganya.

Inilah cerita hidup saya. Semoga menginspirasi. Salam hangat.

(vem/nda)

What's On Fimela